Saturday, May 28, 2011

Satu puisi satu hari

Kalau orang bilang, sastra dapat membuat peka hati manusia, saya setuju. Soalnya, saya juga baru mengalaminya kemarin dulu. Seperti biasa, saya bangun di pagi hari, berdoa untuk memulai hari. Lalu tiba-tiba terpikir untuk membaca puisi karya Sapardi Djoko Damono, salah seorang penyair favorit saya. Saya baca di internet, puisi kesukaan saya yang berjudul "Aku ingin".

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada


(Sapardi Djoko Damono)

Merinding ya bo baca nih puisi! Sapardi Djoko Damono berhasil menyingkap apa yang tersembunyi di dalam hati manusia banget deh.

Entah karena pengaruh ini puisi, entah karena apa, tapi pagi itu, saya pergi ke kampus tidak dengan tergesa-gesa, tapi lebih menikmati perjalanan saya yang biasanya ingin saya tempuh dengan segera itu. Dan saya sengaja berlama-lama sedikit di tepi danau kampus, yang selama ini selalu saya lewati tapi tidak pernah saya perhatikan. Ternyata, berdiam diri sebentar di tepi danau itu memberi ketenangan luar biasa. Setidaknya, sejenak bisa keluar dari hiruk pikuk kesibukan yang kerap kali menguras tenaga jiwa raga ini.

Berangkat dari pengalaman ini, saya mencanangkan gerakan "satu puisi satu hari" untuk saya. Ini adalah kegiatan membaca puisi di pagi hari, setelah berdoa memulai hari. Puisinya terserah, apa saja, yang memang lagi ingin saya baca, dan sumbernya dicari di internet. Kenapa saya pilih puisi, bukan novel atau cerpen, karena saya butuh bacaan yang ringkas tapi dalam makna. Waktu yang dibutuhkan tidak terlalu banyak, tapi karena dalam maknanya, maka saya akan memikirkan sendiri makna puisi tersebut. Dan, merenungkan arti kata-kata adalah kegiatan yang sangat bagus untuk mengasah kepekaan hati saya. Waktu saya terbatas, karena pagi-pagi, begitu anak dan suami saya bangun, akan dimulailah hari sibuk untuk saya, yang diawali dengan menyiapkan sarapan, mengurus keperluan anak sekolah, dan sebagainya. Bagaimana mungkin saya bisa menamatkan satu novel dengan waktu terbatas itu? Tapi, kalau puisi, dari segi waktu, sangat memungkinkan untuk dibaca dalam waktu singkat, sisanya kita tinggal mengendapkan kata-katanya di dalam pikiran, sampai akhirnya turun ke hati kita.

Terus terang saja, sejak anak saya lahir tanggal 16 Juni 2007, saya sudah jarang sekali membaca untuk kesenangan pribadi. Kalaupun saya membaca, itu karena tugas perkuliahan, berhubung saya kuliah di bidang sastra. Untuk kondisi saya sekarang ini, agak sulit untuk menamatkan novel dalam waktu singkat, tidak seperti ketika saya lajang dulu, di mana 24 jam penuh adalah milik saya dan novel pun bisa saya selesaikan dalam waktu singkat. Ketika kita sudah berkeluarga, banyak interupsi akan terjadi, entah itu interupsi anak yang tiba-tiba ngompol, suami yang bertanya kertas latihan paduan suaranya di mana, kewajiban untuk memasak karena sudah jamnya makan, dan sebagainya. Ini saya nyatakan bukan dalam arti negatif, tapi hanya membeberkan kenyataan bahwa jika sudah berkeluarga, namanya saja kita membagi hidup dengan orang lain, maka hidup yang tadinya hanya milik sendiri, menjadi terbagi dua, terbagi tiga, terbagi empat...tergantung jumlah anggota keluarga kita.

Untuk kondisi saya saat ini (ibu, istri, mahasiswa sok sibuk di tanah gambaru a.k.a Jepang), membaca novel tebal, bahkan cerpen singkat sekali pun, agak sulit untuk dilakukan. Waktu yang ada sudah termanfaatkan penuh untuk urusan perkuliahan, rumah tangga, kerja sambilan, dan tentu saja, ngeblog atau nulis notes. Tetapi, kalau puisi, rasanya masih bisa dilakukan, karena waktu yang perlu disediakan pun relatif singkat, tetapi segi humanisnya tetap sedalam ketika membaca novel, bahkan lebih dalam, tergantung dari karyanya.
Saya tidak muluk-muluk, cukup satu puisi satu hari, sebagai suplemen makanan jiwa saya.

Tiap hari kita bergerak di dalam rutinitas yang tidak jarang membuat kita kalang kabut karena merasa banyak sekali yang perlu diurus. Sering kali hal ini membuat kita kehilangan esensi dari hidup itu sendiri. Kita akhirnya hanya berakhir di penghujung hari sebagai budak rutinitas, tanpa memahami mengapa kita ada dalam rutinitas tersebut.

Saya rasa, salah satu kunci supaya kita tidak menjadi edan di jaman edan ini adalah, berusaha menjaga keseimbangan hidup. Memang ini yang paling sulit untuk dilakukan. Bertekun di dalam satu hal itu jauh lebih mudah daripada menaruh perhatian secara seimbang pada semua hal. Tetapi, keseimbangan itu yang membuat kita tetap dapat berdiri tegak, bukan? Jika tidak seimbang, jika berat sebelah, tubuh kita akan doyong, terpelecok, dan akhirnya jatuh.

Membaca satu puisi untuk satu hari, rasanya adalah salah satu cara yang tepat untuk saya menyeimbangkan jiwa, selain menulis blog/notes dan berdoa (rohani  banget nihyeee?). Hari ini saya membaca puisi karya WS Rendra, berjudul "Jalan Sagan 9, Yogya". Saya pertama kali membaca puisi ini sekitar 7 tahun yang lalu, ketika kuliah di S2 Kajian Jepang UI, dalam keadaan masih lajang namun sudah memutuskan untuk hendak menikah dengan orang yang kelak akan menjadi teman hidup saya (berbelit-belit banget, James maksudnya, hahahaha). Ini bagian yang paling saya suka dari "Jalan Sagan 9, Yogya" :

Kekasihku,
ada saat-saat kita tak berdaya bukan oleh duka
tetapi kerna terharu semata.
Mengharukan dan menyenangkan
bahwa sementara kita tempuh hari-hari yang keras
sesuatu yang indah masih berada
tertinggal pada kita,
Sangat mendebarkan
menemukan satu bunga
yang dulu — telah lama
kitalah penanamnya.


(WS Rendra)

Satu puisi satu hari, demi keseimbangan jiwa raga dan menjaga diri tetap sadar, di tengah-tengah jaman yang menuntut mobilitas dan kecepatan bagi setiap penghuni yang bergerak di dalamnya.

Saturday, May 21, 2011

10 hari untuk 20 halaman

Seolah-olah gw kayak anak kelas satu SD yang baru belajar membaca ya, dibutuhkan waktu 10 hari untuk memahami 20 halaman. Pada kenyataannya, gw memang masih berada di tingkat dasar, bahkan play group, mungkin, dalam dunia akademik yang saat ini sedang gw tekuni. Ya, to say the truth, gw butuh 10 hari untuk memahami 20 halaman artikel ilmiah tulisan Gayatri Spivak.

Baiklah, baiklah, siapakah Spivak? Beliau memang bukan artis ibu kota, bukan juga penyanyi terkenal. Mungkin ngga banyak yang tahu siapa beliau, tapi kalau kita menekuni studi gender, postkolonial, culture studies...singkat cerita, ilmu humaniora, pasti akan ada satu saat di mana kita bersinggungan dengan beliau. Tentu saja melalui buku-buku dan artikel-artikel ilmiahnya yang OMG, susah banget untuk dipahami.

Gayatri Spivak itu scholar (ilmuwan dalam bidang humaniora) dari Amerika Serikat. Beliau orang India, dan profesor di Columbia University. Kayaknya kalo ngebahas karya-karyanya, ini notes pasti bakalan jadi topik yang sangat membosankan, kan ngga semua orang yang baca notes ini suka sastra atau humanities studies, jadi kita skip dulu deh ya bagian tersebut.

Mengapa akhirnya gw membaca artikel ilmiah karya beliau, ya itu tak lain dan tak bukan, karena tugas kuliah. Jadi ceritanya, semester ini gw ngambil mata kuliah "gender theories", isinya ya teori gender-lah. Trus, tiap minggu, satu orang mahasiswa disuruh presentasi dan mimpin diskusi. Kita dikasih bahan bacaan sama dosennya. Sumpah, kelas ini menarik banget (untuk gw), soalnya bahan bacaan yang dikasih adalah artikel-artikel ilmiah yang jadi inti untuk memahami studi gender. Trus kuliahnya diberikan dalam bahasa Inggris, bahan bacaannya juga dalam bahasa Inggris, dan dosen pengampunya juga half japanese, half american, jadi udah native speaker-lah itungannya, dalam bahasa Inggris. Emang gw pribadi, sengaja nyari kelas berbahasa inggris, karena gw pengen meningkatkan kemampuan bahasa inggris gw yang super katro ini. Dan, hampir semua buku-buku dan artikel ilmiah mengenai teori sastra, ditulis dalam bahasa Inggris, jadi mau ga mau deh ya, biarpun katro kemampuan Inggris gw, tetap aja ga bisa dihindari, untuk berhadapan dengan bahasa inggris.

Giliran gw untuk presentasi adalah hari Rabu kemarin (18 Mei), dan gw kebagian ngebahas artikelnya Spivak. Di awal perkuliahan, kita boleh milih mau bahas mana. Dengan sok tau, gw pilih Spivak. Kenapa? Karena, pas gw masih di Indonesia, gw pernah ikut seminar di FIB UI, tuh seminar tuh seminar skala internasional, soalnya ada speaker dari luar negeri segala, trus banyak banget pemakalah dari luar, dan semuanya tentu aja speaking  speaking english all the time....nah, sebagai makhluk paling oon di tempat itu, tentu aja gw ngga ngerti apaan yang mereka bahas, gw cuma pura-pura ngerti dan pasang tampang penuh senyum aja, padahal dalam hati ngerasa banget terintimidasi karena ga ngerti apapun yang mereka semua, orang-orang pintar itu, perbincangkan. Satu nama yang gw inget sering banget dibahas di seminar itu adalah Gayatri Spivak dan Homi Baba. Dengan gobloknya gw ngira, Homi Baba itu temennya Ali baba, belakangan gw baru tau kalo beliau adalah scholar di bidang studi postkolonial, sama kayak Spivak. Jadi, ketika ada daftar artikel ilmiah yang harus dipresentasikan di kelas, gw pilih Spivak, dengan asumsi, ini orang happening banget dibahas di ranah humaniora Indonesia, jadi kalo ntar gw balik ke tanah air dan banyak orang speak speak Spivak, gw bisalah mungkin sedikit sok tau nimbrung dikit-dikit, bukan cuma pasang senyum palsu padahal dalam hati ingin tenggelam ditelan bumi.

Tapi mana gw tau, kalo ternyata Spivak itu nulis dengan bahasa yang sangat sulit dimengerti untuk mahasiswa tingkat kroco macam gw?

Ketika artikel ilmiah yang harus gw presentasikan itu dibagi di kelas, gw udah rada curiga, bahwa Spivak ini kayaknya bukan artikel main-main. Dari penampakannya aja udah mengerikan. karena berjumlah 20 halaman, sedang yang kemarin-kemarin itu, paling sekitar 10 halaman. Dan ketika gw mulai membaca tuh artikel, mulai deh ya, ketakutan dan kepanikan menjalar menyerang gw, soalnya gw ga ngerti apa-apa yang dibahas di artikel itu. Dan gw nyesel banget, kenapa dari semua artikel itu, gw milih Spivak. Kenapa gw ga pilih yang lain aja, yang bahasanya lebih sederhana-lah. Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan satu-satunya cara untuk bertahan, adalah, membuat bagaimana supaya bubur pun bisa tetap enak untuk dimakan.

Belajar dari pengalaman gw tahun lalu pas presentasi di kuliah Shandeee yang berakhir dengan mengenaskan (gw dimarahin di depan kelas karena ngga bisa nyelesain presentasi gw sampai selesai, trus ga ngerti apa-apa yang gw presentasikan, sumpah, rasanya gw pengen banget lenyap dari kelas itu saat itu), gw sadar bahwa satu minggu ngga akan cukup untuk level gw, kalo mau memahami artikel ilmiah. Makanya, mulai dari liburan golden week (3, 4, 5 Mei), gw udah coba-coba curi-curi baca Spivak, tapi ga gitu efektif sih, karena itu hari libur dan kalo libur kan Joanna ada selalu setia bersama gw 24 jam full time. Jadi gw ikhlasin dulu ga baca Spivak, dan prioritasin baca buku dongeng anak-anak, hahahaha.

Akhirnya, mulai hari Senin, 9 Mei, gw bisa produktif baca Spivak.  Hari Kamis, 12 Mei, gw berhasil menyelesaikan 20 halaman itu, dengan susah payah, tiga kali gw baca ulang. Begitu banyak pertanyaan, begitu banyak kalimat yang ngga gw ngerti. Trus yang bikin lebih repot lagi, Spivak suka banget pake istilah yang susah-susah, yang bikin gw mesti menelusuri arti kata itu. Satu kata aja butuh waktu kurang lebih satu jam, untuk menelusuri artinya. Hari Jumat, Sabtu, Minggu, gw pakai untuk meringkas tuh artikel, sekalian nulis interpretasi gw dan pertanyaan-pertanyaan gw. Untuk artikel ilmiah kayak gini, sepertinya gw butuh konfirmasi akan interpretasi gw, bener ngga pemahaman gw, sekalian bagian yang gw ga ngerti sama sekali juga mesti gw tanyakan. Gw nanya sama Prof Capo, lewat email. Beliau itu visiting professor di Osaka University tahun lalu, dan udah balik ke amrik. Tahun lalu gw ngambil kuliah beliau, tercerahkan banyak hal, dan emang orangnya juga baik banget, ga takut deh nanya sama beliau. Bisa dibilang, ini bagian terberat, 3 hari begadang, jumat, sabtu, minggu, untuk meringkas pemahaman dan pertanyaan-pertanyaan gw. Soalnya ini pake bahasa inggris ya bo. Hari Minggu malam, 15 Mei, gw pakai untuk tidur semalaman, karena udah 3 hari begadang, gw takut ntar malah drop, repot deh gw, paling sebel soalnya kalo sakit. Lagian, setelah Sabtu subuh gw kirim tuh pertanyaan-pertanyaan dan interpretasi gw, emang untuk sementara ga ada yang bisa gw lakukan, selain menunggu feedback dari Prof Capo.

Senin pagi, email gw udah dibalas, jadi tahap berikutnya adalah menyaring ulang dan ambil point-point penting untuk dibahas di presentasi, bikin resume dan alur presentasi. Setelah ngerasa putus asa berhari-hari membaca Spivak, gw benar-benar merasa dikuatkan karena Prof Capo bilang, pemahaman gw udah bener dan cukup close reading. Ini mendongkrak kepercayaan diri gw, bahwa gw bisa “menaklukkan” artikel ini dan memahami point-pointnya. Gw baca ulang sekali lagi, dan entah mengapa, sambil ngerjain resume dan alur presentasi, pas gw baca ulang lagi tuh artikel (udah kelima kalinya kali nih ya…), gw ngerasa tercerahkan dan bisa nangkap point-point penting dari artikel itu.

Akhirnya, segala hal yang berhubungan dengan artikel Spivak ini selesai Rabu subuh, 18 Mei, jam setengah tiga pagi. Jam sembilan pagi, setelah nganter Joanna ke daycare, gw ngga ngerjain Spivak lagi, karena gw mesti nyiapin materi kerja sambilan karena rabu malamnya gw ngajar online. Setelah makan siang, gw berangkat ke kampus, jam setengah dua, trus ngeprint dan fotokopi resume. Tau-tau udah jam setengah tiga aja, dan gw bersiap-siap masuk kelas, karena kelas gender theories ini mulainya jam 14.40. Sebelum masuk kelas, gw berdoa, biar presentasi berjalan lancar dan gw ngga keselipet lidah ngomong bahasa Inggris. Gw udah ngasih semua kemampuan gw mempelajari artikel Spivak, gw berterima kasih Tuhan tolong gw, dan gw minta Tuhan yang sempurnakan semuanya.

Sebenernya sih, kalo dibilang ngomong bahasa Inggris pun, ngga natural keluar dari mulut gw ya, karena semua yang mau gw bicarakan, udah gw tulis di kertas presentasi gw dan gw baca kertas tersebut. Sampai alur-alurnya pun gw tulis, abis ngomong ini, baca kutipan ini, halaman segini di resume yang gw bagiin ke seisi kelas. Gw belum bisa ngomong bahasa Inggris yang natural cas cis cus langsung keluar dari mulut gw gitu, soalnya yahhhhh emang harus diakui dengan besar hati, bahasa inggris gw tuh standar abis deh.

Presentasi berjalan lancar, dan ternyata, pemahaman gw akan tuh artikel Spivak, emang benar begitu adanya. Gila, gw seneng banget waktu prof bilang, “Very excellent presentation”. Bukannya gw gila pujian, tapi gw ngerasa kerja keras gw berbuah nyata, dan  gw  berhasil menang melawan diri sendiri, meski ini hanya sebuah kemenangan kecil.

Satu motivasi utama yang membuat gw ingin melanjutkan studi di Jepang adalah karena ketika di Indonesia gw bekerja sebagai dosen bahasa dan sastra Jepang di salah satu perguruan tinggi swasta, gw ngerasa ilmu gw cetek banget. Salah satu barometer yang bikin gw yakin bahwa gw emang masih sangat cetek dan bisa dibilang hampir ngga tau apa-apa, adalah, ketika mengikuti seminar internasional di FIB UI itu. Kalo ga salah, judul seminarnya “World literature”. Ya ampun, jujur aja, gw banyakan bengongnya selama seminar, trus galau setengah mati ngeliat begitu banyak orang pintar berseliweran di seminar itu. Banyak pemakalah di seminar itu yang umurnya masih muda, mungkin seumur gw, bahkan lebih muda, tapi ilmunya jago banget dan bahasa inggrisnya juga cas cis cus abis. Ketika melihat semua itu, di dalam keminderan ngga ngerti apa-apa, gw berjanji dalam hati, bahwa suatu hari nanti, gw juga akan bisa seperti orang-orang ini, jadi pemakalah, ikut serta dalam diskusi, dan jadi scholar dalam bidang humaniora. Mungkin untuk gw yang kemampuannya standar, butuh waktu lebih lama untuk bisa mencapai tahap jadi pemakalah, tulis jurnal ilmiah, dan akhirnya jadi scholar, tapi tidak apa-apa, asal gw sabar dan tetap tekun, suatu hari nanti, gw akan mencapai tahap itu.

10 hari, 20 halaman untuk memahami artikel Spivak yang berjudul “Three Women’s Texts and a Critique of Imperialism”. (Konon, ini katanya artikel basic Spivak. Gila, basic aja kayak gini, gimana yang intermediate dan advance ya?) Ini tahun ketiga gw di Jepang, dan to say the truth, ini adalah artikel ilmiah pertama yang bisa gw klaim, gw ngerti point-pointnya, dan gw bisa menceritakan ulang isinya. Rasanya, harus gw koreksi, bukan 10 hari 20 halaman untuk memahami Spivak. Mungkin lebih tepat jika dikatakan, 4,5 tahun untuk memahami Spivak (yang tingkat dasar).  Dengan perincian : 2,5 tahun masa-masa studi S2 gw di Indonesia, 1 tahun masa studi research student di Jepang, 1 tahun masa studi master tahun pertama kemarin di Jepang. Setelah melewati puluhan artikel ilmiah yang ngga gw ngerti maksudnya.

Seorang anak playgroup pun, pada saatnya nanti, pasti akan bisa lulus universitas. Asal dia terus menerus bertekun dan sabar menuntut ilmu dan ngga nyerah. “Just do your best and let GOD work in it.” Ini sebuah kebenaran yang sangat indah dan menguatkan, bukan?

Bedanya kuliah saat lajang dan sudah menikah

Orang bilang, masa-masa kuliah itu masa paling asyik, bebas, cihuy. Iya, itu benar sekali. Dengan satu syarat tambahan yang penting banget : "Jika kamu adalah mahasiswa lajang". Selama 33 tahun usia gw, gw udah ngerasain jadi mahasiswa lajang dan mahasiswa berkeluarga. Lebih ringan mana? To say the truth : enakan jadi mahasiswa lajang.

Oke, oke, emang kuliah itu ga gampang. Stress sama tugas, dikejar-kejar deadline makalah, iya banget, bikin otak jadi mumet. Belum lagi pusing mikirin penelitian, dan frustrasi karena ngerasa ga pinter-pinter. Gw rasa itu dialamin semua orang yang lagi menuntut ilmu.

Tapi nih yaaaa.....kalau kita masih lajang, satu hak istimewa yang kita miliki, yang tidak dimiliki orang yang udah berkeluarga, adalah : kebebasan untuk ngatur waktu dan jadwal semau kita sendiri. Hari ini mau begadang sampai pagi ngerjain tugas dan hari berikutnya balas dendam tidur hingga sore, dengan bebas kita bisa lakuin itu. Mau seharian nontonin acara TV, ga akan ada yang protes. Seharian di ruang penelitian, dan ngerjain penelitian hingga larut malam dan baru pulang ke rumah jam 12 malam, bahkan nginep di ruang penelitian pun, ngga ada masalah. Males masak dan mau delivery makanan restoran, tidak usah berpikir telalu panjang mengenai masalah keuangan. Saat liburan tiba, bisa dengan bebas meng-explore berbagai tempat wisata dengan biaya murah meriah dan melakukan hal-hal seru seperti tidur di kafe internet (yaelaaaaah...ini seru ya? ga ada yang lebih seru nih roul?).

Namun, begitu kita berkeluarga, segala keseruan-keseruan yang gw sebutkan di atas, tidak lagi dapat dilakukan. Ya, bukannya total tidak bisa dilakukan, tapi dengan jujur mesti kita akui, bahwa di titik kita memutuskan untuk berkeluarga, maka ada serangkaian tanggungjawab yang mengikutinya. Kita bisa-bisa aja kalo mau lepas dari tanggungjawab itu, dengan tetap bergaya hidup bebas ala lajang ibu kota, tapi ya itu semua kembali ke pribadi masing-masing. Terus terang aja, kalo gw, ngerasa bersalah kalo bersenang-senang sendirian tanpa melibatkan J dan J. Gw tau, gw tau, mungkin para feminis dan pejuang hak azasi perempuan akan bilang : ini kan hidup elu, elu berhak bersenang-senang, me time, dong, me time, bla bla bla......tapi tetap aja sih ya, menurut gw mah me time itu konsep yang nanggung banget. Kenapa? Soalnya, begitu waktu 'me time' beres, kita mesti balik lagi ke rutinitas sehari-hari. Tetap aja bebasnya ngga bisa ngalahin kebebasan para lajang. Untuk ini mah gw yakin 100 persen.

Satu hal yang gw rasain banget sebagai mahasiswa yang udah berkeluarga dan punya anak balita adalah, waktu kita untuk ngerjain kegiatan akademik benar-benar terbatas. Hanya di jam-jam Joanna ada di daycare, yang gw bisa benar-benar manfaatkan untuk belajar, ngikutin perkuliahan dan ngerjain tugas. Lewat dari jam-jam itu, maka gw kerjanya ngurus Joanna, masak, ngerjain kerjaan rumah tangga, kerja sambilan, dan beristirahat. Kalo udah ada anak di samping kita, lebih baik ga usah ngerjain hal-hal yang menuntut konsentrasi tinggi. Soalnya, ga akan beres, daripada sakit hati digrecokin anak, lebih baik ikhlasin aja, ga usah kerjain, dan kerjainlah hal-hal yang butuh konsentrasi tinggi ketika anak ngga bersama-sama dengan kita atau dia lagi tidur. Makanya kalo ada Joanna, selain gw ngurusin dia, gw ngisi waktu dengan ngerjain kerjaan rumah tangga, karena kegiatan ini hanya butuh tenaga fisik aja, ngga usah pake mikir.

Waktu awal-awal gw di Jepang, gw akui, gw stress banget. Stressnya itu adalah karena ngerasa terbudaki banget dengan perkuliahan dan ngurus rumah tangga. Gw ngerasa ga sanggup banget, pokoknya manja abis deh. Akhirnya di penghujung hari, gw cuma bisa nangis-nangis dan kesel banget sama keadaan. Dan sirik pangkat sejuta pada setiap mahasiswa di muka bumi ini yang menyandang predikat lajang. Ya, mereka punya perbedaan yang sangat signifikan dengan gw. Satu hari 24 jam, seluruhnya adalah milik mereka, sedangkan gw, 1 hari 24 jam, sebagian besar bukanlah milik gw, tapi milik Joanna. Setelah berlelah-lelah ria di kampus, mereka bisa pulang ke rumah dan tidur nyenyak kapanpun mereka mau, sedangkan gw, mau lelah kayak apapun juga, pulang ke rumah masih disibukkan dengan segudang kerjaan rumah dan pengasuhan anak. Kita kesampingkan dulu deh ya, kebahagiaan motherhood dan wifehood di sini. Pada kenyataannya, sebagai orang yang menjalani tiga peran dalam satu nyawa (ibu, istri, mahasiswa), gw berakhir di penghujung hari dengan keadaan exhausted.

Tapi seiring berjalannya waktu, dan sambil mengamati para mahasiswa (perempuan) yang juga udah berkeluarga dan kuliah lagi, maka gw menarik satu kesimpulan yang kayaknya mah mesti gw terapkan sebelum gw jadi gila beneran. Apaan tuh? Gampang diucapkan tapi sulit dilakukan. IKHLAS. Ya udahlah ya, daripada sirik-sirikan sama mahasiswa lajang, mending terima dulu kondisi bahwa gw udah menikah. Dan pertanyaan bottom line kedua yang ga kalah pentingnya adalah : kalo emang iya gw sirik banget sama mahasiswa yang masih lajang, apakah itu berarti gw mau menukar J dan J demi sebuah status lajang dan semua kebebasan yang terkandung di dalamnya? Untuk yang ini, gw yakin jawabannya : TIDAK. So......kalau yakin jawabannya tidak, ya udah, jalanilah kuliah sambil ngurus anak balita, kan emang ini keputusan yang gw buat dalam keadaan sadar?

Bertanggungjawab terhadap keputusan yang kita ambil memang bukan pekerjaan yang mudah. Itu menuntut daya tahan dan ketekunan untuk ngga dikit-dikit pengen berhenti, dikit-dikit pengen udahan. Lagi-lagi nih ya, jujur gw akui, ada saat-saat di mana gw udah bete banget kuliah (yaelaaaah padahal S2 aja belum beres), dan pengen udahan aja. Ada bangeeeeeet, banyak banget malah, saat-saat di mana gw males banget ngurus Joanna, males banget sama family things dan berharap banget bahwa gw masih lajang yang cukup hidup ngurusin diri gw sendiri aja tanpa mesti mikirin orang lain sama pentingnya kayak gw mikirin diri sendiri. Tapi terus gw mikir lagi. Saat-saat perkuliahan dengan materi yang seru, ngedapetin informasi baru, belajar banyak ilmu, adalah harta yang berharga banget untuk gw. Capek-capeknya ngurus Joanna, diimbangi dengan episode-episode mengharukan bersamanya. Bukankah hal yang sangat indah, bahwa meski gw nyebelin banget orangnya, tapi ada dua orang yang tetap aja mencintai gw dengan sepenuh hati mereka, yaitu J dan J?

Ngga bisa bangun siang semau-maunya gw, ngga bisa ngabisin weekend selain dengan acara wisata ke koen (taman)-perpustakaan-Mr. Donut, ngga bisa delivery makanan restoran kapan aja gw mau, ngga bisa diam di ruang penelitian sampai tengah malam......itu semua lebih dari layak, untuk ditukar dengan adanya J dan J di samping gw.

Hidup berkeluarga itu emang ngga gampang, tapi satu hal yang pasti : menjadi ibu dan istri sungguh akan mendewasakan gw, karena gw ditempa setiap hari untuk  benar-benar belajar mencintai orang lain dalam keseharian. Dan bersusah payah untuk sebuah kedewasaan, memang sudah sewajarnya dilakukan oleh orang yang mau maju dalam hidupnya, bukan?