Saturday, July 22, 2017

The battle is with yourself, not with others


Tiba juga saya di penghujung akhir #nulisrandom2017. Untuk yang belum tahu, mulai 1 Juni 2017, saya mengikuti tantangan menulis 30 hari yang diadakan oleh komunitas nulisbuku. Syaratnya, kita harus menulis selama 30 hari, secara berkelanjutan. Topik tulisan bebas, yang penting menulis.
Saya menulis apa saja yang saya pikirkan, yang menggelitik nurani saya. Biasanya saya menulis di kereta, dalam perjalanan pulang atau pergi Bogor-Depok. Dalam prakteknya, saya tidak dapat menulis setiap hari, karena pada bulan Juni, saya harus mengerjakan beberapa hal yang cukup menyita waktu, seperti deadline dua makalah dan menghadiri konferensi hampir selama satu minggu. Belum lagi setelah pulang dari konferensi, badan ngga fit sampai satu mingguan, kepala pusing dan badan lemas, mungkin saking padatnya acara selama satu mingguan itu.
Program #nulisrandom2017 mengharuskan kita untuk menulis rutin setiap hari, jadi seharusnya kalau kita taat aturan, kita akan menyelesaikan program ini tanggal 30 Juni 2017. Tetapi, untuk saya, tanggal 30 Juni 2017 saya belum menyelesaikan rangkaian 30 hari menulis saya. Lalu saya ngapain? Udahan? Berkecil hati?
Ngga, dong. Saya tetap komit menulis. Sudah menetapkan 30 hari menulis ya harus diselesaikan. Saya menikmati prosesnya. Saya senang proses menulis dan menuangkan pikiran yang saya lakukan. Saya senang tulisan saya dibaca teman-teman di FB dan bahkan ada beberapa yang baru saya kenal berkat mereka membaca postingan tulisan-tulisan saya. Saya paling senang jika apa yang saya tulis ternyata dirasakan juga oleh teman-teman yang membaca dan akhirnya terjalin dialog di kolom comments. Jadi semacam menciptakan ruang untuk berbagi.
Kebanyakan tulisan saya memang tentang perempuan dan masalah-masalah yang dianggap "bukan masalah". Betty Friedan menyebutnya "a problem that has no name". Ini mengacu kepada masalah-masalah perempuan dalam norma patriarki yang dianggap remeh dan ngga penting, yang saking dianggap bukan masalah, jadi "tidak layak" untuk disuarakan dan membuat yang bersangkutan malah merasa bersalah jika ia menyuarakan masalahnya itu. Misalnya saja, masalah capek urus anak, jengah ditanya soal pernikahan atau kapan hamil, dilema antara mengejar impian dan "kewajiban" mengurus rumah tangga. Saya sebenarnya tidak meniatkan tulisan saya akan banyak bertema tentang perempuan. Tapi karena hal-hal tersebut yang menggelitik hati saya, jadi hal-hal itu yang saya tulis.
Sebenarnya, saat sudah menginjak 30 Juni, saya bisa saja memutuskan untuk udahan. Tapi saya tidak mau. Saya kan sudah komit pada diri sendiri untuk merampungkan 30 tulisan. Waktu jangan menjadi penghalang. Jika tidak bisa sama ritmenya dengan yang lain, jangan patah arang, jangan merasa ketinggalan, selesaikan pelan-pelan sampai selesai.
Seperti itulah hidup. Peperangan utama kita adalah melawan diri sendiri, bukan melawan orang lain. Papa saya bilang bahwa orang yang berhasil dalam hidupnya adalah orang yang berani melawan dirinya sendiri. Melawan kemalasan, keputusasaan, ketakutan untuk gagal. Melawan ketidakberdayaan dan keengganan. Melawan keterburu-buruan dan keinginan untuk memaksakan segala sesuatu.
Hidup itu tidak selalu berjalan sesuai kemauan kita. Ada kalanya kita harus sabar menunggu. Ada kalanya kita harus tancap gas. Ada kalanya kita harus berjalan perlahan-lahan. Ada kalanya kita harus merangkak atau melangkah hanya dengan satu kaki. Apapun itu, jangan dilawan. Tetap ikuti dan jangan memaksakan diri. Tapi di saat bersamaan, tetap teguh hati memegang harapan dan impian. Pada akhirnya kita akan mencapai tujuan. Pasti.
Pada akhirnya, 30 tulisan saya ini rampung juga. Tidak secepat ritme "normal" memang. Tertinggal 22 hari. Nyaris dua kali lipat dari waktu yang seharusnya. Tapi yang penting selesai, bukan?
Demikian juga halnya dengan aspek kehidupan kita yang lain. Keluarga, karir, spiritualitas, menurunkan berat badan, studi, mengurus anak. Apapun itu. Setiap orang punya waktunya masing-masing.
Kecenderungan masyarakat kita adalah, apa-apa dinilai dengan mitos waktu. Kalau umur segini belum punya rumah, ada yang tidak beres. Kalau baru umur segini mulai kuliah, dibilangnya aneh. Kalau umur segini belum dapat kerja, dianggap pecundang. Kalau umur segini belum menikah, berarti dia dimarjinalkan. Dan sebagainya. Dan sebagainya.
Kita sendiri, pelaku kehidupan, yang harus mematahkan mitos itu. Bahwa waktu bukan batas. Umur bukan batas.
Membandingkan diri dengan orang lain hanya akan membawa kesia-siaan. Sebaliknya, membandingkan diri kita dengan diri sendiri di masa lalu dan punya visi mau jadi apakah kita di masa depan, akan menjadi penyemangat untuk kita hidup lebih baik dari hari ke hari. Bersainglah dengan diri sendiri, bukan dengan orang lain. Karena masing-masing orang punya perjuangannya sendiri-sendiri. Sirik-sirik lihat orang lain sukses itu biasa. Wajar. Tapi jangan akhirnya kesirikan itu membuat kita jadi bermuram durja merutuki hidup.
"Aserazu, tayumazu, yukkuri shikkari gambattekudasai." (Jangan terburu-buru, jangan terpelecok, tenang dan teguh, berjuanglah sepenuh hati).
The battle is yours, with yourself! Enjoy the process! And, let us live. Breath. Relax. And be joyful!
Bogor, 22 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu
PS: Terima kasih untuk semua yang sudah baca tulisan saya. #nulisrandom2017 sudah saya rampungkan. But, I won't stop writing. Never. Meminjam perkataan Rene Descartes, "cogito ergo sum" (saya berpikir, maka saya ada). Untuk saya, "saya menulis, maka saya ada." So, see you again, guys! Dalam tulisan berikutnya dan berikutnya dan berikutnya, selamanya!

Tidak ada kata terlambat untuk memulai


Tadi saya ke kampus dan bercakap-cakap dengan rekan-rekan sekerja. Mereka usianya masih 20an dan awal 30an, tapi kesadaran ilmiahnya tinggi banget. Jujur, saya salut.
Jaman saya umur 20an, terus terang kesadaran ilmiah saya rendah. Kesadaran ilmiah di sini maksudnya, sebagai akademisi saya sadar pentingnya publikasi, pentingnya presentasi ilmiah di berbagai simposium. Bukan "hanya" mengajar.
Ketika umur saya 20an, saya memang sudah ingin menjadi dosen. Tapi, saya mau jadi dosen karena suka mengajarnya. Sama sekali tidak terpikir untuk penelitian, publikasi, presentasi ilmiah.
Beberapa kali saya pernah menghadiri simposium ilmiah saat usia saya 20an. Sebagai peserta. Saya hanya merasa, orang macam saya tidak mungkin presentasi ilmiah, tidak mungkin publikasi ilmiah di jurnal. Apalagi bikin buku. Itu sesuatu yang mustahil. Pulang dari simposium, yang tersisa adalah rasa kagum. Kagum pada orang-orang yang bisa publikasi dan presentasi ilmiah.
Yang lebih konyol lagi, dulu saat saya kuliah S2 di UI, saya pernah mengikuti kuliah yang salah satu pengajarnya adalah Profesor tersohor di bidang sastra dan feminisme. Pada akhir perkuliahan, kita harus membuat makalah. Saya lalu mengerjakan makalah dan mengumpulkannya. Ternyata makalah saya dapat nilai yang cukup tinggi dan beliau menuliskan pesan kepada saya untuk saya memasukkan makalah tersebut ke salah satu jurnal studi Jepang saat itu. Saya ingat sekali pesan beliau. "Kamu harus masukkan tulisan ini, mereka butuh tulisan seperti ini."
Tentu saja saya senang dipuji Profesor hebat. Tapi, karena saat itu kesadaran ilmiah saya kurang, saya tidak menindaklanjuti dengan memasukkan makalah saya. Saya biarkan saja. Semata-mata alasannya karena saya malas mengirimnya. Sampai sekarang saya tidak tahu makalah itu di mana, hard copy maupun soft copynya. Coba kalau saat itu saya sudah punya kesadaran ilmiah tinggi. Mungkin saya akan berusaha mengontak profesor itu. Mungkin saya akan mencoba networking dan mengemukakan passion saya dalam dunia pendidikan. Tapi saat itu saya tidak punya soft skill seperti itu.
Lalu saya studi ke Jepang. Alasan studi sangat sederhana: ilmu saya sangat kurang dan saya ingin ilmu saya bertambah. Pada umumnya, yang memang pekerjaannya dosen itu, sudah punya "feel" akademik sebelum mulai studi. Ia sudah terbiasa dengan presentasi ilmiah dan publikasi. Saya bagaimana? Saat saya studi, status saya itu Ibu rumah tangga dengan satu anak usia 1 tahun 10 bulan. Sebelumnya saya adalah dosen tidak tetap pada sebuah perguruan tinggi swasta, tapi karena status saya tidak tetap, saat saya memutuskan studi, saya harus melepas pekerjaan saya.
Jadi, bisa dibayangkan kan, seorang Ibu rumah tangga studi di Jepang dengan anak usia 1 tahun 10 bulan? Jujur ya, tahun-tahun awal, slot otak saya lebih banyak dipenuhi dengan daftar belanjaan di supermarket, urusan daycare anak, rasa galau karena suami jadi house husband "gara-gara" saya. Kalau orang lain full speed langsung research dari masa research student, saya ngga. Begitu lama saya butuh waktu untuk terbiasa dengan yang namanya research, baca buku, menulis ilmiah. Profesor dengan tajam selalu bilang pada saya, "kamu tidak mengerti apa-apa. Kamu tidak tahu apa-apa."
Tesis S2 saya adalah sampah. Bukan mengada-ada. Profesor yang bilang sendiri. Saya sampai tidak yakin mau lanjut S3. Takut memproduksi sampah yang lebih parah lagi.
Tapi Profesor saya saat itu bilang dengan tegas, "kalau kamu tidak bisa mematahkan limit kamu sekarang ini, seumur hidup kamu akan jadi pecundang, tidak akan jadi apa-apa."
Mati, mati, mati. Mau jadi looser seumur hidup? Karena takut jadi pecundang seumur hidup, akhirnya saya beranikan diri untuk lanjut studi.
Tahun pertama S3 masih galau, tahun kedua paruh pertama, baru saya mulai menemukan feel akademik itu. Setelah melewati 4,5 tahun yang panjang ngga ngerti apa-apa, untuk pertama kalinya Profesor mengapresiasi kinerja saya. Saya tahu itu benar-benar pertolongan Tuhan, kalau akhirnya ada setitik sinar terang dari rangkaian panjang studi saya.
1,5 tahun terakhir studi saya memang tidak bisa dibilang mudah, tapi setidaknya saya sudah sedikit menguasai medan. Bebannya lebih kepada mengejar deadline, bukan merasa lost, tersesat, dalam pengembaraan tidak ada ujung.
Saya hanya ingin bilang, bahwa perkataan tidak ada kata terlambat untuk belajar itu memang benar adanya. Sekalipun kita ibu-ibu punya anak bayi, sekalipun kita pengangguran, sekalipun kita sangat terlambat memulai. Kita bisa mendesain ulang hidup kita, jalan yang akan kita tempuh.
Terus terang saja, studi pascasarjana itu bukan hal mudah. Apalagi untuk orang dengan banyak keterbatasan seperti saya. Tapi justru karena saya terbatas, saya lemah, saya banyak ketidakmampuan, saya dapat dengan yakin berkata, "Dalam kelemahanlah kuasaMu menjadi sempurna."
Bogor, 22 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

"Kapan punya anak?"


Emberan ya, halak kita ini kayaknya gatel banget pengen nanya soal kita udah punya anak or ngga, sejak hari pertama nikah. Kayaknya di awal-awal nulisrandom2017 ini saya pernah juga bahas soal pertanyaan kapan punya anak, tapi saya tergelitik ingin bahas lagi khusus, only tentang pertanyaan kapan punya anak.
Teori dan prakteknya, embrio ngga akan ada di rahim, jika tidak ada pertemuan sperma dan indung telur. Ingat, janin tidak akan terjadi hanya karena ada indung telur. Kita butuh sperma, benar? Artinya apa? Embrio alias bakal anak ini terjadi atas kerjasama sama rata suami istri. Ya bukan suami istri juga bisa banget punya anak, tapi hari ini saya mau bahas tentang status perempuan yang sudah menikah dan kerap kali ditanya tak henti soal kapan punya anak. Jadi untuk kali ini kita bahasnya yang di dalam kerangka pernikahan ya.
Entah di suku lain gimana, tapi kalau di suku Batak, punya anak itu udah kayak kewajiban. Dengan garis keturunan patrilineal garis keras, dalam adat Batak, orang yang ngga mau punya anak itu dipandang aneh. Dianggap sok modern, ngga benar, dan sejenisnya. Yang ngga bisa punya anak juga dianggapnya pesakitan. Disuruh segera berobat, didesak-desak terus. Yang menunda untuk punya anak ya dianggap sinting juga. Dianggap nolak rejeki. Intinya, hari ini nikah, kalau bisa, besok langsung hamil. Lebih cepat lebih baik! Dan....lebih banyak anak lebih baik!
Yang "aneh", meski anak itu ada di rahim berkat pertemuan sel telur dan sperma, yang selalu ditanya soal kapan punya anak, kapan punya anak itu hanya perempuan. Laki-laki sangat jarang ditanya atau ditekan atau diopresi soal ini. When it comes to child, so woman it is! Laki-laki silakan makan kacang dan minum bir aja sambil ngobrol-ngobrol di teras.
Tapi hal "aneh" di atas, menjadi tidak aneh jika kita membedahnya dari perspektif gender. Konstruksi budaya sudah mengatur bahwa tempat laki-laki itu di luar rumah, di ranah publik, sedang tempat perempuan itu di dalam rumah, di ranah domestik. Dan karena perempuan punya rahim, maka urusan anak ini di bawah sadar dianggap urusan perempuan, minimal perempuan yang lebih bertanggungjawab. Ini sama seperti urusan kerjaan. Kalau perempuan nganggur, tinggal "lari" jadi ibu rumah tangga, dia tetap dapat status, tapi kalau laki-laki yang nganggur? Kalau dia "lari" jadi Bapak rumah tangga, dari pengalaman saya, laki-laki ini dianggap looser alias pecundang. Mengapa? Karena, nilai laki-laki "sejati" itu ada pada apakah dia punya power secara ekonomi atau ngga, alias dia punya pekerjaan yang stabil atau ngga. Sebaliknya, perempuan juga dianggap bukan perempuan "sejati" jika ia belum punya anak dan belum menikah. Mengapa? Karena, nilai perempuan "sejati" itu ada pada motherhood dan wifehood. Makanya kan, orang-orang di sekitar kita ribuuuuuut banget kalau kita, perempuan, belum menikah padahal sudah melewati batas umur tertentu atau belum juga dikaruniai anak setelah sekian lama menikah.
Untuk sesama perempuan yang saat ini sedang struggle dengan pertanyaan tak ada ujung soal kapan hamil, kapan punya anak, saya hanya ingin berkata: "keep your chin up, because you are more than "just a woman", you are a human! Dan sebagai manusia, kita punya kebebasan memilih dan mendesain hidup kita mau seperti apa. Termasuk di dalamnya, family planning, kapan mau punya anak, mau punya anak berapa, saat umur berapa.
Untuk yang memang sebenarnya ingin punya anak tapi memang belum diberi kesempatan hamil, saya tahu, sungguh rese mendengarkan komentar soal kapan hamil bla bla bla, tapi saya hanya ingin bilang: hamil atau ngga hamil, kita tetap manusia utuh! Patriarki memang kejam, menilai kita berarti hanya jika kita hamil dan punya anak, dan membuat segala prestasi kita di luar kehamilan seperti punya kerja yang bagus, karakter yang baik, sekolah yang tinggi, menjadi tidak ada artinya. Bahkan, pemikiran bahwa hamil itu prestasi saja, menurut saya sudah tidak benar. Hamil itu anugerah, bukan prestasi.
Saya hanya ingin bilang kepada setiap perempuan yang struggle dengan wacana kehamilan: don't let patriarchy norms define us! Karena....kita yang bertanggungjawab untuk mendefinisikan diri kita sendiri, bukan norma patriarki.
Sebagai perempuan, apalagi perempuan dalam lingkungan batak, saya pun tidak luput dari pertanyaan-pertanyaan seputar kapan hamil. Tentu saja saya tidak mengkonfrontir balik dan cari ribut ketika terus-terusan ditanya kapan hamil, tetapi semakin kuat berondongan pertanyaan itu, saya semakin intens berdialog dan menguatkan diri sendiri: tubuh ini milik saya, saya punya hak penuh menentukan kapan hamil dan saya sangat percaya, Tuhan pun tidak pernah memaksa, jadi mengapa saya harus merasa lemah dengan ucapan-ucapan orang-orang di sekitar saya?
Karena teman terbaik kita adalah diri kita sendiri. Sebelum bersosialisasi dengan orang lain, pastikan kita bersosialisasi dengan diri kita sendiri. Berdialog dengan diri sendiri. Mengenal dalam-dalam diri sendiri. Memahami diri sendiri. Mendefinisikan diri sendiri. Sehingga, ketika ada yang mencoba mendefinisikan hidup kita, kita tidak goyah dan tetap teguh hati berpegang pada apa yang kita anggap benar. Dengan segala resikonya.
Karena, dengan berani mendefinisikan diri kita, kita mengukuhkan hakekat kemanusiaan kita.
Bogor, 20 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

Memajukan orang lain


Setiap orang pasti ingin hidupnya maju. Lebih baik dari hari ke hari. Itu wajar. Siapa yang menginginkan kemunduran? Ngga ada kan?
Lalu kita melakukan segala usaha agar kita bisa semakin maju, sejahtera, makmur. Usahanya bisa halal, bisa juga tidak. Ada yang bekerja keras, berusaha mati-matian agar maju. Ada yang mengasah skill networking sana sini. Ada juga yang mungkin kurang sabar, jadi akhirnya cari cara pintas. Entah menjilat, nyogok sana sini, atau korupsi.
Mau cara yang halal atau tidak halal, intinya semua orang itu ingin agar hidupnya lebih baik dan lebih maju dari hari ke hari. Baik dalam hal keluarga, karir, materi, kepribadian.
Tapi, pernah ngga kita berpikir untuk memajukan orang lain dalam keseharian kita? Melalui pekerjaan, kegiatan sosial atau apa saja yang dapat kita lakukan.
Papa saya berkata pada saya, "Dalam bekerja, ada dua hal yang harus selalu diingat. Kita memajukan diri sendiri dan memajukan orang lain. Bekerja tidak ada gunanya jika diri sendiri yang maju, tapi kita tidak mampu memajukan orang lain."
Kata-kata itu diucapkan kepada saya di hari-hari pertama saya menjadi dosen. Saya lalu teringat hari-hari ketika Papa saya masih aktif menjadi dosen. Beliau berkembang, tapi tidak pernah lupa untuk mengembangkan orang lain. Setelah karirnya mulai stabil, beliau berupaya untuk memajukan rekan-rekannya yang lebih muda, agar lebih berkembang dan mendapat banyak pengalaman. Ada yang berterima kasih padanya, tetapi ada juga yang setelah ditolong malah pergi entah kemana. Tapi beliau tidak peduli. Sampai purna bakti pun track record Papa tetap sama: memajukan diri sendiri dan memajukan orang lain.
Sisi gelap manusia yang mungkin jarang diungkap terang-terangan adalah, kita tidak senang jika ada orang lain yang lebih baik dari kita. Kita merasa tersaingi, merasa terancam, merasa iri hati. Saya juga tidak memungkiri, sebagai manusia, saya punya perasaan-perasaan itu. Saya rasa semua manusia pasti merasa seperti itu jika melihat orang lain berhasil. "Wah dia udah naik pangkat aja, gue belum. Wah dia udah hebat, gue gini-gini aja." Timbul rasa tidak aman dalam diri kita dan ini sebenarnya normal.
Tapi sebenarnya perasaan-perasaan itu bisa diminimalisir jika kita percaya diri akan kualitas kita. Orang yang berkualitas pasti akan selalu memikirkan cara untuk memajukan orang lain, karena ia tidak takut bersaing dan percaya pada kemampuan dirinya. Dan jika orientasinya adalah untuk kemajuan, dia pasti akan berusaha agar orang lain berkembang sambil ia terus mengembangkan diri.
Saya selalu ingat etos kerja memajukan orang lain itu. Itu sebabnya, jika ada yang minta tolong pada saya dalam rangka pengembangan dirinya, saya selalu berusaha untuk membantu sebisa saya. Tentu waktu saya jadi tersita beberapa saat, tapi saya anggap ini bagian dari pekerjaan, jadi saya tidak merasakan sebagai sebuah beban. Di kelas juga saya selalu berusaha memberikan yang terbaik agar mahasiswa-mahasiswa saya dapat semakin berkembang. Kelak jika saya sudah lebih stabil karirnya, saya berharap dapat menggunakan kestabilan tersebut untuk lebih lagi memajukan orang lain, bukan hanya memajukan diri sendiri.
Beberapa hari yang lalu, saya mendapat pekerjaan tambahan yang sebenarnya saya ngga yakin dibayar atau ngga, tapi saya cukup bersemangat karena melalui pekerjaan ini saya dapat memajukan diri sendiri dan orang lain. Lalu ada teman yang menanggapi, "banyak kerjaan sih banyak kerjaan, tapi ada duitnya ngga?"
Memang susah jadi orang sok idealis, begitu dapat kerjaan, yang pertama-tama dilihat adalah hal-hal non material seperti kerjaan ini memajukan diri saya ngga, kerjaan ini mengembangkan orang lain ngga. Tidak heran, sampai hari ini saya ngga kaya-kaya. Tapi ya gimana, sejak kecil saya lihat contoh Papa saya yang selalu bilang, "kalau kerja jangan pikirin duitnya, jangan apa-apa mau duitnya dulu, tapi pikirin kerjaan itu bisa bikin kita dan orang lain berkembang atau ngga." Mama juga sama kayak gitu, kakek nenek saya juga. Bukan orang yang menilai apa-apa dengan uang.
Dalam hidup yang serba terburu-buru dan penuh dengan persaingan ini, ide memajukan orang lain mungkin terdengar usang. Ia mungkin jargon kuno yang sudah lekang dimakan waktu di dalam kehidupan yang berorientasi ambisi seperti saat ini. Dunia bergerak cepat dan penuh dengan persaingan yang membuat kita takut tertinggal. Tetapi, untuk saya, etos kerja memajukan orang lain hadir sebagai pengingat untuk saya bersikap lebih santai dan tidak terburu-buru dalam hidup ini, sebagai upaya untuk mengembalikan hakekat diri sebagai manusia yang pada dasarnya membutuhkan dan dibutuhkan orang lain.
Kita memang bertanggungjawab memajukan diri sendiri, tetapi kita juga mengemban tugas memajukan orang lain. Karena jika hidup kita tidak memberi manfaat untuk orang lain, di titik itu kita kehilangan sukacita memberi dan hidup menjadi menurun kualitasnya jika kita hanya memikirkan diri sendiri.
Bogor, 19 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

Jumat pagi, Jumat deadline.


Sekilas kerjaan saya kayaknya enak, "cuma ngomong-ngomong aja", "cuma ngajar-ngajar aja", "cuma aktualisasi diri ngomong soal gender"
di depan para pendengar atau mahasiswa".
Well, mereka ngga tahu, kalau saya sampai begadang menyiapkan ini semua. Sama juga dengan presentasi di conference. Cuma ngomong 15 menit dan jawab beberapa pertanyaan, apa susahnya? Lagi-lagi, ngga ada yang tahu kan malam-malam panjang memeras otak demi menghasilkan sebuah presentasi yang semoga cukup berbobot dalam waktu 15 menit.
Mengajar juga sama aja. Berdiri di depan mahasiswa menjelaskan berbagai macam konsep, kelihatannya gampang. Ngga tahu kan kalau bagian paling susah dari kasih kuliah itu adalah persiapannya? Baca materi, bikin catatan penting, menyiapkan power point.
Nulis jurnal paling cuma berapa halaman sih, 8-10 halaman? Nulis-nulis aja kan, di rumah juga bisa? Ngga ada yang tahu kan, agar bisa menghasilkan tulisan ilmiah itu, sambil nulis saya sambil cek data, sambil baca lagi, analisis lagi, mikir lagi, merangkai kata biar pemikiran saya jelas terwakilkan. Ruang komputer di rumah berantakan banget sekarang, buku di mana-mana. Tiap pegang buku-buku itu ngga habis-habisnya bersyukur, pas pulang ke Indonesia berkeras mau bawa semua buku itu termasuk fotokopian2 kuliah, sampai baju-baju saya tinggalkan, pokoknya prioritas utama saya buku. Ngga kebayang kalau ngga punya buku-buku ini, tahu sendiri kan di Indonesia akses informasi masih agak sulit.
Jadi kalau ada pembicara seminar yang ngomong di depan publik dan kita berpikir, "Enak ya dia ngomong-ngomong aja kerjanya", ingat, di balik "ngomong-ngomong aja" itu ada keringat peluh air mata sampai akhirnya dia bisa "ngomong-ngomong aja". Ada persiapan, ada perjuangan.
Dan biar kita punya materi untuk "ngomong-ngomong aja", ya kita mesti belajar, mesti nulis, mesti punya ide-ide baru. Makanya nih, biar saya bisa berkelanjutan ngomong-ngomong terus, ya saya belajar, saya nulis, saya membaca. Meski, karena kerjanya dari rumah dan saya ngetik-ngetik di depan komputer, anak saya menganggap saya ngga kerja dan bilang, "Mama mah main-main komputer aja."
Kerja itu bukan cuma yang pergi pagi-pagi jadi orang kantoran, di mari juga kerja, sambil ntar harus ngantar anak les, masak makan siang, nunggu anak les bawa-bawa laptop ngejar deadline makalah, kurang berjuang apalagi coba ini?
Jumat pagi, Jumat deadline, dengan pertanyaan random anak, "Mama, Hellen Keller itu seperti apa?" Dan karena besok weekend yang so called family day, alamat ini makalah harus diberesin hari ini biar tenang jalan-jalan besok. Ini resikonya jadi ibu-ibu so called researcher ya bok!
Semangat, semangaaaaat, untuk jalan hidup yang kita pilih!
14 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

Bogor Permai atau restoran gaul?


Kemarin malam saya makan di food court Botani Square Bogor. Saya ngga makan makanan yang lagi kekinian, saya makan kwetiaw siramnya Rumah Makan Bakmi Gaya Tunggal. Mereka memang buka satu stand di food court Botani Square.
Sambil makan, saya sambil mikir. Kwetiaw siram ini rasanya sederhana, ngga berlebihan, pas. Bukan rasa yang kayaknya usaha banget biar jadi enak. Penampakannya pun sederhana. Tidak pakai dihias-hias, piringnya juga hanya piring putih biasa dengan cap "gaya tunggal" yang tidak keren sama sekali.
Rumah makan bakmi Gaya Tunggal itu pertama-tama dibuka di daerah Pasar Bogor, tepatnya sih di depan museum Zoologi. Restorannya jadul sangat. Saya sendiri ngga pernah makan di restoran pertamanya ini. Saya lebih sering makan di cabangnya yang di Jl Bangbarung, karena dekat dengan rumah saya. Atau mentok-mentok ya di food court Botani Square.
Ada lagi restoran Bogor Permai. Semua orang yang tinggal di Bogor pasti tahu restoran ini. Mulai beroperasi sejak tahun 1963, sampai sekarang, restoran dan toko roti ini tetap banyak penggemar setianya. Letaknya di Jl Jend Sudirman. Jaman saya masih kecil dan belum banyak restoran, Bogor Permai ini termasuk tempat andalan kalau mau makan "mewah". Sate ponorogonya enak banget, sup asparagusnya juga. Kalau untuk sarapan, lontong cap gomehnya itu super juara. Bubur ayamnya rasanya lembut, pas di lidah. Belum lagi roti-roti dan kue-kuenya. Rasanya klasik.
Di dekat restoran Bogor Permai, masih satu jalan juga, ada Rumah Makan Sahabat alias Yungsin. Mie ayam basonya adalah salah satu yang terenak menurut saya. Sewaktu saya studi di Jepang, kalau udah stress mau menghadapi mid defense atau progress report, saya langsung ingin makan mie yungsin. Sushi atau sashimi sih ngga bisa dibandingkan dengan mie yungsin deh. Kelasnya beda. Enakan mie yungsin maksudnya!
Satu lagi restoran yang menurut saya makanannya enak itu rumah makan Dunia Baru. Letaknya di Pasar Gembrong. Ini juga ya, sudah ada sejak tahun 1960an, sama seperti Bogor Permai, Bakmi Gaya Tunggal, Mie Yungsin. Sampai sekarang tetap kokoh berdiri. Tempatnya ngga keren sama sekali, malah cenderung gerah karena tidak ber-AC. Meja dan kursinya sederhana, interiornya sama sekali ngga instagramable. Kepiting saos padangnya, sampai hari ini saya belum menemukan tempat lain yang rasanya seotentik Dunia Baru. Semua makanan di Dunia Baru itu ngga ada yang ngga enak. Harganya juga cukup terjangkau.
Sekarang di Bogor banyak restoran-restoran cantik. Interiornya keren sangat, kalau mau foto-foto untuk upload di sosial media, pas banget. Saya pernah mencoba beberapa di antaranya, tapi terus terang aja, saya cukup satu kali aja ke resto-resto cantik kayak gitu. Rasanya ngga kepengen-pengen amat untuk balik lagi. Beda dengan RM Bogor Permai, RM Dunia Baru, RM Sahabat alias Yungsin dan RM Bakmi Gaya Tunggal. Makanan-makanan di restoran-restoran ini seolah-olah memanggil saya untuk mampir lagi, lagi, dan lagi. Dan herannya mau makan berapa kali juga, kalau makan di restoran-restoran tersebut, saya ngga pernah bosan. 
Padahal kan banyak restoran yang kekinian di Bogor, tapi mengapa saya ngga semangat untuk datang lagi? Jawabannya sederhana sih : masakan mereka kurang berkualitas. Minimal, kualitasnya kalah dibandingkan dengan Bogor Permai, Dunia Baru, Bakmi Gaya Tunggal, Mie Yungsin. Kebanyakan restoran kekinian itu tidak punya ciri khas. Satu bikin pizza, yang lain ikutan. Satu bikin chinese food, yang lain ikut bikin juga. Atau, terlalu banyak pilihan makanan yang mereka tawarkan, mulai dari makanan barat, Asia, Indonesia, sampai pusing lihat menunya. Akhirnya kurang fokus. Rasa juga standar, bukan yang istimewa banget. Pernah nih saya diajak makan di restoran yang minta ampun ngantrinya gila banget, sampai diberlakukan sistem buka tutup demi menjaga ketertiban tamu. Restoran ini banyak sekali pengunjungnya dan kalau saya perhatikan, rata-rata platnya B. Mungkin anak Jakarta yang kemakan iklan ingin makan di tempat yang kekinian. Karena yang mau makan di restoran ini banyak banget, saya pikir, makanannya mungkin enak banget. Ternyata? Minta ampun, ngga enak sama sekali. Semua yang kenal saya tahu kan ya kalau saya ini ngga bisa masak. Tapi makan di restoran itu, saya mikir, yaelaaaaah kalau cuma segini doang mah gue juga bisa bikin di rumah! Bayangin deh kalau orang yang ngga bisa masak macam saya sudah berpikir begitu, berarti kan rasa masakannya standar banget. Sampai hari ini, saya tidak pernah mau balik ke restoran itu, karena pengalaman pertama, rasa makanannya benar-benar standar, malah agak kurang ya kalau untuk ukuran restoran.
Kalau saya perhatikan, RM Bogor Permai, RM Dunia Baru, RM Bakmi Gaya Tungga; dan RM Mie Yungsin itu sampai hari ini tetap bertahan di tengah-tengah restoran-restoran gaul di Bogor, karena mereka itu punya kualitas, konsisten, dan emang passion mereka itu beneran di usaha kuliner. Istilahnya, sudah panggilan hidup para owner restoran-restoran di atas untuk membuka restoran dan menyediakan makanan enak untuk warga Bogor. Mereka buka restoran dan bertahan sampai hari ini karena memang mereka mampu, mereka punya ciri khas, mereka fokus banget. Coba deh perhatikan, misalnya Bakmi Gaya Tunggal dan Mie Yungsin. Mereka fokus di mie. Mereka ngga centil ikut-ikutan jualan pizza misalnya. Kalau mie ya mie aja. Dan meskipun sama-sama mie, dua-duanya tetap bertahan sampai hari ini, karena punya ciri khas. Mie yungsin rasanya lebih oily, lebih kuat, lebih jreng! Sedang Bakmi Gaya Tunggal, rasanya lebih ringan, sederhana. Demikian juga Bogor Permai dan Dunia Baru. Bogor Permai fokus di kue-kue dan roti. Dari dulu sampai sekarang, varian roti yang dijual di Bogor Permai ya itu-itu aja. Tapi tetap enak dan rasanya konsisten, ngga berubah. Sate Ponorogonya Bogor Permai juga rasanya tetap sama, dari saat pertama kali saya makan ketika saya masih SD kelas 1 sampai hari ini, saat usia saya menuju 40 tahun. Ngga ada perubahan sama sekali. Konsisten. Dunia Baru juga pastinya begitu. Restoran ini fokus khusus di masakan Cina. Mereka ngga ikut-ikutan jualan zuppa soup atau cheese fondue atau laksa Malaysia-lah segala macam. Dari jaman saya SD makan di sini sampai sekarang saya yang punya anak SD, Dunia Baru ngga pernah berubah, baik rasa maupun suasana. Menu makannya aja masih "jelek", hanya terdiri dari beberapa lembar kertas yang diluminating, yang tidak bercita rasa seni sama sekali. Terus kita nulis sendiri pesanan kita di atas kertas buram yang sangat jadul. Tapi soal rasa? Juara satu terus dehhhhh, ngga pernah turun peringkat!
Kemarin, sambil makan kwetiaw siramnya bakmi gaya tunggal, saya berpikir, bahwa memang terakhir-terakhirnya, yang akan bertahan dan menjadi pemenang itu ya orang-orang yang emang punya kualitas. Soal ngegaya atau tengil sana sini, semua juga bisa, tapi cepat atau lambat, yang ngga berkualitas ya pada akhirnya tidak akan bertahan. Dan kalau kita hidup bagaikan resto-resto wanna be, yang buka bisnis kuliner hanya karena latah ikut-ikutan saja, ya sebenarnya kita tinggal tunggu waktu aja, lama-lama kita tumbang sendiri. Memang sudah paling benar, jangan pernah ikut-ikutan kalau memang ngga mau. Hasilnya ngga akan bagus, jika sesuatu itu tidak benar-benar keluar dari hati.
Pilih mana? Jadi resto yang penampakannya ngga gaul macam Dunia Baru tapi tetap konsisten dengan rasa makanannya yang otentik, atau mau kayak restoran-restoran kekinian yang tampilannya bagus tapi tidak meninggalkan kesan mendalam? Saya sih berharap saya bisa kayak restoran Dunia Baru ya. Yang meskipun sudah puluhan tahun bergerak di bidang yang sama, tapi tetap punya semangat dan passion, dan selalu menyuguhkan yang terbaik. Yang meskipun dari luar terlihat biasa-biasa saja, tapi kedalaman dapurnya itu sungguh menunjukkan kualitas mumpuni.
Berita baiknya, seperti yang dulu pernah saya posting juga, kualitas itu bisa diasah. Asal memang kita hidup sesuai dengan panggilan hidup kita. Jangan sampai kita memakai sepatu yang salah, yang sempit atau yang kegedean. Kita akan sulit berjalan karena faktor ketidakcocokan antara kaki dan sepatu itu sendiri. Tetapi, jika kita mengenakan sepatu yang pas, kita akan dapat berjalan terus, sekalipun dalam pelaksanaannya, kita pasti menemukan kerikil-kerikil tajam, batu-batu besar, tebing-tebing yang terjal. Tetapi, sepanjang kita mengenakan sepatu yang pas, yang memang benar-benar cocok untuk kita, kita pasti akan dapat terus bergerak maju. Walaupun pelan-pelan. Walaupun selangkah demi selangkah.
11 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

Enakan mana? Jepang atau Indonesia?


Setelah kembali dari Jepang dua tahun yang lalu, saya sering ditanya: enakan mana, Jepang atau Indonesia? Ngapain pulang, kan enakan di sana?
Menurut saya, pertanyaan di atas sulit dijawab hanya dengan satu kata. Enakan Jepang atau enakan Indonesia. Karena, mungkin di Jepang enak di satu sisi, tapi di Indonesia enak di sisi lain.
Memang harus saya akui, kalau soal kualitas hidup, Jepang memang jauh lebih enak. Teratur, nyaman, bersih. Polusi udara tidak separah di Indonesia. Transportasi publik nyaman dan terintegrasi, ruang publik terbuka ramah anak banyak banget, pendidikan usia dini dan dasar dikelola dengan sangat serius. Asuransi kesehatan terjamin, kita dapat tunjangan anak dari pemda, urusan birokrasi sangat ringkas dan ngga ribet. Urus KTP 10 menit selesai.
Tapi soal ketenangan batin sih memang lebih bikin tenang Indonesia. Biar gimanapun, rasanya galau kalau merantau jauh sementara orang tua kita sudah makin tua. Makanan juga jelas lebih enak Indonesia. Untuk saya pribadi, di Indonesia rasanya lebih tenang membangun hidup. Meskipun dalam basis harian, persoalan printil sangat banyak dan menguras energi.
Lepas dari semua itu, yang membuat saya memutuskan untuk pulang setelah selesai studi adalah karena memang tujuan awal saya merantau ke Jepang adalah untuk memajukan negeri tercinta. Saya tahu, ini tujuan sok idealis banget. Hari gini, mau bangun bangsa, mending juga ada yang mengapresiasi. Yang ada susahnya melulu kali.
Satu hal yang sering keliru dipahami, kebanyakan halak kita ini menganggap kalau sudah dari luar negeri, balik ke Indonesia pasti sukses. Kalau kita ngga segera sukses, kayaknya nista banget. Yang paham kalau setelah dari luar negeri kemudian pulang ke Indonesia itu pasti awal-awal benar-benar carut marut dan butuh waktu untuk stabil memang hanya orang yang pernah merasakan kondisi ini. Di tengah gempuran pertanyaan kapan James dapat kerja, kenapa Rouli jadi staf marketing, hanya Papa dan Uda (adik Papa) yang bilang gini:
"Butuh waktu setidaknya satu tahun sampai stabil."
"Tiga tahun pertama pasti sulit. Dulu Papa juga gitu, jadi harus bertahan."
Coba dong dunia, tambah lagi orang "adem" macam Papa dan Uda!
Balik lagi soal sukses. Berdasarkan pengalaman, mentang-mentang udah beres studi di Jepang, bukan berarti langsung sukses. Ngga. Di mana-mana namanya sukses itu butuh waktu, butuh proses. Sama seperti mendapatkan gelar S3 ini aja butuh waktu 6 tahun, kalau mau sukses karir pun ya harus siap mental pasti butuh waktu lama. Dan dari tahapan paling bawah.
Saya pernah ditanya oleh salah seorang rekan kerja. "Kok elu mau, Mbak, jalanin dari tahapan paling bawah gini? Kan Mbak udah S3?"
Saya jawab, "Ya apa sih arti beberapa tahun di awal kalau kita mikirnya mau berkarya sampai usia 70?"
Kadang kita harus punya visi besar supaya tidak gampang patah semangat pada masalah-masalah yang sifatnya printil dan sehari-hari. Yang rese-rese pasti banyak, namanya juga hidup, tapi kalau kita terlalu fokus pada urusan kecil dan lupa big picturenya, kita ngga akan maju-maju. Lebih baik maju selangkah demi selangkah meski pelan daripada berharap langsung melakukan lompatan besar tapi kenyataannya hanya bergerak di tempat.
Pada awal minggu pertama kepulangan saya ke Indonesia, saya lari pagi keliling lingkar luar Kebun Raya Bogor. Di depan sungai Ciliwung saya berhenti sejenak. Saya tatap sungai kotor dengan airnya yang berwarna kecoklatan dan penuh sampah di sana sini sambil di benak saya terbayang sungai Senri dekat tempat tinggal saya dulu di Osaka, yang sangat bersih dan jernih airnya. Lalu suara hati saya berkata,
"Untuk itulah kamu pulang. Karena di sini masih ada sungai Ciliwung. Artinya ada banyak ruang untuk melakukan perbaikan."
Sekalipun sungguh masih dalam tahap embrio, sedikit demi sedikit saya berusaha melakukan perbaikan. Mungkin dampaknya belum terasa, tapi saya sudah memulai dan akan terus memulai.
"Enakan mana? Jepang atau Indonesia?"
Saya coba jawab: "Kalau kualitas hidup memang lebih enak Jepang, tapi satu hal yang pasti: Indonesia lebih membutuhkan saya."
8 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

Patriarki hanya merugikan perempuan?


Kalau ada perempuan yang menyerukan kesetaraan perempuan, minta supaya perempuan tidak terbatasi ruang lingkupnya hanya pada ranah domestik, mungkin tidak sedikit dari antara kita yang menganggap perempuan-perempuan ini agak nyentrik, aneh, banyak maunya. Kok ngga terima "kodrat"? Kok ngga legowo dengan "peran perempuan"?
Pada umumnya, kita berpikir gerakan feminisme atau gerakan kesetaraan perempuan yang mencoba mendobrak norma-norma patriarki, "hanya" menguntungkan perempuan saja. Benar demikian?
Awalnya saya juga mengira demikian. Bahwa feminisme adalah perlawanan antara perempuan vs laki-laki. Ternyata bukan. Feminisme bukan persoalan antara laki-laki melawan perempuan. Feminisme sesungguhnya adalah pertentangan antara manusia yang melestarikan nilai-nilai patriarki dan manusia yang berusaha mendobrak nilai-nilai patriarki.
Tidak bisa dipungkiri, nilai-nilai patriarki masih kuat mengakar dalam hidup kita sehari-hari. Secara sederhana, patriarki adalah sebuah sistem di dalam masyarakat atau pemerintahan di mana laki-laki yang memiliki otoritas kuasa dan perempuan dipinggirkan dari otoritas kuasa tersebut. Secara kongkrit, pengejawantahan norma patriarki, misalnya:
Perempuan tugas utamanya adalah pada ranah domestik, sedang laki-laki menguasai ranah publik.
Mitos maskulin dan feminin,contoh: laki-laki adalah "benar-benar laki-laki" jika ia tegas, kuat, berjiwa pemimpin, ambisius, semangat mengukir prestasi, sedangkan perempuan adalah "benar-benar perempuan" jika ia lembut, pendiam, penurut, tidak ambisi, senang jadi homemaker.
Laki-laki adalah pihak yang menolong, melindungi, menafkahi, memberi kebahagiaan, dan perempuan adalah pihak yang ditolong, dilindungi, dinafkahi, diberi kebahagiaan. Contoh paling klasik dapat dilihat pada cerita dongeng Cinderella dan Snow White. Cinderella yang miskin berubah nasib menjadi kaya setelah menikah dengan pangeran, Snow White yang sudah mati karena makan apel beracun, hidup kembali setelah dicium pangeran (semoga ini pangerannya beda ya, kasihan kan kalau sama, Cinderella dan Snow White jadi korban poligami).
Laki-laki yang ikut membantu urus anak, beres-beres rumah dianggap heroik, dipuja-puja, sedang kalau perempuan ikut-ikutan kerja, cenderung mendapat penilaian kurang baik, dan sering dibarengi pertanyaan "Itu anaknya ngga apa-apa ga tuh?"
Laki-laki kalau hijrah ke luar negeri untuk kerja atau sekolah dan bawa anak istri, dianggap wajar, sebaliknya kalau perempuan yang bawa anak suami, dianggap aneh dan ngga jarang dianggap ga tahu diri dan merepotkan orang lain, sok ambisius dan tengil sejuta. Kok saya bisa ngomong gitu? Kan saya udah ngalamin sendiri! "Dosa" saya pada norma patriarki sudah sangat besar!
Dari contoh-contoh di atas, kelihatannya norma patriarki ini menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan ya. Tapi, laki-laki yang mana dulu, perempuan yang mana dulu?
Bagaimana dengan laki-laki yang diPHK dan sulit dapat kerja?
Bagaimana dengan laki-laki yang ikut istrinya ke luar negeri? (Itu suami saya!)
Bagaimana dengan laki-laki yang jiwanya lembut dan gampang nangis?
Bagaimana dengan laki-laki yang tidak ambisius mencetak prestasi?
Jelas untuk laki-laki seperti ini, norma patriarki merugikan. Membuat dirinya merasa tidak berguna, berada di posisi pinggiran dalam hidup bermasyarakat, dan terasingkan karena ia tidak mencapai standar laki-laki ideal berdasarkan norma patriarki.
Saya sudah merasakan punya suami yang berada dalam kondisi tidak punya pekerjaan dalam waktu yang cukup lama, karena ia dan anak saya mengikuti saya hijrah ke Jepang. Dalam tahun-tahun itu, saya menyadari bahwa untuk laki-laki, tidak punya kerja itu bebannya seperti perempuan yang tidak bisa punya anak. Merasa diri kurang lengkap dan pecundang. Saya juga mengamati, untuk mahasiswa laki-laki yang bawa istri, sepertinya tidak ada masalah besar, malah kayaknya istri senang tinggal di Jepang. Tapi kebalikannya, kalau mahasiswa perempuan yang bawa suami, benar-benar butuh waktu lama untuk suami dan istri tersebut merasa nyaman dengan kehidupan baru di Jepang.
Mengapa hal tersebut terjadi? Internalisasi norma patriarki yang sudah kuat mengakar dalam keseharian dan pedalaman batin kita! Di bawah sadar, kita merasa bahwa "yang benar", "yang wajar " itu adalah jika laki-laki dan perempuan berperan sesuai dengan pembagian tugas yang kaku antara ranah domestik dan publik. Negosiasi diperbolehkan, tapi hanya dalam batas-batas "yang wajar".
Maka, tidak heran jika saya dianggap perempuan aneh karena angkut anak suami ke Jepang demi "so called post graduate study" ini. Suami saya dianggap aneh karena kok jadi laki-laki mau aja ikut istri, di sana ngga punya kerja tetap pula. Anak saya dikasihani banyak orang karena punya ibu yang tega meninggalkan dia dengan berangkat duluan ke Jepang. Coba sebaliknya: suami yang studi, saya yang ikut. Pasti ngga menuai perdebatan, semuanya dianggap wajar, wajar, wajar.
Kita hidup dalam masyarakat yang dibangun dalam konstruksi dominan patriarki. Persoalannya, manusia itu tidak bisa dikotak-kotakkan perannya dalam sebuah sistem yang kaku. Apalagi di jaman yang semakin sulit ini, kita harus lebih fleksibel dalam menyikapi nilai dan menerima keberagaman gaya hidup.
Mungkin kita harus mulai secara sadar melatih diri: untuk mendefinisikan hidup sesuai dengan pemikiran kritis kita, bukan hanya terima jadi warisan norma patriarki. Karena pada akhirnya, yang berbahagia adalah yang membebaskan pikirannya dari norma-norma yang mengikat yang menghambat kemajuan diri. Karena pada akhirnya, takut pada perubahan hanya akan membawa kesempitan pada pola pikir dan kita kehilangan banyak hal baik yang sebenarnya ada di luar tempurung patriarki.
7 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

Pakai ART atau ngga?


Ini nih topik yang sempat hangat beberapa waktu yang lalu, tentang debat pakai Asisten Rumah Tangga (ART) atau ngga pakai ART. Saya sendiri agak bingung, kenapa hal kayak gini harus jadi masalah. Kan sebenarnya sederhana: kalau dirasa butuh ya pakai, ngga butuh ya ngga pakai. Kan beres?
Saya sendiri termasuk kubu mana? Maaf, saya paling anti polarisasi segala macam wacana seputar "good mom-bad mom". Menurut saya, belum tentu ibu yang ngga pakai ART, yang anti susu formula, yang kasih ASI eksklusif, yang masak tiap hari itu ibu yang baik. Belum tentu juga ibu yang pakai ART, yang kasih susu formula, yang ngga masak tiap hari itu ibu yang buruk. Terlalu murah ngga sih, melabeli baik buruknya ibu hanya dengan hal-hal di atas?
Jadi kalau sudah mulai ramai pertentangan bad mom vs good mom, saya sih ngga mau ikut-ikut. Buang energi maksimal itu sih. Termasuk soal heboh pakai ART atau ngga.
Saya perhatikan, yang ngga pakai ART itu suka ngerasa bangga dan anggap dirinya ngga level dengan yang pakai ART. Di mata ibu-ibu yang ngga pakai ART, ibu-ibu yang pakai ART ini suka dianggap manja, ngga peduli anak, sosialita. Bukannya masak di rumah malah arisan kongkow kongkow. Terus, ada juga yang benchmarking ke ibu-ibu Indonesia yang tinggal di negara-negara maju. Di situ ibu-ibu ngerjain segala sesuatunya sendiri tuhhhhh...kok lu-lu pada manja amat sih di Indonesia?
Sebagai orang yang pernah merasakan hidup di negara maju, saya hanya mau bilang, kondisi Indonesia dan negara maju itu beda. Misalnya di Jepang, meski ngga pakai ART, lingkungan dan sistem mendukung untuk hidup tetap nyaman dan aman. Di Jepang, ada daycare seharian penuh untuk menitipkan anak jika kita bekerja atau sekolah. Untuk tingkat SD, ada after school program sampai kelas 4 SD, jadi selesai sekolah, anak yang orang tuanya bekerja atau sekolah, bisa ikut kegiatan di gedung yang satu area dengan sekolah, dan memang diawasi caregiver bersertifikat. Jarak sekolah dengan rumah itu relatif dekat dan lingkungan sekitar cukup aman. Kita ga perlu pusing soal antar jemput anak.
Soal makanan, di Jepang itu umumnya masakan lebih simple. Cuma goreng salmon aja beres. Sementara di Indonesia salmon itu termasuk makanan mewah, di Jepang orang makan salmon sebagai makanan sehari-hari. Harga memang lebih terjangkau daripada salmon di Indonesia.
Intinya itu, banyak hal yang mempermudah hidup sehingga keberadaan ART itu tidak terasa sangat signifikan. Tapi kalau di Indonesia bagaimana? Terutama di kota-kota besar, kita ngeri juga melepas anak pergi pulang sekolah sendiri. Kalau orang tua dua-duanya bekerja, tidak ada after school program seperti di Jepang yang mudah dijangkau. Soal masakan juga masakan Indonesia cukup ribet. Singkat cerita, jika kita tidak punya support system yang kuat, mempekerjakan ART adalah salah satu pilihan untuk mempermudah hidup.
Terus gimana, pulang ke Indonesia saya pakai ART ngga? Saya sih ngga pakai. Bukan karena ingin jadi ibu teladan yang mau ngerjain semuanya sendiri, tapi memang karena rumah saya ini kecil dan kalau ada ART, privacy di rumah jadi ngga ada. Selain itu juga, puji syukurnya itu Mama dan Papa mau dititipi Joanna selama saya bekerja, dan Joanna juga bisa urus dirinya sendiri jadi tidak terlalu merepotkan Mama Papa. Jadi saya pikir, ngga pakai ART juga kehidupan masih bisa berjalan baik.
Yang sebenarnya saya ngga suka itu bukan masalah pakai ART atau tidak. Yang menurut saya sangat menyebalkan itu adalah gimana kelompok ibu-ibu yang pakai ART dan tidak itu saling merasa diri paling benar dan cenderung menjatuhkan yang lain. Ini sama saja dengan perdebatan ibu-ibu antara yang kasih ASI eksklusif dan tidak, yang melahirkan secara alamiah atau caesar, yang bekerja dan tidak bekerja, yang pesan catering dan masak sendiri. Sudahlah, kita jalan dengan jalan masing-masing aja yang penting kita nyaman. Bagus ngganya itu bukan bagian kita untuk menilai.
Lagipula, kok pakai atau tidak pakai ART, melahirkan alamiah atau caesar, ASI atau susu formula, mengapa harus dijadikan pencapaian sih. Konon katanya ada istilah S1 ASI kalau sukses ASI eksklusif 6 bulan, S2 ASI kalau ASI terus selama satu tahun, dan S3 ASI kalau ASI sampai 2 tahun. Jujur ya saya sih daripada Joanna S3 ASI, saya akan lebih bahagia kalau Joanna S3 beneran.
Hidup sebagai ibu itu adalah bagian dari keseharian dan gaya hidup. Ia adalah kewajaran, bukan keluarbiasaan. Ia adalah keberagaman, karena tidak pernah ada satu jalan hidup sebagai ibu yang paling benar atau paling salah.
6 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

Menulis dan popularitas


Maret 2011, gempa bumi dan tsunami melanda bagian timur utara Jepang, yaitu di wilayah Tohoku. Saat itu saya sedang kuliah S2, sudah selesai tahun pertama dan sedang menikmati libur musim semi untuk masuk ke tahun kedua pada bulan April 2011.
Berdasarkan hasil pengamatan saya terhadap acara-acara TV di Jepang yang meliput tentang gempa bumi hebat tersebut, saya lalu menulis notes di Facebook, dengan judul "Say Yes! to Gambaru". Sebenarnya tidak ada sedikitpun niat khusus menuliskan tulisan itu. Sama dengan tulisan-tulisan saya yang lain, emang saya hanya ingin menulis saja, ingin berbagi saja. Tidak lebih dari itu.
Entah mengapa, tulisan itu jadi viral. Dishare di berbagai tempat, di milis, di media sosial. Dan berdasarkan tulisan saya, dibuatlah tulisan tentang semangat gambaru orang Jepang oleh seorang guru etos terkenal dan dimuat di Kompas halaman dua. Ada juga liputan di stasiun TV Indonesia yang konon menyebut-nyebut nama saya.
Akibat viralnya tulisan saya itu, saya menerima banyak permintaan pertemanan di FB saya. Saya terima. Banyak juga yang memuji tulisan saya, minta kenalan, dan sebagainya. Nahhhh di sini saya mulai mawas diri. Apa maksudnya mawas diri?
Saya menyadarkan diri saya sendiri, untuk tidak larut dalam pujian. Belum tentu tulisan saya itu luar biasa. Mungkin tulisan itu viral karena momentnya pas dan mungkin saya yang pertama menulis tentang gempa bumi itu dalam bentuk tulisan yang ringan. Kalau saya terus menerus melenakan diri dalam pujian, bisa-bisa saya ngga produktif. Lebih parah lagi, saya akan menganggap diri saya hebat, padahal kan faktanya saat itu saya adalah mahasiswa S2 yang sedang mengalami siksaan akademik di kampus tercinta. Hebat dari mananya?
Itu sebabnya saya dengan sengaja tidak membalas satu per satu komentar orang-orang yang membaca tulisan saya. Saya balas borongan dan "bersifat umum", seperti "terima kasih banyak sudah baca tulisan saya." Saya juga sengaja tidak membuat akun media sosial lain seperti twitter atau instagram. Ini semua saya lakukan agar jangan sampai saya jadi orang yang sok beken hanya karena satu tulisan saja. Sekarang sih saya punya akun twitter atau instagram tapi saya sama sekali tidak aktif. Jarang saya buka malah.
Sekarang ini sebenarnya mudah untuk kita menjadi terkenal. Posting saja satu tulisan dan jika momentnya tepat, tulisan itu jadi viral dan kita bisa tiba-tiba punya banyak penggemar. Tetapi, jadi terkenal itu menurut saya lebih banyak ngga enaknya daripada enaknya. Semua mata akan menyoroti kelakuan kita. Kita jadi ngga bebas. Dan begitu kita melakukan kesalahan, orang-orang dari berbagai penjuru akan membully kita dengan sadis.
Bagi saya, menulis itu jauh kaitannya dengan popularitas. Menulis untuk saya adalah kebutuhan jiwa. Namanya kebutuhan jiwa, berarti akan terus dilakukan demi kestabilan batin.
Beberapa orang pernah menyarankan untuk saya membukukan notes-notes FB saya yang jumlahnya ratusan itu. Ada juga yang menyarankan untuk kirim tulisan ke media. Tapi sampai hari ini saya belum pernah melakukan semua itu. Mengapa?
Saya hanya berpikir, kalau saya membukukan tulisan saya, orang jadi harus bayar dan usaha lebih untuk baca. Sedang kalau di FB gini kan gratis. Selain itu, saya memang punya komitmen sebagai akademisi: sebelum saya tulis-tulis buku non ilmiah, prioritas saya harus buku ilmiah dulu. Buku ilmiah terbit, baru deh nulis yang lain. Moga-moga deh ya, pada paruh pertama usia 40an, buku ilmiah pertama saya bisa beneran terbit. Mohon doa!
Sekitar dua tahun yang lalu, saya menghadiri sebuah konferensi di Surabaya. Di situ saya bertemu dengan seorang pengajar studi Jepang di daerah Jawa Timur. Setelah berkenalan, ia bertanya,
"Ini Rouli Esther yang menulis "Say Yes! to Gambaru" ya?
Saya jawab: "Iya"
"Saya pakai tulisan Rouli pada mata kuliah masyarakat Jepang, untuk mengajarkan tentang gambaru pada mahasiswa-mahasiswa saya"
Saya jawab: "Terima kasih banyak. Saya jadi terharu."
Beneran, saya sangat terharu saat itu. Meskipun saya tidak pernah dibayar karena apa yang saya tulis, tapi kalau dengar kisah kayak gini, rasanya senang banget. Di titik itu saya ingin terus dan terus menulis.
Jadi, menulis itu menurut saya, tidak ada kaitan dengan popularitas. Mungkin saya memang orang yang sok idealis, tapi sungguh, meminjam idenya Rene Descartes "Cogito ergo sum" (Aku berpikir maka aku ada), saya pun dengan mantap berkata dari lubuk hati saya: "Aku menulis maka aku ada"
Bogor, 5 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

"Kuliah di jurusan apa? di mana?"


Tahun 1996, saya lulus SMA dan mendaftar ikut UMPTN (sekarang namanya SBMPTN) alias Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Saya mendaftar ke Jurusan Sastra Jepang dan Jurusan Sastra Jerman Fakultas Sastra UI (sekarang namanya FIB Fakultas Ilmu Budaya). Keterima? Ngga! Saya ngga lolos masuk di pilihan pertama dan kedua saya.
Karena memang maunya Jurusan Sastra Jepang atau Jerman,saya juga mendaftar di program D3 Bahasa Jepang dan Bahasa Jerman Fakultas Sastra UI. Garis hidup lalu membawa saya kuliah di program D3 Bahasa Jepang Fakultas Sastra UI. Seandainya saat itu saya diterimanya di jurusan Jerman, mungkin saat ini saya jadi dosen studi Jerman kali ya....dan mungkin sudah kelilling Eropa (ngareeeeep....)
Nahhhh, setelah mulai kuliah ini, keseruan-keseruan rese mulai timbul. Biasalah ya, halak kita ini kan doyan basa basi, termasuk tanya-tanya soal kuliah.
Kasus 1
"Kuliah di mana?"
Saya jawab:"UI"
"Jurusan apa?"
Saya jawab: "D3 Bahasa Jepang"
"Kok D3 sih? Nanggung lho ngga dapat gelar."
Saya jawab: "ngga keterima di S1nya"
"Ohhh...moga2 nanti bisa lanjut sampai S1 ya."
Kasus 2
"Ambil jurusan apa?"
Saya jawab: "Bahasa Jepang"
"Ntar kerjanya gimana tuh ya?"
"Belum tahu"
"Moga-moga cepat dapat kerja ya"
Kasus 3
"Program diploma UI kan kayak swastanya UI ya bayarnya mahal"
Saya jawab: "Iya, lebih mahal dari yang S1nya"
"Kenapa ngga masuk S1?"
Saya jawab: "Ngga diterima"
"Ntar gimana tuh abis lulus, lanjut S1 di tempat yang sama bisa ga tuh?"
Saya jawab: "Kalau di tempat yang sama sepertinya ngga bisa."
Dari percakapan-percakapan itu, saya yang saat itu berusia akhir belasan tahun, mengambil kesimpulan:
1. Kalau ngga lulus UMPTN, biar namanya UI, langsung dicapnya UI kw (ya apalah saya ini dibanding anak rantau macam suami saya dan saudara-saudaranya yang nembus jurusan favorit di PTN ternama. Sembahhhhh!!!!)
2. Jurusan sastra kayaknya emang belum dianggap bisa memberikan masa depan cerah. Terutama untuk generasi di atas saya, empat besar jurusan yang akan memberikan kesuksesan adalah: kedokteran, teknik, ekonomi, hukum.
Meskipun agak gondok dengan ucapan-ucapan halak kita ini, tapi diam-diam ucapan-ucapan itu saya jadikan bahan pemikiran demi menuju masa depan yang lebih baik. Biar bagaimanapun tidak dapat dipungkiri, namanya universitas negeri, pasti punya nama besar. Lulusannya sudah pasti lebih diperhitungkan karena nama besar itu. Setelah lulus program D3 Bahasa Jepang UI, saya lalu melanjutkan studi S1 di jurusan Sastra Jepang Universitas Nasional. Saya kan mau jadi dosen, langkah pertama mesti lulus S1 dulu dong.
Selama saya kuliah S1 di Unas, saya lalu melakukan berbagai macam cara untuk meng-upgrade kemampuan diri. Benchmarking saya adalah lulusan S1 Sastra Jepang UI. Saya melakukan riset, mereka ini punya nilai tambah apa saja. Lalu saya temukan empat hal ini: pernah studi di Jepang selama satu tahun, menang lomba pidato bahasa Jepang, ikut les bahasa Jepang di Japan Foundation, lulus ujian kemampuan bahasa Jepang minimal N2. Selama saya menempuh studi S1 di Unas, saya upayakan untuk memenuhi empat hal ini. Kan saya mau jadi dosen Sastra Jepang, kualitas dasar ini harus terpenuhi.
Selesai kuliah S1, saya lanjut kuliah S2 di Program Pascasarjana Kajian Wilayah Jepang UI dan di saat yang sama, saya mulai mengajar di jurusan Bahasa Jepang pada sebuah perguruan tinggi swasta. 2,5 tahun kemudian saya lulus, tetapi saya merasa diri ini masih kurang ilmu, kasihan mahasiswa-mahasiswa saya nanti. Dan lagi, demi nilai tambah, sepertinya jika memang memungkinkan, studi pascasarjana di Jepang memang harus dijalankan, demi peningkatan kualitas diri yang lebih baik.
Singkat cerita, semesta merestui niat saya untuk studi di Jepang, dan akhirnya dari tahun 2009-2015, terdamparlah saya di Osaka University, demi menimba ilmu pengetahuan dan ilmu kehidupan.
Saat ini, saya utamanya sedang dalam tahap embrio merintis karir dan mengajar di perguruan tinggi tempat saya ngga lulus UMPTN itu. Rekan-rekan kerja saya semuanya orang-orang yang memang pintar, bukan macam saya yang harus tambal sana sini, jungkir balik sana sini, menempuh berbagai cara (halal tapi ya!) demi meningkatkan kualitas diri. Tetapi, mau emang pintar dari lahir atau yang model saya, berusaha mengimbangi modal awal yang pas-pasan dengan bekerja keras dan berusaha maksimal, terakhir-terakhirnya orang-orang akan melihat kualitas diri kita.
Berita baiknya, kualitas diri itu bisa ditingkatkan. Asal kita mau dan benar-benar usaha. Mungkin karena cerita hidup saya yang tidak serta merta kuliah di perguruan tinggi ternama, hingga hari ini saya melihat orang lebih kepada kualitas perseorangannya, bukan pada dari mana ia lulus atau di mana ia bekerja.
Tidak semua orang dikaruniai otak cerdas dari lahir. Tidak semua orang juga "beruntung" , hanya dengan sekali mencoba, bisa sekolah di tempat yang sudah punya nama besar. Tetapi, semua orang dikaruniai otak untuk memikirkan strategi hidup dan hikmat untuk melangkah tahap demi tahap. Terus berproses meningkatkan kualitas diri adalah tanggungjawab kita terhadap hidup ini. Agar berguna kita bagi diri sendiri, agar diri memberi manfaat pada hidup orang lain.
5 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

Shift kedua


Tahun 1989, Arlie Russell Hochschild, seorang Profesor Sosiologi dari University of California Berkeley menerbitkan buku berjudul "The Second Shift". Buku ini adalah hasil riset beliau selama tahun 1970an-1980an terhadap 50 pasang suami istri yang sama-sama bekerja dan berbagi beban pekerjaan rumah tangga di Amerika Serikat. Melalui wawancara dan observasi yang intens dalam kurun waktu yang cukup lama, beliau mendapati fakta bahwa meskipun jaman telah berubah, dalam arti perempuan dapat berkarya di ranah publik, bisa punya pekerjaan di luar rumah dan karir dengan gaji yang cukup bagus, tetap saja yang mengerjakan second shift alias shift kedua (shift pertama adalah pekerjaan di kantor) lebih banyak itu adalah perempuan dibanding laki-laki. "The second shift" sendiri adalah istilah yang diciptakan oleh Prof Hochschild untuk menyebut pekerjaan profesional yang dibayar di ranah publik sebagai shift pertama dan pekerjaan rumah tangga di dalam ranah domestik sebagai shift kedua atau "the second shift".
Dalam bukunya, Prof Hochschild mengemukakan bahwa perempuan mengadaptasi perubahan dengan cepat, maju dan berkarya, hanya yang kerap kali terjadi adalah perempuannya saja yang berubah, sedang lingkungan sekitarnya tetap stagnan dan tidak ikut berubah, atau kalaupun ikut berubah, tidak serevolusioner perubahan pemikiran dan perilaku perempuan.
Saya pertama kali membaca buku "The Second Shift" di perpustakaan pusat Osaka University, Toyonaka campus. Buku ini ada di rak buku-buku gender studies, salah satu rak yang paling sering saya kunjungi selama enam tahun menggunakan perpustakaan tercinta ini. Membaca buku Prof Hochschild membuat saya berkali-kali berujar dalam hati, "ini benar banget! ini benar banget!"
Sering mendengar ungkapan-ungkapan seperti ini dari orang-orang di sekitar kita?
"Suami gue sih baik banget, waktu hari ibu, dia ijinin gue untuk me time dan dia yang ngerjain seluruh kerjaan rumah."
"Suami lu baik banget sih mau bantuin ngurus anak dan cuci piring segala."
"Suami kayak si A langka lho, karena mau siaga urus anak. Enak banget ya punya suami kayak gitu."
Tanpa mengecilkan arti suami siaga urus anak, suami ikut membantu pekerjaan rumah tangga dan tanpa mengurangi rasa hormat saya pada suami-suami ini, saya sebenarnya agak miris dengan pernyataan-pernyataan di atas. Mengapa?
Karena, bottom line-nya, di balik pernyataan-pernyataan tersebut, wacana patriarki tetap bermain dengan sangat kuat: perempuanlah pelaku utama ranah domestik, laki-laki "hanya" pemeran pembantu. Dengan kata lain, perempuan penggerak utama kegiatan harian di dalam rumah tangga: masak, beres-beres, cuci-jemur-gosok baju, sapu-pel, buang sampah, sikat kamar mandi dan toilet, you name it. Laki-laki mungkin bergerak dalam bidang memperbaiki genteng bocor atau cuci mobil atau memperbaiki saluran air, tapi kita tidak tiap hari memperbaiki genteng bocor, bukan? Sedang masak, cuci-jemur baju, sapu-pel, ini semua basisnya harian (oke di rumah saya pel lantai hanya kalau lagi mood saja, ngga jelas rentang waktunya berapa lama).
Selain itu, saya diam-diam sudah lama mengamati kecenderungan ini: seolah-olah karena perempuan "boleh" bekerja di luar rumah, maka ia harus "membayar hak istimewa" ini dengan giat mengerjakan pekerjaan rumah tangga lebih daripada laki-laki. Giat mengerjakan pekerjaan rumah tangga ini sebenarnya juga bukan karena laki-laki yang menuntut, tetapi saya perhatikan, lebih karena perempuan merasa bersalah karena ia telah menghabiskan banyak waktu di luar rumah, jadi ia "menebusnya" dengan mengerjakan mungkin dua pertiga dari pekerjaan rumah tangga atau bisa juga tindakannya ini karena ia merasa harus menunjukkan rasa syukur sudah "diijinkan" untuk beraktivitas di luar rumah, jadi ia meresponnya dengan sigap menyelesaikan urusan pekerjaan rumah tangga.
Salah satu solusi agar baik suami maupun istri sama-sama nyaman tidak dibebani house cores yang membludak adalah dengan mempekerjakan ART. Tapi tetap saja ini tidak mengubah wacana dasar pembagian tugas laki-laki di luar rumah dan perempuan di dalam rumah. Apalagi jika kita tinggal di negara maju, yang tenaga kerja sangat mahal sehingga budaya mempekerjakan ART itu tidak lazim.
Satu lagi yang juga menurut saya melelahkan adalah anggapan bahwa manager rumah tangga itu harus istri. Contoh sederhana, pertanyaan-pertanyaan seperti ini biasanya ditujukan pada ibu atau istri:
"Hari ini makan apa?"
"Kapan kita belanja?" (Bahan makanan ya, bukan baju atau sepatu!)
"Ngga ada makanan lho di rumah."
Pertanyaan balik dari saya sebenarnya juga tidak kalah sederhana: kalau ngga ada makanan, mengapa tidak langsung inisiatif buka kulkas dan masak, kalau tidak ada bahan makanan, mengapa tidak langsung gerak belanja ke pasar atau supermarket atau tukang sayur. Mengapa harus selalu menunggu inisiatif dari perempuan? Lagi-lagi ini karena di bawah sadar, kita sudah dididik dan diinternalisasikan dengan nilai-nilai pembagian tugas berdasarkan gender yang kaku: perempuan adalah ratu pekerjaan rumah tangga dan laki-laki adalah raja pekerjaan profesional.
Sampai saat tulisan ini ditulis, saya belum tahu solusinya bagaimana agar second shift ini bisa benar-benar terbagi secara adil. Memang menurut saya dalam basis yang kecil seperti misalnya keluarga inti, sudah banyak pekerjaan rumah tangga yang juga dirambah laki-laki. Sekalipun kehadiran laki-laki untuk urusan house cores pada umumnya bukan sebagai pemeran utama tapi sebagai pemeran pembantu, tetap saja eksistensi pemeran pembantu itu harus disyukuri, mengingat sampai pada generasi orang tua saya misalnya, pembagian peran suami istri dalam sebuah keluarga itu masih kaku. Tetapi dalam level makro, misalnya acara kenegaraan atau acara adat, tetap saja aneh kan jika kita melihat pemandangan laki-laki dan perempuan sama-sama sibuk di dapur dan sama-sama aktif dalam acara? Ini pertanda patriarki memang masih menjadi konstruksi dominan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Tahun 2012, buku "The Second Shift" karya Arlie Russell Hochschild dicetak ulang. Mungkin dicetak ulang karena meski terbit pertama kali pada tahun 1989, tema yang diangkat beliau tetap relevan untuk kondisi saat ini.
"Most women without children spend much more time than men on housework; with children, they devote more time to both housework and child care. Just as there is a wage gap between men and women in workplace, there is a "leisure gap" between them at home. Most women work one shift at the office or factory, and a "second shift" at home. (Arlie Russell Hochschild)
Untuk kita renungkan bersama.
1 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

Shifuku (雌伏)


Sebenarnya kegiatan #nulisrandom2017 akan selesai hari ini, tapi karena berbagai kesibukan saya pada paruh akhir Juni 2017, saya jadi tidak bisa mengambil waktu untuk menulis setiap hari secara rutin. Tetapi, pasti saya akan selesaikan komitmen menulis 30 hari ini.
Pernah merasa kehidupan kita tidak naik level, karir mandeg, hidup begitu-begitu saja? Galau melihat teman-teman lain melakukan lompatan demi lompatan dan mereka melesat naik dengan gilang gemilang sementara kita tertinggal dan tidak tahu kapan keadaan akan berubah menjadi lebih baik? Atau kita pernah berhasil dalam hidup, setelah itu kita terpuruk dan terus berada dalam kondisi tersebut dalam jangka waktu lama?
Dalam bahasa Inggris, ada satu kata yang menggambarkan masa di mana kita sulit untuk maju, karena ada berbagai kesulitan, tantangan, faktor luar yang di luar kendali kita. Kata itu adalah "setback". Menurut kamus Cambridge, setback adalah "something that happens that delays or prevents a process from developing". Apa yang menghambat proses kemajuan? Bisa macam-macam. Bisa kondisi tiba-tiba dipecat lalu sulit mendapat pekerjaan lagi. Bisa penyakit yang membutuhkan waktu lama untuk proses penyembuhan. Dan khusus untuk perempuan, jika ia punya anak usia sekolah, apalagi balita atau batita, tenaga bisa terkuras habis hari demi hari mengurus anak-anak dan rumah tangga, padahal hati ini menjerit menginginkan kehidupan lain selain anak dan suami (dan sungguh itu bukanlah dosa, itu sangat wajar).
Semua juga tahu, masa-masa setback itu ngga enak. Ngga enaknya itu karena kita sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi banyak faktor di luar kendali kita yang membuat kita tidak dapat maju. Kita seperti terus bergerak di satu tempat dan tidak dapat melakukan lompatan untuk maju ke depan, karena ada faktor-faktor luar yang mengekang gerak kita.
Ketika saya menulis disertasi saya, Prof saya memperkenalkan saya pada satu kata baru dalam bahasa Jepang yang menurut saya sangat indah dan dalam artinya, yaitu: shifuku. Kata ini bukan diajarkan secara khusus kepada saya, tetapi kata ini muncul dalam disertasi yang telah diperbaiki beliau. Dalam satu paragraf kesimpulan, saya menulis "dalam tahun-tahun yang sulit, Enchi Fumiko yang memulai karirnya sejak usia 20an, terus bersabar dan bertahan, dan akhirnya pada usia 50an, akhirnya ia berhasil menjadi pengarang yang diakui di dalam dunia kesusastraan Jepang." Kata "bersabar dan bertahan" diganti oleh Prof saya dengan kata "shifuku". Karena saya baru pertama kali mendengar kata ini, maka saya mencarinya di kamus, dan inilah artinya: terus berusaha dan mempersiapkan diri, menanti waktu dan kesempatan untuk berkarya (bukan menanti dengan diam saja tanpa melakukan apa-apa).
Lebih "gila" lagi, menurut Prof saya, kata "shifuku" itu jadi makin dalam artinya jika ditelaah dengan pendekatan gender. Shifuku terdiri dari dua karakter, yaitu 雌 yang artinya female atau perempuan atau betina dan 伏 yang artinya membungkuk, menunduk, bersembunyi. Lawan kata shifuku adalah yuuhi yang terdiri dari dua karakter, yaitu 雄 yang artinya male atau laki-laki atau jantan dan 飛 yang artinya terbang atau melompat. Yuuhi sendiri memiliki arti "berkarya dengan gemilang dan berani".
Dalam masa-masa penantian untuk bisa lebih maju dan naik level, seorang perempuan memang menghadapi banyak tantangan yang lebih berat dibanding laki-laki. Wacana di balik ini semua adalah budaya patriarki yang sudah terinternalisasi, yang menganggap perempuan itu tempatnya di rumah dan jika mau berkarya di luar ranah domestik, butuh usaha lebih, karena meski tidak selalu diucapkan secara gamblang, di bawah sadar, tetap ada pemikiran "perempuan itu kalau mau karir-kariran itu cukup pekerjaan tambahan saja, utamanya jadi istri dan ibu. Jadi sebisa mungkin tidak perlu ambisius mengejar karir."
Maka itu, mungkin itulah sebabnya, "terus berusaha dan mempersiapkan diri menanti waktu dan kesempatan yang tepat untuk berkarya" diwakilkan dengan dua karakter, yaitu "betina" dan "menunduk, bersembunyi,membungkuk", mengadaptasi pemikiran bahwa perempuan di dalam menjalani masa-masa setback, tidak tinggal diam, tapi terus berusaha, terus mempersiapkan diri, dan mengatur strategi sampai nanti tiba masanya untuk berkarya penuh. Ia bukan membungkuk tanpa arti, bukan bersembunyi dengan hanya merenungi nasib, tapi ia membungkuk, bersembunyi, menunduk sambil terus aktif mempersiapkan diri agar "layak" meraih sukses ketika saatnya tiba.
Kita tidak pernah tahu kapan kesempatan untuk berkarya maksimal itu tiba. Tetapi satu hal yang kita tahu, setback itu pasti akan ada akhirnya, sama dengan masa-masa sukses pun tidak abadi. Semua datang silih berganti dan dalam musim kehidupan apapun, tanggungjawab kita adalah terus mempersiapkan diri.
Jangan sampai ketika kesempatan tiba, kita tidak siap. Akhirnya kesempatan lewat dan kali ini kitalah yang menjadi penyebab tidak dapat keluar dari setback.
Sementara belum tiba saatnya untuk melesat terbang menggapai sukses atau yuuhi (雄飛), tetaplah melakukan shifuku (雌伏) dengan tidak terburu-buru, tetapi tidak goyah, pelan-pelan tetapi mantap.
30 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu

Late bloomer


Sudah ketinggalan berhari-hari untuk rangkaian kegiatan #nulisrandom2017 ini, yang seharusnya satu hari satu tulisan, tapi saya pasti selesaikan sampai target 30 hari meski pace-nya ngga sama dengan yang lain.
Pernah dengar istilah late bloomer? Ini istilah untuk orang yang mekar atau berhasil atau suksesnya "terlambat" dari ukuran rata-rata yang ditetapkan masyarakat.
Contohnya, Laura Ingals Wilder yang mengarang seri "Little House on the Prairie". Sampai hari ini buku-buku beliau terkenal dan dibaca, filmnya juga jadi legenda. Pasti kita ingat dong sosok keluarga Ingals yang terdiri dari Ma, Pa, Mary, Laura, Carrie. Usia berapa beliau menulis dan menerbitkan novelnya? 61 tahun!
Ada lagi contoh dua pengarang lain. Jean Rhys, pengarang "Wide Sargasso Sea". Tidak "seterkenal" Laura Ingals Wilder karena beliau pengarang dalam ranah sastra post kolonial dan sastra perempuan, tapi beliau menerbitkan buku pertamanya pada usia 76 tahun. Enchi Fumiko, pengarang yang saya teliti, sudah mengarang sejak usia 21 tahun, tapi baru sukses sebagai pengarang pada usia 49 tahun.
Para pengarang di atas berusia nyaris 50an, 60an, 70an ketika mereka pertama kali sukses di dunia sastra. Usia yang sudah dianggap tidak produktif lagi. Usia di mana apa yang dianggap wajar adalah diam duduk-duduk manis di rumah dan bukannya berkarya. Tapi faktanya bagaimana? Mereka bukan duduk-duduk manis, tapi malah semakin aktif berkarya menghasilkan buah. Mereka yang dianggap sudah terlambat untuk mekar, malah mengalami mekar sempurna di usia tuanya.
Betapa kita terbiasa mengkotak-kotakkan sukses tidaknya hidup seseorang dari apakah ia berhasil mencapai kesuksesan itu di usia "produktif". Betapa kita sering membatasi jalan hidup orang hanya karena hidupnya belum stabil pada usia tertentu.
Saya mengakui, saya termasuk orang yang "dianugerahi" hak istimewa untuk menjadi late bloomer. Saya kuliah S1 tidak dalam waktu 4 tahun, tapi sudah kayak anak kedokteran aja, saya selesai kuliah S1 dalam waktu 7 tahun. 3 tahun pertama saya kuliah di program diploma, lalu lanjut ke program S1, transfer kredit, dan harus tambah 2,5 tahun lagi. Ketika saya sudah siap sidang skripsi, saya mendapatkan kesempatan untuk studi di Jepang selama satu tahun. Karena persyaratannya adalah masih harus terdaftar sebagai mahasiswa di perguruan tinggi asal, maka saya menunda kelulusan saya, dan akhirnya saya menjalani sidang skripsi setelah saya kembali dari Jepang. Saya lulus kuliah S1 di usia 25 tahun.
Sementara orang lain pada umumnya sudah mulai stabil karirnya, saya tidak demikian. Saya lalu kuliah S2 di usia 26 tahun, sambil saya bekerja sebagai pengajar tidak tetap di sebuah perguruan tinggi swasta. Karir saya di bidang akademik dimulai di usia 26 tahun. Lalu saya menikah di usia 27 tahun, hamil dan lulus S2 di usia 28 tahun, dan melahirkan J di usia 29 tahun. Karir saya masih sebagai pengajar tidak tetap. Lalu di usia 30 tahun, saat anak saya masih berusia 1 tahun, saya mencoba mengikuti ujian beasiswa mombusho untuk studi di Jepang. Lulus. Lalu saya berangkat ke Jepang pada usia 31 tahun.
Batas pelamar beasiswa mombusho adalah 35 tahun pada saat keberangkatan. Saya yang saat berangkat berusia 31 tahun, termasuk yang tua. Ada yang usianya 30an tahun juga, tapi mereka kebanyakan sudah punya posisi yang stabil di tempat kerja. Mau tahu status saya saat berangkat ke Jepang? Pengangguran!
Lalu saya menghabiskan 6 tahun di Jepang untuk studi. Dalam tahun-tahun itu, tidak jarang saya mendapatkan komentar dari orang-orang terdekat, sehubungan dengan status pengangguran saya.
"Nanti gimana, udah lulus S3 tapi ngga punya kerja?"
"Orang kan biasanya sudah punya posisi jadi dosen tetap dulu, ngga kayak kamu yang sekolah dulu padahal belum punya posisi. Gimana tuh ntar?"
Saya sendiri juga tidak tahu akan bagaimana nanti. Tapi daripada ketakutan saat itu dan langsung pulang untuk cari posisi, lebih baik saya selesaikan studi saya dulu, dan akhirnya setelah 6 tahun, di usia 37 tahun, saya menyelesaikan studi saya.
Bayangkan, usia 37 tahun dan tidak punya pekerjaan. Gimana galaunya itu...tapi the show must go on. Memang saya yang memilih jadi akademisi, jadi kuliah sampai S3 adalah mutlak. Setelah saya pulang, karena tidak punya posisi, saya bukannya langsung berkarya tapi malah kerja di sekolah anak saya yang tidak ada hubungannya dengan studi Jepang. Dalam tahun itu, Prof selalu menyemangati saya untuk tidak menyerah dan terus melakukan shifuku.
Apa itu shifuku? Ini salah satu kosa kata dalam bahasa Jepang yang sangat indah menurut saya. Shifuku artinya terus berusaha dan mempersiapkan diri sambil menanti waktu untuk mekar sempurna tiba.
Lalu setelah saya bekerja satu tahun di sekolah anak saya, saya mulai merintis karir sebagai akademisi. Saat ini usia saya 39 tahun, seharusnya dalam "ukuran normal", saya ini sudah masuk ke level mid career, tapi hingga hari ini saya masih embrio. Tapi sekalipun posisi saya adalah embrio, saya punya prinsip: kualitas kerja tidak boleh menurun sekalipun karir masih belum stabil. Dan saya meyakini, setiap orang memang ada waktunya masing-masing untuk mekar sempurna.
Bayangkan jika Laura Ingals Wilder, Jean Rhys, Enchi Fumiko menyerah menjadi pengarang "hanya karena" usianya sudah lewat 40 tahun dan mereka belum berhasil. Selamanya mereka akan menjadi orang-orang biasa yang tenggelam dalam arus jaman. Kita tidak akan pernah membaca karya-karyanya yang sangat menginspirasi.
Karena setiap orang sudah punya waktunya masing-masing. Tinggal kita mau atau tidak mengikuti jalan hidup ini, atau menyerah karena merasa terlalu berat? Jika saya diberi hak istimewa sebagai late bloomer, maka jadilah! Jangan melawan garis hidup dan jangan melawan kata hati.
26 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu