Saturday, August 12, 2017

Progresif di kampung

"Maklum aja, dia orang kampung sih..."
"Kampung banget sih lu..."
"Belum masuk ya di tempat lu? Tempat lu kampung sih...."
Sering mendengar ungkapan seperti ini? Kalau kita mendengar kata "kampung", image rasanya lebih banyak yang negatif daripada positif. Terbelakang, ketinggalan jaman, tidak mengerti teknologi mutakhir, membosankan, sunyi, sepi, tidak ada listrik, apa-apa susah. Pendidikan rendah, bodoh, tidak mengerti apa-apa. Benar begitu?
Ijinkan saya menceritakan kisah yang mungkin dapat membuat kita tidak memarjinalkan kampung dan tidak menjadikan kota sebagai pusat.
Jadi, kakek saya dari Papa, namanya P.A. Pasaribu adalah "orang kampung" sejati. Beliau tinggal di Tarutung, Sumatera Utara bersama keluarganya. Pekerjaannya guru SMP, lalu jadi guru SMA dan akhirnya jadi kepala sekolah. Ngga pernah sekolah keluar negeri, ngga pernah tinggal di kota besar, kecuali setelah pensiun beliau pindah ke Medan. Tapi sebagian besar hidupnya dihabiskan di Tarutung.
Tapi kemudian, apakah beliau tidak maju atau tidak memajukan hidupnya? Kalau dari cerita-cerita yang saya dengar, beliau pemikirannya sangat progresif. Beliau ini selain bisa berbahasa Indonesia dan Batak, juga bisa bahasa Inggris dan Jerman. Orang kampung lho ini, orang kampung. Les di mana beliau? Ngga les. Ga ada tuh dulu yang namanya EF, ILP, LIA. Beliau belajar sendiri. Bahasa Jerman juga sama. Belajar sendiri. Memang beliau guru bahasa Inggris dan Jerman.
Papa saya bilang, kalau kakek saya itu bacaannya karya sastra karya Charles Dickens, sastrawan Inggris yang terkenal itu. Orang kampung lho ini, orang kampung. Orang kampung baca Charles Dickens di Tarutung. London dan Tarutung terpisah benua, jarak dan waktu. Tapi konon di daerah kecil di Tarutung sana, ada seorang laki-laki Batak yang menyelami pemikiran-pemikiran Charles Dickens.
Tahun 1970an, Papa saya studi di Jepang. Lalu satu waktu, beliau pulang kampung. Di bandara beliau dijemput bapaknya. Se panjang perjalanan dari bandara menuju rumah, apa yang dilakukan kakek saya? Beliau mengajak Papa saya berbicara dalam bahasa Inggris. Ini bukan sok-sok'an. Ini untuk mengetes Papa saya sudah layak jadi masyarakat internasional atau belum. Di penghujung percakapan, kakek saya bilang,
"Sekarang saya tenang. Kamu akan sukses, kamu sudah bisa jadi masyarakat internasional."
Ini orang kampung yang ngomong. Ngomong soal masyarakat internasional. Sekarang kita ribut-ribut soal globalisasi, soal go international dan sebagainya. Kakek saya yang dari Tarutung dan sekalipun tidak pernah ke luar negeri, sudah menyadari pentingnya menjadi bagian dari masyarakat internasional sejak tahun 1970an!
Pernah menyaksikan di jalan, ada mobil bagus banget, mahal pasti, tapi dia main salip dan serobot saja?
Pernah lihat orang yang gayanya sejuta, barangnya bermerek semua, tapi gampang aja buang sampah sembarangan?
Yang macam begini, mohon maaf, cuma tinggalnya aja di kota yang konon katanya simbol kemajuan, tapi kelakuannya sungguh terbelakang. Atribut mewah yang menempel sungguh bukan barometer kemajuan berpikir seseorang.
Lagipula, wacana kampung dan kota sebagai dua hal yang sepertinya bertolak belakang itu kan sebenarnya konstruksi budaya. Kota butuh "mengampungkan" kampung, agar ia dapat menonjol sebagai pihak yang unggul, yang dominan, yang "membimbing" kampung. Sementara sebenarnya, kemajuan itu bukan ditentukan dari di mana kita tinggal, tetapi lebih kepada didikan yang kita terima, lingkungan kita, apa yang kita baca, dengan siapa kita berdialog, dan pilihan kita untuk terpapar pada apa atau siapa.
Itu sebabnya, di sebuah desa di Tarutung sana, hadir kakek saya dengan pemikiran-pemikirannya yang progresif. Hidupnya diabdikan demi memajukan diri dan memajukan orang lain. Beliau banyak menerima kerabat untuk tinggal di rumahnya, biar bisa sekolah. Ini tinggal di kampung lho, tapi sadar pendidikan banget. Papa saya bilang, kalau bapaknya alias kakek saya, adalah sumber inspirasinya. Kakek saya tutup usia ketika saya masih kelas 5 SD dan saya tidak begitu mengenalnya secara pribadi, tetapi saya yakin, beliau orang hebat. Bukan karena harta yang dimilikinya (guru, di Tarutung pula, mau punya harta segimana sih?), tetapi karena pemikiran majunya yang melintasi jaman.
Mungkin di malam-malam sunyi di Tarutung, kakek saya tenggelam membaca novel Charles Dickens. Mungkin beliau mencatat kata-kata bahasa Inggris yang tidak beliau mengerti di novel itu dan mencari artinya di kamus. Mungkin beliau mengulang kosa kata bahasa Jerman yang sudah diketahuinya. Dan beliau disadarkan bahwa dunia sungguh luas, bukan hanya Batak, bukan hanya Tarutung.
Progresif itu milik semua orang. Yang mau memajukan dirinya sendiri dan memajukan orang lain. Ia cair, bisa digenggam oleh siapa saja yang mau berusaha menggenggamnya. Di mana pun kita berada, berapa pun usia kita, apapun status kita, progresif dapat menjadi milik. Jika kita mau meraihnya dan mengabadikannya dalam pikiran dan hati.
27 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

Minimalis yang tidak minimal

Sebelum membaca tulisan ini, mohon jangan disalahpahami, saya tidak bermaksud merendahkan Indonesia, sama sekali tidak. Lagipula jika saya merendahkan Indonesia, itu sama saja saya merendahkan diri saya sendiri sebagai bagian dari Indonesia. Tulisan ini lebih kepada mengajak kita semua untuk merenung dan memperbaiki diri.
Satu waktu, saya pernah menjadi ketua panitia sebuah acara. Karena biaya yang dibutuhkan cukup banyak, saya mencoba memangkas anggaran. Salah satu anggaran yang saya pangkas adalah kaos panitia acara. Ternyata pemangkasan ini mengundang riuh yang lumayan juga. Argumen keriuhan ini antara lain:
"Yaaaa, masa kaos aja ngga ada? Kita jadi ga semangat kerja."
"Kaos doang...kok gitu amat sih ngga ada kaos?"
Semua yang mengenal saya tentu tahu kalau saya bukan orang yang punya banyak baju. Koleksi saya terbatas, itu lagi itu lagi. Hanya, menurut saya, antara semangat kerja dan kaos baru, kurang jelas korelasinya. Seseorang bersemangat kerja karena memang dari hatinya punya etos kerja, bukan masalah ia mengenakan baju baru atau tidak.
Demikian juga misalnya saat Natal dan Lebaran. Saya sering menyaksikan betapa pertokoan mendadak menjadi berkali-kali lipat pengunjungnya karena semuanya sibuk beli baju baru untuk natal atau lebaran. Di beberapa tempat, ada yang tiap kali ibadah natal, booking salon dulu dan dandan lengkap. Baju yang dikenakan pun sudah semacam baju pesta. Iya tahu sihhh, natal adalah ulang tahun Yesus Kristus, tapi bukankah Yesus lahir dalam kesederhanaan? Sepertinya di kandang domba tempat Yesus lahir, tidak ada yang rambutnya bersasak tinggi dan berbusana pesta dengan selendang warna warni. Dengan busana wah macam ini, esensi kesederhanaan peristiwa natal menjadi agak kabur.
Saya juga beberapa kali menghadiri sidang promosi S3 di Indonesia. Karena sebelumnya belum pernah menghadiri, saya agak bingung ketika begitu mau masuk ruangan, kita harus isi buku tamu dulu. Selanjutnya kita diberi souvenir. Selesai acara, biasanya ada acara makan-makan bersama. Seperti datang ke pesta. Ada juga beberapa karangan bunga ucapan selamat.
Sekali lagi, saya bukan mengkritik atau merendahkan sidang S3 di Indonesia. Kalau memang mampu membuat acara meriah, silakan saja. Hanya saya terpikir, bagaimana dengan orang-orang yang uangnya tidak begitu banyak? Acara begini kan lumayan juga biayanya. Teman saya pernah bilang nilai nominalnya dan menurut saya lumayan juga. Nah kalau yang bersangkutan malah disibukkan juga dengan urusan pesan souvenir dan katering, sementara ia harus mempersiapkan diri juga untuk sidang, cukup melelahkan ngga sih? Lelah batin dan fisik dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Saya teringat ketika saya sidang S3 sekitar 2,5 tahun yang lalu. Rasanya tidak ada satu orang pun yang tahu saya sidang hari itu. Kecuali keluarga saya. Iya sih dibuatnya sidang terbuka dan diumumkan di papan pengumuman. Tapi tidak ada yang menghadiri selain saya dan para penguji. Keluarga saya pun tidak ada yang mengantar. Anak saya ke sekolah dan suami saya pergi kerja sambilan. Saya datang ke kampus dengan penampilan biasa saja. Celana panjang hitam dan kemeja biru tua, dan saya pakai blazer hitam. Yang paling juara adalah para penguji. Saat saya sidang, itu musim dingin. Para penguji mengenakan sweather, celana jeans, sepatu kets. Tidak ada penganan, air mineral pun tidak ada.
Sidang S3 saya berlangsung dalam suasana santai. Masing-masing penguji membawa disertasi saya yang sudah penuh dengan post it sana sini. Mereka bertanya secara detil dan memberi banyak masukan berharga. Sekitar 2 jam sidang berlangsung, setelah itu selesai. Semua cari makan sendiri-sendiri. Kalau tidak salah, sidang saya selesai tepat jam satu siang. Mulainya sekitar 10.30.
Di kampus saya dulu, disertasi penampakannya benar-benar sederhana, seperti pada foto di bawah ini. Saya ngga punya hard copy disertasi dalam bentuk hard cover. Belakangan, karena perlu menyertakan disertasi untuk penyetaraan ijazah, saya jilid sendiri, dalam bentuk soft cover. Lumayan juga ya, berasa beneran punya disertasi.
Sekalipun sidang saya "sangat sederhana", selama 6 tahun saya belajar, saya merasakan sendiri bimbingan akademik yang "tidak sederhana". Konten penelitian saya dikuliti habis-habisan, tidak jarang saya frustrasi karena kewalahan memperbaikinya. Mulai dari disertasi ini berpangkal dari sebuah embrio tema yang absurd sampai akhirnya menjadi satu bentuk utuh, perjalanannya benar-benar berliku, dalam, dan penuh tempaan.
Minimalis bukan berarti minimal. Tidak ada kaos baru, tidak ada baju baru saat natal atau lebaran, tidak ada sidang yang meriah, bukan berarti kita minimal dalam hal isi. Minimalis iya, tapi minimal tidak. Pada akhirnya, kualitas dinilai dari isinya, bukan dari tampilan luarnya.
Minimalis yang maksimal, bahkan mumpuni. Semoga kita dapat menjadi bagian dari budaya ini. Untuk kita renungkan bersama.
26 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu