tag:blogger.com,1999:blog-71209590100473945352024-02-20T09:13:09.900-08:00What makes us a human?What makes us a human? A story that we tell. Berbahagialah kita yang memiliki cerita untuk dibagikan.Sekonyol apapun itu.rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.comBlogger184125tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-6048398555642265032017-08-12T03:42:00.002-07:002017-08-12T03:42:20.534-07:00Progresif di kampung<div class="_1dwg _1w_m" style="font-family: inherit; padding: 12px 12px 0px;">
<div style="font-family: inherit;">
<div class="_5pbx userContent" data-ft="{"tn":"K"}" id="js_q" style="font-family: inherit; font-size: 14px; line-height: 1.38;">
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Maklum aja, dia orang kampung sih..."<br />"Kampung banget sih lu..."<br />"Belum masuk ya di tempat lu? Tempat lu kampung sih...."</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sering mendengar ungkapan seperti ini? Kalau kita mendengar kata "kampung", image rasanya lebih banyak yang negatif daripada positif. Terbelakang, ketinggalan jaman, tidak mengerti teknologi mutakhir, membosankan, sunyi, sepi, tidak ada listrik, apa-apa susah. Pendidikan rendah, bodoh, tidak mengerti apa-apa. Benar begitu?</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Ijinkan saya menceritakan kisah yang mungkin dapat membuat kita tidak memarjinalkan kampung dan tidak menjadikan kota sebagai pusat.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jadi, kakek saya dari Papa, namanya P.A. Pasaribu adalah "orang kampung" sejati. Beliau tinggal di Tarutung, Sumatera Utara bersama keluarganya. Pekerjaannya guru SMP, lalu jadi guru SMA dan akhirnya jadi kepala sekolah. Ngga pernah sekolah keluar negeri, ngga pernah tinggal di kota besar, kecuali setelah pensiun beliau pindah ke Medan. Tapi sebagian besar hidupnya dihabiskan di Tarutung.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tapi kemudian, apakah beliau tidak maju atau tidak memajukan hidupnya? Kalau dari cerita-cerita yang saya dengar, beliau pemikirannya sangat progresif. Beliau ini selain bisa berbahasa Indonesia dan Batak, juga bisa bahasa Inggris dan Jerman. Orang kampung lho ini, orang kampung. Les di mana beliau? Ngga les. Ga ada tuh dulu yang namanya EF, ILP, LIA. Beliau belajar sendiri. Bahasa Jerman juga sama. Belajar sendiri. Memang beliau guru bahasa Inggris dan Jerman.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Papa saya bilang, kalau kakek saya itu bacaannya karya sastra karya Charles Dickens, sastrawan Inggris yang terkenal itu. Orang kampung lho ini, orang kampung. Orang kampung baca Charles Dickens di Tarutung. London dan Tarutung terpisah benua, jarak dan waktu. Tapi konon di daerah kecil di Tarutung sana, ada seorang laki-laki Batak yang menyelami pemikiran-pemikiran Charles Dickens.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tahun 1970an, Papa saya studi di Jepang. Lalu satu waktu, beliau pulang kampung. Di bandara beliau dijemput bapaknya. Se panjang perjalanan dari bandara menuju rumah, apa yang dilakukan kakek saya? Beliau mengajak Papa saya berbicara dalam bahasa Inggris. Ini bukan sok-sok'an. Ini untuk mengetes Papa saya sudah layak jadi masyarakat internasional atau belum. Di penghujung percakapan, kakek saya bilang,<br />"Sekarang saya tenang. Kamu akan sukses, kamu sudah bisa jadi masyarakat internasional."</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Ini orang kampung yang ngomong. Ngomong soal masyarakat internasional. Sekarang kita ribut-ribut soal globalisasi, soal go international dan sebagainya. Kakek saya yang dari Tarutung dan sekalipun tidak pernah ke luar negeri, sudah menyadari pentingnya menjadi bagian dari masyarakat internasional sejak tahun 1970an!</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Pernah menyaksikan di jalan, ada mobil bagus banget, mahal pasti, tapi dia main salip dan serobot saja?</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Pernah lihat orang yang gayanya sejuta, barangnya bermerek semua, tapi gampang aja buang sampah sembarangan?</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Yang macam begini, mohon maaf, cuma tinggalnya aja di kota yang konon katanya simbol kemajuan, tapi kelakuannya sungguh terbelakang. Atribut mewah yang menempel sungguh bukan barometer kemajuan berpikir seseorang.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Lagipula, wacana kampung dan kota sebagai dua hal yang sepertinya bertolak belakang itu kan sebenarnya konstruksi budaya. Kota butuh "mengampungkan" kampung, agar ia dapat menonjol sebagai pihak yang unggul, yang dominan, yang "membimbing" kampung. Sementara sebenarnya, kemajuan itu bukan ditentukan dari di mana kita tinggal, tetapi lebih kepada didikan yang kita terima, lingkungan kita, apa yang kita baca, dengan siapa kita berdialog, dan pilihan kita untuk terpapar pada apa atau siapa.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Itu sebabnya, di sebuah desa di Tarutung sana, hadir kakek saya dengan pemikiran-pemikirannya yang progresif. Hidupnya diabdikan demi memajukan diri dan memajukan orang lain. Beliau banyak menerima kerabat untuk tinggal di rumahnya, biar bisa sekolah. Ini tinggal di kampung lho, tapi sadar pendidikan banget. Papa saya bilang, kalau bapaknya alias kakek saya, adalah sumber inspirasinya. Kakek saya tutup usia ketika saya masih kelas 5 SD dan saya tidak begitu mengenalnya secara pribadi, tetapi saya yakin, beliau orang hebat. Bukan karena harta yang dimilikinya (guru, di Tarutung pula, mau punya harta segimana sih?), tetapi karena pemikiran majunya yang melintasi jaman.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Mungkin di malam-malam sunyi di Tarutung, kakek saya tenggelam membaca novel Charles Dickens. Mungkin beliau mencatat kata-kata bahasa Inggris yang tidak beliau mengerti di novel itu dan mencari artinya di kamus. Mungkin beliau mengulang kosa kata bahasa Jerman yang sudah diketahuinya. Dan beliau disadarkan bahwa dunia sungguh luas, bukan hanya Batak, bukan hanya Tarutung.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Progresif itu milik semua orang. Yang mau memajukan dirinya sendiri dan memajukan orang lain. Ia cair, bisa digenggam oleh siapa saja yang mau berusaha menggenggamnya. Di mana pun kita berada, berapa pun usia kita, apapun status kita, progresif dapat menjadi milik. Jika kita mau meraihnya dan mengabadikannya dalam pikiran dan hati.</div>
<div style="display: inline; font-family: inherit; margin-top: 6px;">
27 Juli 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
</div>
<div class="_3x-2" style="font-family: inherit;">
<div data-ft="{"tn":"H"}" style="font-family: inherit;">
</div>
</div>
<div style="font-family: inherit;">
</div>
</div>
</div>
<div style="font-family: inherit;">
<form action="https://www.facebook.com/ajax/ufi/modify.php" class="commentable_item" data-ft="{"tn":"]"}" id="u_0_10" method="post" rel="async" style="margin: 0px; padding: 0px;">
<div class="_sa_ _gsd _5vsi _192z" style="color: #90949c; font-family: inherit; margin-top: 12px; padding-bottom: 4px; position: relative;">
<div style="background-color: white; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px;">
</div>
<div class="_37uu" style="background-color: white; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px;">
<div style="font-family: inherit;">
<div style="font-family: inherit;">
<div class="_3399 _a7s _610i _610j _125r clearfix _zw3" style="border-top: 1px solid rgb(229, 229, 229); clear: both; display: flex; font-family: inherit; margin: 0px 12px -4px; padding-bottom: 2px; padding-top: 2px; zoom: 1;">
<div class="_524d" style="flex-grow: 1; font-family: inherit; order: 1;">
<div class="_42nr _1mtp" style="display: flex; flex-direction: row; font-family: inherit;">
<span class="_1mto" style="display: flex; flex: 1 1 100%; font-family: inherit; height: 32px;"><div class="_khz _4sz1 _4rw5 _3wv2" style="display: flex; font-family: inherit; height: 32px; justify-content: center; margin: 0px; padding: 0px; position: relative; white-space: nowrap; width: 158.672px;">
</div>
</span></div>
</div>
</div>
</div>
</div>
</div>
</div>
</form>
</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-91345975088837609672017-08-12T03:37:00.001-07:002017-08-12T03:37:23.269-07:00Minimalis yang tidak minimal<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sebelum membaca tulisan ini, mohon jangan disalahpahami, saya tidak bermaksud merendahkan Indonesia, sama sekali tidak. Lagipula jika saya merendahkan Indonesia, itu sama saja saya merendahkan diri saya sendiri sebagai bagian dari Indonesia. Tulisan ini lebih kepada mengajak kita semua untuk merenung dan memperbaiki diri.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Satu waktu, saya pernah menjadi ketua panitia sebuah acara. Karena biaya yang dibutuhkan cukup banyak, saya mencoba memangkas anggaran. Salah satu anggaran yang saya pangkas adalah kaos panitia acara. Ternyata pemangkasan ini mengundang riuh yang lumayan juga. Argumen keriuhan ini antara lain:</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Yaaaa, masa kaos aja ngga ada? Kita jadi ga semangat kerja."<br />"Kaos doang...kok gitu amat sih ngga ada kaos?"</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Semua yang mengenal saya tentu tahu kalau saya bukan orang yang punya banyak baju. Koleksi saya terbatas, itu lagi itu lagi. Hanya, menurut saya, antara semangat kerja dan kaos baru, kurang jelas korelasinya. Seseorang bersemangat kerja karena memang dari hatinya punya etos kerja, bukan masalah ia mengenakan baju baru atau tidak.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Demikian juga misalnya saat Natal dan Lebaran. Saya sering menyaksikan betapa pertokoan mendadak menjadi berkali-kali lipat pengunjungnya karena semuanya sibuk beli baju baru untuk natal atau lebaran. Di beberapa tempat, ada yang tiap kali ibadah natal, booking salon dulu dan dandan lengkap. Baju yang dikenakan pun sudah semacam baju pesta. Iya tahu sihhh, natal adalah ulang tahun Yesus Kristus, tapi bukankah Yesus lahir dalam kesederhanaan? Sepertinya di kandang domba tempat Yesus lahir, tidak ada yang rambutnya bersasak tinggi dan berbusana pesta dengan selendang warna warni. Dengan busana wah macam ini, esensi kesederhanaan peristiwa natal menjadi agak kabur.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya juga beberapa kali menghadiri sidang promosi S3 di Indonesia. Karena sebelumnya belum pernah menghadiri, saya agak bingung ketika begitu mau masuk ruangan, kita harus isi buku tamu dulu. Selanjutnya kita diberi souvenir. Selesai acara, biasanya ada acara makan-makan bersama. Seperti datang ke pesta. Ada juga beberapa karangan bunga ucapan selamat.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sekali lagi, saya bukan mengkritik atau merendahkan sidang S3 di Indonesia. Kalau memang mampu membuat acara meriah, silakan saja. Hanya saya terpikir, bagaimana dengan orang-orang yang uangnya tidak begitu banyak? Acara begini kan lumayan juga biayanya. Teman saya pernah bilang nilai nominalnya dan menurut saya lumayan juga. Nah kalau yang bersangkutan malah disibukkan juga dengan urusan pesan souvenir dan katering, sementara ia harus mempersiapkan diri juga untuk sidang, cukup melelahkan ngga sih? Lelah batin dan fisik dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya teringat ketika saya sidang S3 sekitar 2,5 tahun yang lalu. Rasanya tidak ada satu orang pun yang tahu saya sidang hari itu. Kecuali keluarga saya. Iya sih dibuatnya sidang terbuka dan diumumkan di papan pengumuman. Tapi tidak ada yang menghadiri selain saya dan para penguji. Keluarga saya pun tidak ada yang mengantar. Anak saya ke sekolah dan suami saya pergi kerja sambilan. Saya datang ke kampus dengan penampilan biasa saja. Celana panjang hitam dan kemeja biru tua, dan saya pakai blazer hitam. Yang paling juara adalah para penguji. Saat saya sidang, itu musim dingin. Para penguji mengenakan sweather, celana jeans, sepatu kets. Tidak ada penganan, air mineral pun tidak ada.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sidang S3 saya berlangsung dalam suasana santai. Masing-masing penguji membawa disertasi saya yang sudah penuh dengan post it sana sini. Mereka bertanya secara detil dan memberi banyak masukan berharga. Sekitar 2 jam sidang berlangsung, setelah itu selesai. Semua cari makan sendiri-sendiri. Kalau tidak salah, sidang saya selesai tepat jam satu siang. Mulainya sekitar 10.30.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Di kampus saya dulu, disertasi penampakannya benar-benar sederhana, seperti pada foto di bawah ini. Saya ngga punya hard copy disertasi dalam bentuk hard cover. Belakangan, karena perlu menyertakan disertasi untuk penyetaraan ijazah, saya jilid sendiri, dalam bentuk soft cover. Lumayan juga ya, berasa beneran punya disertasi.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sekalipun sidang saya "sangat sederhana", selama 6 tahun saya belajar, saya merasakan sendiri bimbingan akademik yang "tidak sederhana". Konten penelitian saya dikuliti habis-habisan, tidak jarang saya frustrasi karena kewalahan memperbaikinya. Mulai dari disertasi ini berpangkal dari sebuah embrio tema yang absurd sampai akhirnya menjadi satu bentuk utuh, perjalanannya benar-benar berliku, dalam, dan penuh tempaan.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Minimalis bukan berarti minimal. Tidak ada kaos baru, tidak ada baju baru saat natal atau lebaran, tidak ada sidang yang meriah, bukan berarti kita minimal dalam hal isi. Minimalis iya, tapi minimal tidak. Pada akhirnya, kualitas dinilai dari isinya, bukan dari tampilan luarnya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Minimalis yang maksimal, bahkan mumpuni. Semoga kita dapat menjadi bagian dari budaya ini. Untuk kita renungkan bersama.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
26 Juli 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-76007300170489244672017-07-22T03:31:00.002-07:002017-07-22T03:31:25.394-07:00The battle is with yourself, not with others<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tiba juga saya di penghujung akhir #nulisrandom2017. Untuk yang belum tahu, mulai 1 Juni 2017, saya mengikuti tantangan menulis 30 hari yang diadakan oleh komunitas nulisbuku. Syaratnya, kita harus menulis selama 30 hari, secara berkelanjutan. Topik tulisan bebas, yang penting menulis.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya menulis apa saja yang saya pikirkan, yang menggelitik nurani saya. Biasanya saya menulis di kereta, dalam perjalanan pulang atau pergi Bogor-Depok. Dalam prakteknya, saya tidak dapat menulis setiap hari, karena pada bulan Juni, saya harus mengerjakan beberapa hal yang cukup menyita waktu, seperti deadline dua makalah dan menghadiri konferensi hampir selama satu minggu. Belum lagi setelah pulang dari konferensi, badan ngga fit sampai satu mingguan, kepala pusing dan badan lemas, mungkin saking padatnya acara selama satu mingguan itu.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Program #nulisrandom2017 mengharuskan kita untuk menulis rutin setiap hari, jadi seharusnya kalau kita taat aturan, kita akan menyelesaikan program ini tanggal 30 Juni 2017. Tetapi, untuk saya, tanggal 30 Juni 2017 saya belum menyelesaikan rangkaian 30 hari menulis saya. Lalu saya ngapain? Udahan? Berkecil hati?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Ngga, dong. Saya tetap komit menulis. Sudah menetapkan 30 hari menulis ya harus diselesaikan. Saya menikmati prosesnya. Saya senang proses menulis dan menuangkan pikiran yang saya lakukan. Saya senang tulisan saya dibaca teman-teman di FB dan bahkan ada beberapa yang baru saya kenal berkat mereka membaca postingan tulisan-tulisan saya. Saya paling senang jika apa yang saya tulis ternyata dirasakan juga oleh teman-teman yang membaca dan akhirnya terjalin dialog di kolom comments. Jadi semacam menciptakan ruang untuk berbagi.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kebanyakan tulisan saya memang tentang perempuan dan masalah-masalah yang dianggap "bukan masalah". Betty Friedan menyebutnya "a problem that has no name". Ini mengacu kepada masalah-masalah perempuan dalam norma patriarki yang dianggap remeh dan ngga penting, yang saking dianggap bukan masalah, jadi "tidak layak" untuk disuarakan dan membuat yang bersangkutan malah merasa bersalah jika ia menyuarakan masalahnya itu. Misalnya saja, masalah capek urus anak, jengah ditanya soal pernikahan atau kapan hamil, dilema antara mengejar impian dan "kewajiban" mengurus rumah tangga. Saya sebenarnya tidak meniatkan tulisan saya akan banyak bertema tentang perempuan. Tapi karena hal-hal tersebut yang menggelitik hati saya, jadi hal-hal itu yang saya tulis.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sebenarnya, saat sudah menginjak 30 Juni, saya bisa saja memutuskan untuk udahan. Tapi saya tidak mau. Saya kan sudah komit pada diri sendiri untuk merampungkan 30 tulisan. Waktu jangan menjadi penghalang. Jika tidak bisa sama ritmenya dengan yang lain, jangan patah arang, jangan merasa ketinggalan, selesaikan pelan-pelan sampai selesai.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Seperti itulah hidup. Peperangan utama kita adalah melawan diri sendiri, bukan melawan orang lain. Papa saya bilang bahwa orang yang berhasil dalam hidupnya adalah orang yang berani melawan dirinya sendiri. Melawan kemalasan, keputusasaan, ketakutan untuk gagal. Melawan ketidakberdayaan dan keengganan. Melawan keterburu-buruan dan keinginan untuk memaksakan segala sesuatu.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Hidup itu tidak selalu berjalan sesuai kemauan kita. Ada kalanya kita harus sabar menunggu. Ada kalanya kita harus tancap gas. Ada kalanya kita harus berjalan perlahan-lahan. Ada kalanya kita harus merangkak atau melangkah hanya dengan satu kaki. Apapun itu, jangan dilawan. Tetap ikuti dan jangan memaksakan diri. Tapi di saat bersamaan, tetap teguh hati memegang harapan dan impian. Pada akhirnya kita akan mencapai tujuan. Pasti.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Pada akhirnya, 30 tulisan saya ini rampung juga. Tidak secepat ritme "normal" memang. Tertinggal 22 hari. Nyaris dua kali lipat dari waktu yang seharusnya. Tapi yang penting selesai, bukan?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Demikian juga halnya dengan aspek kehidupan kita yang lain. Keluarga, karir, spiritualitas, menurunkan berat badan, studi, mengurus anak. Apapun itu. Setiap orang punya waktunya masing-masing.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kecenderungan masyarakat kita adalah, apa-apa dinilai dengan mitos waktu. Kalau umur segini belum punya rumah, ada yang tidak beres. Kalau baru umur segini mulai kuliah, dibilangnya aneh. Kalau umur segini belum dapat kerja, dianggap pecundang. Kalau umur segini belum menikah, berarti dia dimarjinalkan. Dan sebagainya. Dan sebagainya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kita sendiri, pelaku kehidupan, yang harus mematahkan mitos itu. Bahwa waktu bukan batas. Umur bukan batas.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Membandingkan diri dengan orang lain hanya akan membawa kesia-siaan. Sebaliknya, membandingkan diri kita dengan diri sendiri di masa lalu dan punya visi mau jadi apakah kita di masa depan, akan menjadi penyemangat untuk kita hidup lebih baik dari hari ke hari. Bersainglah dengan diri sendiri, bukan dengan orang lain. Karena masing-masing orang punya perjuangannya sendiri-sendiri. Sirik-sirik lihat orang lain sukses itu biasa. Wajar. Tapi jangan akhirnya kesirikan itu membuat kita jadi bermuram durja merutuki hidup.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Aserazu, tayumazu, yukkuri shikkari gambattekudasai." (Jangan terburu-buru, jangan terpelecok, tenang dan teguh, berjuanglah sepenuh hati).</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
The battle is yours, with yourself! Enjoy the process! And, let us live. Breath. Relax. And be joyful!</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Bogor, 22 Juli 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
PS: Terima kasih untuk semua yang sudah baca tulisan saya. #nulisrandom2017 sudah saya rampungkan. But, I won't stop writing. Never. Meminjam perkataan Rene Descartes, "cogito ergo sum" (saya berpikir, maka saya ada). Untuk saya, "saya menulis, maka saya ada." So, see you again, guys! Dalam tulisan berikutnya dan berikutnya dan berikutnya, selamanya!</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-23372335756332057562017-07-22T03:30:00.002-07:002017-07-22T03:30:19.575-07:00Tidak ada kata terlambat untuk memulai<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tadi saya ke kampus dan bercakap-cakap dengan rekan-rekan sekerja. Mereka usianya masih 20an dan awal 30an, tapi kesadaran ilmiahnya tinggi banget. Jujur, saya salut.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jaman saya umur 20an, terus terang kesadaran ilmiah saya rendah. Kesadaran ilmiah di sini maksudnya, sebagai akademisi saya sadar pentingnya publikasi, pentingnya presentasi ilmiah di berbagai simposium. Bukan "hanya" mengajar.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Ketika umur saya 20an, saya memang sudah ingin menjadi dosen. Tapi, saya mau jadi dosen karena suka mengajarnya. Sama sekali tidak terpikir untuk penelitian, publikasi, presentasi ilmiah.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Beberapa kali saya pernah menghadiri simposium ilmiah saat usia saya 20an. Sebagai peserta. Saya hanya merasa, orang macam saya tidak mungkin presentasi ilmiah, tidak mungkin publikasi ilmiah di jurnal. Apalagi bikin buku. Itu sesuatu yang mustahil. Pulang dari simposium, yang tersisa adalah rasa kagum. Kagum pada orang-orang yang bisa publikasi dan presentasi ilmiah.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Yang lebih konyol lagi, dulu saat saya kuliah S2 di UI, saya pernah mengikuti kuliah yang salah satu pengajarnya adalah Profesor tersohor di bidang sastra dan feminisme. Pada akhir perkuliahan, kita harus membuat makalah. Saya lalu mengerjakan makalah dan mengumpulkannya. Ternyata makalah saya dapat nilai yang cukup tinggi dan beliau menuliskan pesan kepada saya untuk saya memasukkan makalah tersebut ke salah satu jurnal studi Jepang saat itu. Saya ingat sekali pesan beliau. "Kamu harus masukkan tulisan ini, mereka butuh tulisan seperti ini."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tentu saja saya senang dipuji Profesor hebat. Tapi, karena saat itu kesadaran ilmiah saya kurang, saya tidak menindaklanjuti dengan memasukkan makalah saya. Saya biarkan saja. Semata-mata alasannya karena saya malas mengirimnya. Sampai sekarang saya tidak tahu makalah itu di mana, hard copy maupun soft copynya. Coba kalau saat itu saya sudah punya kesadaran ilmiah tinggi. Mungkin saya akan berusaha mengontak profesor itu. Mungkin saya akan mencoba networking dan mengemukakan passion saya dalam dunia pendidikan. Tapi saat itu saya tidak punya soft skill seperti itu.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Lalu saya studi ke Jepang. Alasan studi sangat sederhana: ilmu saya sangat kurang dan saya ingin ilmu saya bertambah. Pada umumnya, yang memang pekerjaannya dosen itu, sudah punya "feel" akademik sebelum mulai studi. Ia sudah terbiasa dengan presentasi ilmiah dan publikasi. Saya bagaimana? Saat saya studi, status saya itu Ibu rumah tangga dengan satu anak usia 1 tahun 10 bulan. Sebelumnya saya adalah dosen tidak tetap pada sebuah perguruan tinggi swasta, tapi karena status saya tidak tetap, saat saya memutuskan studi, saya harus melepas pekerjaan saya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jadi, bisa dibayangkan kan, seorang Ibu rumah tangga studi di Jepang dengan anak usia 1 tahun 10 bulan? Jujur ya, tahun-tahun awal, slot otak saya lebih banyak dipenuhi dengan daftar belanjaan di supermarket, urusan daycare anak, rasa galau karena suami jadi house husband "gara-gara" saya. Kalau orang lain full speed langsung research dari masa research student, saya ngga. Begitu lama saya butuh waktu untuk terbiasa dengan yang namanya research, baca buku, menulis ilmiah. Profesor dengan tajam selalu bilang pada saya, "kamu tidak mengerti apa-apa. Kamu tidak tahu apa-apa."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tesis S2 saya adalah sampah. Bukan mengada-ada. Profesor yang bilang sendiri. Saya sampai tidak yakin mau lanjut S3. Takut memproduksi sampah yang lebih parah lagi.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tapi Profesor saya saat itu bilang dengan tegas, "kalau kamu tidak bisa mematahkan limit kamu sekarang ini, seumur hidup kamu akan jadi pecundang, tidak akan jadi apa-apa."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Mati, mati, mati. Mau jadi looser seumur hidup? Karena takut jadi pecundang seumur hidup, akhirnya saya beranikan diri untuk lanjut studi.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tahun pertama S3 masih galau, tahun kedua paruh pertama, baru saya mulai menemukan feel akademik itu. Setelah melewati 4,5 tahun yang panjang ngga ngerti apa-apa, untuk pertama kalinya Profesor mengapresiasi kinerja saya. Saya tahu itu benar-benar pertolongan Tuhan, kalau akhirnya ada setitik sinar terang dari rangkaian panjang studi saya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
1,5 tahun terakhir studi saya memang tidak bisa dibilang mudah, tapi setidaknya saya sudah sedikit menguasai medan. Bebannya lebih kepada mengejar deadline, bukan merasa lost, tersesat, dalam pengembaraan tidak ada ujung.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya hanya ingin bilang, bahwa perkataan tidak ada kata terlambat untuk belajar itu memang benar adanya. Sekalipun kita ibu-ibu punya anak bayi, sekalipun kita pengangguran, sekalipun kita sangat terlambat memulai. Kita bisa mendesain ulang hidup kita, jalan yang akan kita tempuh.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Terus terang saja, studi pascasarjana itu bukan hal mudah. Apalagi untuk orang dengan banyak keterbatasan seperti saya. Tapi justru karena saya terbatas, saya lemah, saya banyak ketidakmampuan, saya dapat dengan yakin berkata, "Dalam kelemahanlah kuasaMu menjadi sempurna."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
Bogor, 22 Juli 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-89231307513859076082017-07-22T03:29:00.002-07:002017-07-22T03:29:36.056-07:00"Kapan punya anak?"<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Emberan ya, halak kita ini kayaknya gatel banget pengen nanya soal kita udah punya anak or ngga, sejak hari pertama nikah. Kayaknya di awal-awal nulisrandom2017 ini saya pernah juga bahas soal pertanyaan kapan punya anak, tapi saya tergelitik ingin bahas lagi khusus, only tentang pertanyaan kapan punya anak.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Teori dan prakteknya, embrio ngga akan ada di rahim, jika tidak ada pertemuan sperma dan indung telur. Ingat, janin tidak akan terjadi hanya karena ada indung telur. Kita butuh sperma, benar? Artinya apa? Embrio alias bakal anak ini terjadi atas kerjasama sama rata suami istri. Ya bukan suami istri juga bisa banget punya anak, tapi hari ini saya mau bahas tentang status perempuan yang sudah menikah dan kerap kali ditanya tak henti soal kapan punya anak. Jadi untuk kali ini kita bahasnya yang di dalam kerangka pernikahan ya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Entah di suku lain gimana, tapi kalau di suku Batak, punya anak itu udah kayak kewajiban. Dengan garis keturunan patrilineal garis keras, dalam adat Batak, orang yang ngga mau punya anak itu dipandang aneh. Dianggap sok modern, ngga benar, dan sejenisnya. Yang ngga bisa punya anak juga dianggapnya pesakitan. Disuruh segera berobat, didesak-desak terus. Yang menunda untuk punya anak ya dianggap sinting juga. Dianggap nolak rejeki. Intinya, hari ini nikah, kalau bisa, besok langsung hamil. Lebih cepat lebih baik! Dan....lebih banyak anak lebih baik!</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Yang "aneh", meski anak itu ada di rahim berkat pertemuan sel telur dan sperma, yang selalu ditanya soal kapan punya anak, kapan punya anak itu hanya perempuan. Laki-laki sangat jarang ditanya atau ditekan atau diopresi soal ini. When it comes to child, so woman it is! Laki-laki silakan makan kacang dan minum bir aja sambil ngobrol-ngobrol di teras.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tapi hal "aneh" di atas, menjadi tidak aneh jika kita membedahnya dari perspektif gender. Konstruksi budaya sudah mengatur bahwa tempat laki-laki itu di luar rumah, di ranah publik, sedang tempat perempuan itu di dalam rumah, di ranah domestik. Dan karena perempuan punya rahim, maka urusan anak ini di bawah sadar dianggap urusan perempuan, minimal perempuan yang lebih bertanggungjawab. Ini sama seperti urusan kerjaan. Kalau perempuan nganggur, tinggal "lari" jadi ibu rumah tangga, dia tetap dapat status, tapi kalau laki-laki yang nganggur? Kalau dia "lari" jadi Bapak rumah tangga, dari pengalaman saya, laki-laki ini dianggap looser alias pecundang. Mengapa? Karena, nilai laki-laki "sejati" itu ada pada apakah dia punya power secara ekonomi atau ngga, alias dia punya pekerjaan yang stabil atau ngga. Sebaliknya, perempuan juga dianggap bukan perempuan "sejati" jika ia belum punya anak dan belum menikah. Mengapa? Karena, nilai perempuan "sejati" itu ada pada motherhood dan wifehood. Makanya kan, orang-orang di sekitar kita ribuuuuuut banget kalau kita, perempuan, belum menikah padahal sudah melewati batas umur tertentu atau belum juga dikaruniai anak setelah sekian lama menikah.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Untuk sesama perempuan yang saat ini sedang struggle dengan pertanyaan tak ada ujung soal kapan hamil, kapan punya anak, saya hanya ingin berkata: "keep your chin up, because you are more than "just a woman", you are a human! Dan sebagai manusia, kita punya kebebasan memilih dan mendesain hidup kita mau seperti apa. Termasuk di dalamnya, family planning, kapan mau punya anak, mau punya anak berapa, saat umur berapa.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Untuk yang memang sebenarnya ingin punya anak tapi memang belum diberi kesempatan hamil, saya tahu, sungguh rese mendengarkan komentar soal kapan hamil bla bla bla, tapi saya hanya ingin bilang: hamil atau ngga hamil, kita tetap manusia utuh! Patriarki memang kejam, menilai kita berarti hanya jika kita hamil dan punya anak, dan membuat segala prestasi kita di luar kehamilan seperti punya kerja yang bagus, karakter yang baik, sekolah yang tinggi, menjadi tidak ada artinya. Bahkan, pemikiran bahwa hamil itu prestasi saja, menurut saya sudah tidak benar. Hamil itu anugerah, bukan prestasi.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya hanya ingin bilang kepada setiap perempuan yang struggle dengan wacana kehamilan: don't let patriarchy norms define us! Karena....kita yang bertanggungjawab untuk mendefinisikan diri kita sendiri, bukan norma patriarki.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sebagai perempuan, apalagi perempuan dalam lingkungan batak, saya pun tidak luput dari pertanyaan-pertanyaan seputar kapan hamil. Tentu saja saya tidak mengkonfrontir balik dan cari ribut ketika terus-terusan ditanya kapan hamil, tetapi semakin kuat berondongan pertanyaan itu, saya semakin intens berdialog dan menguatkan diri sendiri: tubuh ini milik saya, saya punya hak penuh menentukan kapan hamil dan saya sangat percaya, Tuhan pun tidak pernah memaksa, jadi mengapa saya harus merasa lemah dengan ucapan-ucapan orang-orang di sekitar saya?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Karena teman terbaik kita adalah diri kita sendiri. Sebelum bersosialisasi dengan orang lain, pastikan kita bersosialisasi dengan diri kita sendiri. Berdialog dengan diri sendiri. Mengenal dalam-dalam diri sendiri. Memahami diri sendiri. Mendefinisikan diri sendiri. Sehingga, ketika ada yang mencoba mendefinisikan hidup kita, kita tidak goyah dan tetap teguh hati berpegang pada apa yang kita anggap benar. Dengan segala resikonya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Karena, dengan berani mendefinisikan diri kita, kita mengukuhkan hakekat kemanusiaan kita.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
Bogor, 20 Juli 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-20234443972530314782017-07-22T03:28:00.003-07:002017-07-22T03:28:53.196-07:00Memajukan orang lain<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Setiap orang pasti ingin hidupnya maju. Lebih baik dari hari ke hari. Itu wajar. Siapa yang menginginkan kemunduran? Ngga ada kan?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Lalu kita melakukan segala usaha agar kita bisa semakin maju, sejahtera, makmur. Usahanya bisa halal, bisa juga tidak. Ada yang bekerja keras, berusaha mati-matian agar maju. Ada yang mengasah skill networking sana sini. Ada juga yang mungkin kurang sabar, jadi akhirnya cari cara pintas. Entah menjilat, nyogok sana sini, atau korupsi.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Mau cara yang halal atau tidak halal, intinya semua orang itu ingin agar hidupnya lebih baik dan lebih maju dari hari ke hari. Baik dalam hal keluarga, karir, materi, kepribadian.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tapi, pernah ngga kita berpikir untuk memajukan orang lain dalam keseharian kita? Melalui pekerjaan, kegiatan sosial atau apa saja yang dapat kita lakukan.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Papa saya berkata pada saya, "Dalam bekerja, ada dua hal yang harus selalu diingat. Kita memajukan diri sendiri dan memajukan orang lain. Bekerja tidak ada gunanya jika diri sendiri yang maju, tapi kita tidak mampu memajukan orang lain."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kata-kata itu diucapkan kepada saya di hari-hari pertama saya menjadi dosen. Saya lalu teringat hari-hari ketika Papa saya masih aktif menjadi dosen. Beliau berkembang, tapi tidak pernah lupa untuk mengembangkan orang lain. Setelah karirnya mulai stabil, beliau berupaya untuk memajukan rekan-rekannya yang lebih muda, agar lebih berkembang dan mendapat banyak pengalaman. Ada yang berterima kasih padanya, tetapi ada juga yang setelah ditolong malah pergi entah kemana. Tapi beliau tidak peduli. Sampai purna bakti pun track record Papa tetap sama: memajukan diri sendiri dan memajukan orang lain.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sisi gelap manusia yang mungkin jarang diungkap terang-terangan adalah, kita tidak senang jika ada orang lain yang lebih baik dari kita. Kita merasa tersaingi, merasa terancam, merasa iri hati. Saya juga tidak memungkiri, sebagai manusia, saya punya perasaan-perasaan itu. Saya rasa semua manusia pasti merasa seperti itu jika melihat orang lain berhasil. "Wah dia udah naik pangkat aja, gue belum. Wah dia udah hebat, gue gini-gini aja." Timbul rasa tidak aman dalam diri kita dan ini sebenarnya normal.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tapi sebenarnya perasaan-perasaan itu bisa diminimalisir jika kita percaya diri akan kualitas kita. Orang yang berkualitas pasti akan selalu memikirkan cara untuk memajukan orang lain, karena ia tidak takut bersaing dan percaya pada kemampuan dirinya. Dan jika orientasinya adalah untuk kemajuan, dia pasti akan berusaha agar orang lain berkembang sambil ia terus mengembangkan diri.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya selalu ingat etos kerja memajukan orang lain itu. Itu sebabnya, jika ada yang minta tolong pada saya dalam rangka pengembangan dirinya, saya selalu berusaha untuk membantu sebisa saya. Tentu waktu saya jadi tersita beberapa saat, tapi saya anggap ini bagian dari pekerjaan, jadi saya tidak merasakan sebagai sebuah beban. Di kelas juga saya selalu berusaha memberikan yang terbaik agar mahasiswa-mahasiswa saya dapat semakin berkembang. Kelak jika saya sudah lebih stabil karirnya, saya berharap dapat menggunakan kestabilan tersebut untuk lebih lagi memajukan orang lain, bukan hanya memajukan diri sendiri.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Beberapa hari yang lalu, saya mendapat pekerjaan tambahan yang sebenarnya saya ngga yakin dibayar atau ngga, tapi saya cukup bersemangat karena melalui pekerjaan ini saya dapat memajukan diri sendiri dan orang lain. Lalu ada teman yang menanggapi, "banyak kerjaan sih banyak kerjaan, tapi ada duitnya ngga?"</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Memang susah jadi orang sok idealis, begitu dapat kerjaan, yang pertama-tama dilihat adalah hal-hal non material seperti kerjaan ini memajukan diri saya ngga, kerjaan ini mengembangkan orang lain ngga. Tidak heran, sampai hari ini saya ngga kaya-kaya. Tapi ya gimana, sejak kecil saya lihat contoh Papa saya yang selalu bilang, "kalau kerja jangan pikirin duitnya, jangan apa-apa mau duitnya dulu, tapi pikirin kerjaan itu bisa bikin kita dan orang lain berkembang atau ngga." Mama juga sama kayak gitu, kakek nenek saya juga. Bukan orang yang menilai apa-apa dengan uang.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Dalam hidup yang serba terburu-buru dan penuh dengan persaingan ini, ide memajukan orang lain mungkin terdengar usang. Ia mungkin jargon kuno yang sudah lekang dimakan waktu di dalam kehidupan yang berorientasi ambisi seperti saat ini. Dunia bergerak cepat dan penuh dengan persaingan yang membuat kita takut tertinggal. Tetapi, untuk saya, etos kerja memajukan orang lain hadir sebagai pengingat untuk saya bersikap lebih santai dan tidak terburu-buru dalam hidup ini, sebagai upaya untuk mengembalikan hakekat diri sebagai manusia yang pada dasarnya membutuhkan dan dibutuhkan orang lain.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kita memang bertanggungjawab memajukan diri sendiri, tetapi kita juga mengemban tugas memajukan orang lain. Karena jika hidup kita tidak memberi manfaat untuk orang lain, di titik itu kita kehilangan sukacita memberi dan hidup menjadi menurun kualitasnya jika kita hanya memikirkan diri sendiri.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
Bogor, 19 Juli 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-29981235664165626202017-07-22T03:28:00.000-07:002017-07-22T03:28:05.219-07:00Jumat pagi, Jumat deadline.<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sekilas kerjaan saya kayaknya enak, "cuma ngomong-ngomong aja", "cuma ngajar-ngajar aja", "cuma aktualisasi diri ngomong soal gender"<span class="text_exposed_show" style="display: inline; font-family: inherit;"><br />di depan para pendengar atau mahasiswa".</span></div>
<div class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px;">
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px;">
Well, mereka ngga tahu, kalau saya sampai begadang menyiapkan ini semua. Sama juga dengan presentasi di conference. Cuma ngomong 15 menit dan jawab beberapa pertanyaan, apa susahnya? Lagi-lagi, ngga ada yang tahu kan malam-malam panjang memeras otak demi menghasilkan sebuah presentasi yang semoga cukup berbobot dalam waktu 15 menit.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Mengajar juga sama aja. Berdiri di depan mahasiswa menjelaskan berbagai macam konsep, kelihatannya gampang. Ngga tahu kan kalau bagian paling susah dari kasih kuliah itu adalah persiapannya? Baca materi, bikin catatan penting, menyiapkan power point.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Nulis jurnal paling cuma berapa halaman sih, 8-10 halaman? Nulis-nulis aja kan, di rumah juga bisa? Ngga ada yang tahu kan, agar bisa menghasilkan tulisan ilmiah itu, sambil nulis saya sambil cek data, sambil baca lagi, analisis lagi, mikir lagi, merangkai kata biar pemikiran saya jelas terwakilkan. Ruang komputer di rumah berantakan banget sekarang, buku di mana-mana. Tiap pegang buku-buku itu ngga habis-habisnya bersyukur, pas pulang ke Indonesia berkeras mau bawa semua buku itu termasuk fotokopian2 kuliah, sampai baju-baju saya tinggalkan, pokoknya prioritas utama saya buku. Ngga kebayang kalau ngga punya buku-buku ini, tahu sendiri kan di Indonesia akses informasi masih agak sulit.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jadi kalau ada pembicara seminar yang ngomong di depan publik dan kita berpikir, "Enak ya dia ngomong-ngomong aja kerjanya", ingat, di balik "ngomong-ngomong aja" itu ada keringat peluh air mata sampai akhirnya dia bisa "ngomong-ngomong aja". Ada persiapan, ada perjuangan.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Dan biar kita punya materi untuk "ngomong-ngomong aja", ya kita mesti belajar, mesti nulis, mesti punya ide-ide baru. Makanya nih, biar saya bisa berkelanjutan ngomong-ngomong terus, ya saya belajar, saya nulis, saya membaca. Meski, karena kerjanya dari rumah dan saya ngetik-ngetik di depan komputer, anak saya menganggap saya ngga kerja dan bilang, "Mama mah main-main komputer aja."</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kerja itu bukan cuma yang pergi pagi-pagi jadi orang kantoran, di mari juga kerja, sambil ntar harus ngantar anak les, masak makan siang, nunggu anak les bawa-bawa laptop ngejar deadline makalah, kurang berjuang apalagi coba ini?</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jumat pagi, Jumat deadline, dengan pertanyaan random anak, "Mama, Hellen Keller itu seperti apa?" Dan karena besok weekend yang so called family day, alamat ini makalah harus diberesin hari ini biar tenang jalan-jalan besok. Ini resikonya jadi ibu-ibu so called researcher ya bok!</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Semangat, semangaaaaat, untuk jalan hidup yang kita pilih!</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
14 Juli 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-85354170675914015812017-07-22T03:27:00.002-07:002017-07-22T03:27:17.033-07:00Bogor Permai atau restoran gaul?<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kemarin malam saya makan di food court Botani Square Bogor. Saya ngga makan makanan yang lagi kekinian, saya makan kwetiaw siramnya Rumah Makan Bakmi Gaya Tunggal. Mereka memang buka satu stand di food court Botani Square.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sambil makan, saya sambil mikir. Kwetiaw siram ini rasanya sederhana, ngga berlebihan, pas. Bukan rasa yang kayaknya usaha banget biar jadi enak. Penampakannya pun sederhana. Tidak pakai dihias-hias, piringnya juga hanya piring putih biasa dengan cap "gaya tunggal" yang tidak keren sama sekali.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Rumah makan bakmi Gaya Tunggal itu pertama-tama dibuka di daerah Pasar Bogor, tepatnya sih di depan museum Zoologi. Restorannya jadul sangat. Saya sendiri ngga pernah makan di restoran pertamanya ini. Saya lebih sering makan di cabangnya yang di Jl Bangbarung, karena dekat dengan rumah saya. Atau mentok-mentok ya di food court Botani Square.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Ada lagi restoran Bogor Permai. Semua orang yang tinggal di Bogor pasti tahu restoran ini. Mulai beroperasi sejak tahun 1963, sampai sekarang, restoran dan toko roti ini tetap banyak penggemar setianya. Letaknya di Jl Jend Sudirman. Jaman saya masih kecil dan belum banyak restoran, Bogor Permai ini termasuk tempat andalan kalau mau makan "mewah". Sate ponorogonya enak banget, sup asparagusnya juga. Kalau untuk sarapan, lontong cap gomehnya itu super juara. Bubur ayamnya rasanya lembut, pas di lidah. Belum lagi roti-roti dan kue-kuenya. Rasanya klasik.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Di dekat restoran Bogor Permai, masih satu jalan juga, ada Rumah Makan Sahabat alias Yungsin. Mie ayam basonya adalah salah satu yang terenak menurut saya. Sewaktu saya studi di Jepang, kalau udah stress mau menghadapi mid defense atau progress report, saya langsung ingin makan mie yungsin. Sushi atau sashimi sih ngga bisa dibandingkan dengan mie yungsin deh. Kelasnya beda. Enakan mie yungsin maksudnya!</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Satu lagi restoran yang menurut saya makanannya enak itu rumah makan Dunia Baru. Letaknya di Pasar Gembrong. Ini juga ya, sudah ada sejak tahun 1960an, sama seperti Bogor Permai, Bakmi Gaya Tunggal, Mie Yungsin. Sampai sekarang tetap kokoh berdiri. Tempatnya ngga keren sama sekali, malah cenderung gerah karena tidak ber-AC. Meja dan kursinya sederhana, interiornya sama sekali ngga instagramable. Kepiting saos padangnya, sampai hari ini saya belum menemukan tempat lain yang rasanya seotentik Dunia Baru. Semua makanan di Dunia Baru itu ngga ada yang ngga enak. Harganya juga cukup terjangkau.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sekarang di Bogor banyak restoran-restoran cantik. Interiornya keren sangat, kalau mau foto-foto untuk upload di sosial media, pas banget. Saya pernah mencoba beberapa di antaranya, tapi terus terang aja, saya cukup satu kali aja ke resto-resto cantik kayak gitu. Rasanya ngga kepengen-pengen amat untuk balik lagi. Beda dengan RM Bogor Permai, RM Dunia Baru, RM Sahabat alias Yungsin dan RM Bakmi Gaya Tunggal. Makanan-makanan di restoran-restoran ini seolah-olah memanggil saya untuk mampir lagi, lagi, dan lagi. Dan herannya mau makan berapa kali juga, kalau makan di restoran-restoran tersebut, saya ngga pernah bosan. </div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Padahal kan banyak restoran yang kekinian di Bogor, tapi mengapa saya ngga semangat untuk datang lagi? Jawabannya sederhana sih : masakan mereka kurang berkualitas. Minimal, kualitasnya kalah dibandingkan dengan Bogor Permai, Dunia Baru, Bakmi Gaya Tunggal, Mie Yungsin. Kebanyakan restoran kekinian itu tidak punya ciri khas. Satu bikin pizza, yang lain ikutan. Satu bikin chinese food, yang lain ikut bikin juga. Atau, terlalu banyak pilihan makanan yang mereka tawarkan, mulai dari makanan barat, Asia, Indonesia, sampai pusing lihat menunya. Akhirnya kurang fokus. Rasa juga standar, bukan yang istimewa banget. Pernah nih saya diajak makan di restoran yang minta ampun ngantrinya gila banget, sampai diberlakukan sistem buka tutup demi menjaga ketertiban tamu. Restoran ini banyak sekali pengunjungnya dan kalau saya perhatikan, rata-rata platnya B. Mungkin anak Jakarta yang kemakan iklan ingin makan di tempat yang kekinian. Karena yang mau makan di restoran ini banyak banget, saya pikir, makanannya mungkin enak banget. Ternyata? Minta ampun, ngga enak sama sekali. Semua yang kenal saya tahu kan ya kalau saya ini ngga bisa masak. Tapi makan di restoran itu, saya mikir, yaelaaaaah kalau cuma segini doang mah gue juga bisa bikin di rumah! Bayangin deh kalau orang yang ngga bisa masak macam saya sudah berpikir begitu, berarti kan rasa masakannya standar banget. Sampai hari ini, saya tidak pernah mau balik ke restoran itu, karena pengalaman pertama, rasa makanannya benar-benar standar, malah agak kurang ya kalau untuk ukuran restoran.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kalau saya perhatikan, RM Bogor Permai, RM Dunia Baru, RM Bakmi Gaya Tungga; dan RM Mie Yungsin itu sampai hari ini tetap bertahan di tengah-tengah restoran-restoran gaul di Bogor, karena mereka itu punya kualitas, konsisten, dan emang passion mereka itu beneran di usaha kuliner. Istilahnya, sudah panggilan hidup para owner restoran-restoran di atas untuk membuka restoran dan menyediakan makanan enak untuk warga Bogor. Mereka buka restoran dan bertahan sampai hari ini karena memang mereka mampu, mereka punya ciri khas, mereka fokus banget. Coba deh perhatikan, misalnya Bakmi Gaya Tunggal dan Mie Yungsin. Mereka fokus di mie. Mereka ngga centil ikut-ikutan jualan pizza misalnya. Kalau mie ya mie aja. Dan meskipun sama-sama mie, dua-duanya tetap bertahan sampai hari ini, karena punya ciri khas. Mie yungsin rasanya lebih oily, lebih kuat, lebih jreng! Sedang Bakmi Gaya Tunggal, rasanya lebih ringan, sederhana. Demikian juga Bogor Permai dan Dunia Baru. Bogor Permai fokus di kue-kue dan roti. Dari dulu sampai sekarang, varian roti yang dijual di Bogor Permai ya itu-itu aja. Tapi tetap enak dan rasanya konsisten, ngga berubah. Sate Ponorogonya Bogor Permai juga rasanya tetap sama, dari saat pertama kali saya makan ketika saya masih SD kelas 1 sampai hari ini, saat usia saya menuju 40 tahun. Ngga ada perubahan sama sekali. Konsisten. Dunia Baru juga pastinya begitu. Restoran ini fokus khusus di masakan Cina. Mereka ngga ikut-ikutan jualan zuppa soup atau cheese fondue atau laksa Malaysia-lah segala macam. Dari jaman saya SD makan di sini sampai sekarang saya yang punya anak SD, Dunia Baru ngga pernah berubah, baik rasa maupun suasana. Menu makannya aja masih "jelek", hanya terdiri dari beberapa lembar kertas yang diluminating, yang tidak bercita rasa seni sama sekali. Terus kita nulis sendiri pesanan kita di atas kertas buram yang sangat jadul. Tapi soal rasa? Juara satu terus dehhhhh, ngga pernah turun peringkat!</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kemarin, sambil makan kwetiaw siramnya bakmi gaya tunggal, saya berpikir, bahwa memang terakhir-terakhirnya, yang akan bertahan dan menjadi pemenang itu ya orang-orang yang emang punya kualitas. Soal ngegaya atau tengil sana sini, semua juga bisa, tapi cepat atau lambat, yang ngga berkualitas ya pada akhirnya tidak akan bertahan. Dan kalau kita hidup bagaikan resto-resto wanna be, yang buka bisnis kuliner hanya karena latah ikut-ikutan saja, ya sebenarnya kita tinggal tunggu waktu aja, lama-lama kita tumbang sendiri. Memang sudah paling benar, jangan pernah ikut-ikutan kalau memang ngga mau. Hasilnya ngga akan bagus, jika sesuatu itu tidak benar-benar keluar dari hati.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Pilih mana? Jadi resto yang penampakannya ngga gaul macam Dunia Baru tapi tetap konsisten dengan rasa makanannya yang otentik, atau mau kayak restoran-restoran kekinian yang tampilannya bagus tapi tidak meninggalkan kesan mendalam? Saya sih berharap saya bisa kayak restoran Dunia Baru ya. Yang meskipun sudah puluhan tahun bergerak di bidang yang sama, tapi tetap punya semangat dan passion, dan selalu menyuguhkan yang terbaik. Yang meskipun dari luar terlihat biasa-biasa saja, tapi kedalaman dapurnya itu sungguh menunjukkan kualitas mumpuni.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Berita baiknya, seperti yang dulu pernah saya posting juga, kualitas itu bisa diasah. Asal memang kita hidup sesuai dengan panggilan hidup kita. Jangan sampai kita memakai sepatu yang salah, yang sempit atau yang kegedean. Kita akan sulit berjalan karena faktor ketidakcocokan antara kaki dan sepatu itu sendiri. Tetapi, jika kita mengenakan sepatu yang pas, kita akan dapat berjalan terus, sekalipun dalam pelaksanaannya, kita pasti menemukan kerikil-kerikil tajam, batu-batu besar, tebing-tebing yang terjal. Tetapi, sepanjang kita mengenakan sepatu yang pas, yang memang benar-benar cocok untuk kita, kita pasti akan dapat terus bergerak maju. Walaupun pelan-pelan. Walaupun selangkah demi selangkah.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
11 Juli 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-54801117064544815852017-07-22T03:26:00.000-07:002017-07-22T03:26:06.252-07:00Enakan mana? Jepang atau Indonesia?<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Setelah kembali dari Jepang dua tahun yang lalu, saya sering ditanya: enakan mana, Jepang atau Indonesia? Ngapain pulang, kan enakan di sana?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Menurut saya, pertanyaan di atas sulit dijawab hanya dengan satu kata. Enakan Jepang atau enakan Indonesia. Karena, mungkin di Jepang enak di satu sisi, tapi di Indonesia enak di sisi lain.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Memang harus saya akui, kalau soal kualitas hidup, Jepang memang jauh lebih enak. Teratur, nyaman, bersih. Polusi udara tidak separah di Indonesia. Transportasi publik nyaman dan terintegrasi, ruang publik terbuka ramah anak banyak banget, pendidikan usia dini dan dasar dikelola dengan sangat serius. Asuransi kesehatan terjamin, kita dapat tunjangan anak dari pemda, urusan birokrasi sangat ringkas dan ngga ribet. Urus KTP 10 menit selesai.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tapi soal ketenangan batin sih memang lebih bikin tenang Indonesia. Biar gimanapun, rasanya galau kalau merantau jauh sementara orang tua kita sudah makin tua. Makanan juga jelas lebih enak Indonesia. Untuk saya pribadi, di Indonesia rasanya lebih tenang membangun hidup. Meskipun dalam basis harian, persoalan printil sangat banyak dan menguras energi.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Lepas dari semua itu, yang membuat saya memutuskan untuk pulang setelah selesai studi adalah karena memang tujuan awal saya merantau ke Jepang adalah untuk memajukan negeri tercinta. Saya tahu, ini tujuan sok idealis banget. Hari gini, mau bangun bangsa, mending juga ada yang mengapresiasi. Yang ada susahnya melulu kali.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Satu hal yang sering keliru dipahami, kebanyakan halak kita ini menganggap kalau sudah dari luar negeri, balik ke Indonesia pasti sukses. Kalau kita ngga segera sukses, kayaknya nista banget. Yang paham kalau setelah dari luar negeri kemudian pulang ke Indonesia itu pasti awal-awal benar-benar carut marut dan butuh waktu untuk stabil memang hanya orang yang pernah merasakan kondisi ini. Di tengah gempuran pertanyaan kapan James dapat kerja, kenapa Rouli jadi staf marketing, hanya Papa dan Uda (adik Papa) yang bilang gini:</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Butuh waktu setidaknya satu tahun sampai stabil."<br />"Tiga tahun pertama pasti sulit. Dulu Papa juga gitu, jadi harus bertahan."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Coba dong dunia, tambah lagi orang "adem" macam Papa dan Uda!</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Balik lagi soal sukses. Berdasarkan pengalaman, mentang-mentang udah beres studi di Jepang, bukan berarti langsung sukses. Ngga. Di mana-mana namanya sukses itu butuh waktu, butuh proses. Sama seperti mendapatkan gelar S3 ini aja butuh waktu 6 tahun, kalau mau sukses karir pun ya harus siap mental pasti butuh waktu lama. Dan dari tahapan paling bawah.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya pernah ditanya oleh salah seorang rekan kerja. "Kok elu mau, Mbak, jalanin dari tahapan paling bawah gini? Kan Mbak udah S3?"</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya jawab, "Ya apa sih arti beberapa tahun di awal kalau kita mikirnya mau berkarya sampai usia 70?"</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kadang kita harus punya visi besar supaya tidak gampang patah semangat pada masalah-masalah yang sifatnya printil dan sehari-hari. Yang rese-rese pasti banyak, namanya juga hidup, tapi kalau kita terlalu fokus pada urusan kecil dan lupa big picturenya, kita ngga akan maju-maju. Lebih baik maju selangkah demi selangkah meski pelan daripada berharap langsung melakukan lompatan besar tapi kenyataannya hanya bergerak di tempat.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Pada awal minggu pertama kepulangan saya ke Indonesia, saya lari pagi keliling lingkar luar Kebun Raya Bogor. Di depan sungai Ciliwung saya berhenti sejenak. Saya tatap sungai kotor dengan airnya yang berwarna kecoklatan dan penuh sampah di sana sini sambil di benak saya terbayang sungai Senri dekat tempat tinggal saya dulu di Osaka, yang sangat bersih dan jernih airnya. Lalu suara hati saya berkata,</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Untuk itulah kamu pulang. Karena di sini masih ada sungai Ciliwung. Artinya ada banyak ruang untuk melakukan perbaikan."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sekalipun sungguh masih dalam tahap embrio, sedikit demi sedikit saya berusaha melakukan perbaikan. Mungkin dampaknya belum terasa, tapi saya sudah memulai dan akan terus memulai.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Enakan mana? Jepang atau Indonesia?"<br />Saya coba jawab: "Kalau kualitas hidup memang lebih enak Jepang, tapi satu hal yang pasti: Indonesia lebih membutuhkan saya."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
8 Juli 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-82939972485364444242017-07-22T03:25:00.002-07:002017-07-22T03:25:20.178-07:00Patriarki hanya merugikan perempuan?<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kalau ada perempuan yang menyerukan kesetaraan perempuan, minta supaya perempuan tidak terbatasi ruang lingkupnya hanya pada ranah domestik, mungkin tidak sedikit dari antara kita yang menganggap perempuan-perempuan ini agak nyentrik, aneh, banyak maunya. Kok ngga terima "kodrat"? Kok ngga legowo dengan "peran perempuan"?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Pada umumnya, kita berpikir gerakan feminisme atau gerakan kesetaraan perempuan yang mencoba mendobrak norma-norma patriarki, "hanya" menguntungkan perempuan saja. Benar demikian?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Awalnya saya juga mengira demikian. Bahwa feminisme adalah perlawanan antara perempuan vs laki-laki. Ternyata bukan. Feminisme bukan persoalan antara laki-laki melawan perempuan. Feminisme sesungguhnya adalah pertentangan antara manusia yang melestarikan nilai-nilai patriarki dan manusia yang berusaha mendobrak nilai-nilai patriarki.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tidak bisa dipungkiri, nilai-nilai patriarki masih kuat mengakar dalam hidup kita sehari-hari. Secara sederhana, patriarki adalah sebuah sistem di dalam masyarakat atau pemerintahan di mana laki-laki yang memiliki otoritas kuasa dan perempuan dipinggirkan dari otoritas kuasa tersebut. Secara kongkrit, pengejawantahan norma patriarki, misalnya:</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Perempuan tugas utamanya adalah pada ranah domestik, sedang laki-laki menguasai ranah publik.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Mitos maskulin dan feminin,contoh: laki-laki adalah "benar-benar laki-laki" jika ia tegas, kuat, berjiwa pemimpin, ambisius, semangat mengukir prestasi, sedangkan perempuan adalah "benar-benar perempuan" jika ia lembut, pendiam, penurut, tidak ambisi, senang jadi homemaker.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Laki-laki adalah pihak yang menolong, melindungi, menafkahi, memberi kebahagiaan, dan perempuan adalah pihak yang ditolong, dilindungi, dinafkahi, diberi kebahagiaan. Contoh paling klasik dapat dilihat pada cerita dongeng Cinderella dan Snow White. Cinderella yang miskin berubah nasib menjadi kaya setelah menikah dengan pangeran, Snow White yang sudah mati karena makan apel beracun, hidup kembali setelah dicium pangeran (semoga ini pangerannya beda ya, kasihan kan kalau sama, Cinderella dan Snow White jadi korban poligami).</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Laki-laki yang ikut membantu urus anak, beres-beres rumah dianggap heroik, dipuja-puja, sedang kalau perempuan ikut-ikutan kerja, cenderung mendapat penilaian kurang baik, dan sering dibarengi pertanyaan "Itu anaknya ngga apa-apa ga tuh?"</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Laki-laki kalau hijrah ke luar negeri untuk kerja atau sekolah dan bawa anak istri, dianggap wajar, sebaliknya kalau perempuan yang bawa anak suami, dianggap aneh dan ngga jarang dianggap ga tahu diri dan merepotkan orang lain, sok ambisius dan tengil sejuta. Kok saya bisa ngomong gitu? Kan saya udah ngalamin sendiri! "Dosa" saya pada norma patriarki sudah sangat besar!</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Dari contoh-contoh di atas, kelihatannya norma patriarki ini menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan ya. Tapi, laki-laki yang mana dulu, perempuan yang mana dulu?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Bagaimana dengan laki-laki yang diPHK dan sulit dapat kerja?<br />Bagaimana dengan laki-laki yang ikut istrinya ke luar negeri? (Itu suami saya!)<br />Bagaimana dengan laki-laki yang jiwanya lembut dan gampang nangis?<br />Bagaimana dengan laki-laki yang tidak ambisius mencetak prestasi?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jelas untuk laki-laki seperti ini, norma patriarki merugikan. Membuat dirinya merasa tidak berguna, berada di posisi pinggiran dalam hidup bermasyarakat, dan terasingkan karena ia tidak mencapai standar laki-laki ideal berdasarkan norma patriarki.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya sudah merasakan punya suami yang berada dalam kondisi tidak punya pekerjaan dalam waktu yang cukup lama, karena ia dan anak saya mengikuti saya hijrah ke Jepang. Dalam tahun-tahun itu, saya menyadari bahwa untuk laki-laki, tidak punya kerja itu bebannya seperti perempuan yang tidak bisa punya anak. Merasa diri kurang lengkap dan pecundang. Saya juga mengamati, untuk mahasiswa laki-laki yang bawa istri, sepertinya tidak ada masalah besar, malah kayaknya istri senang tinggal di Jepang. Tapi kebalikannya, kalau mahasiswa perempuan yang bawa suami, benar-benar butuh waktu lama untuk suami dan istri tersebut merasa nyaman dengan kehidupan baru di Jepang.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Mengapa hal tersebut terjadi? Internalisasi norma patriarki yang sudah kuat mengakar dalam keseharian dan pedalaman batin kita! Di bawah sadar, kita merasa bahwa "yang benar", "yang wajar " itu adalah jika laki-laki dan perempuan berperan sesuai dengan pembagian tugas yang kaku antara ranah domestik dan publik. Negosiasi diperbolehkan, tapi hanya dalam batas-batas "yang wajar".</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Maka, tidak heran jika saya dianggap perempuan aneh karena angkut anak suami ke Jepang demi "so called post graduate study" ini. Suami saya dianggap aneh karena kok jadi laki-laki mau aja ikut istri, di sana ngga punya kerja tetap pula. Anak saya dikasihani banyak orang karena punya ibu yang tega meninggalkan dia dengan berangkat duluan ke Jepang. Coba sebaliknya: suami yang studi, saya yang ikut. Pasti ngga menuai perdebatan, semuanya dianggap wajar, wajar, wajar.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kita hidup dalam masyarakat yang dibangun dalam konstruksi dominan patriarki. Persoalannya, manusia itu tidak bisa dikotak-kotakkan perannya dalam sebuah sistem yang kaku. Apalagi di jaman yang semakin sulit ini, kita harus lebih fleksibel dalam menyikapi nilai dan menerima keberagaman gaya hidup.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Mungkin kita harus mulai secara sadar melatih diri: untuk mendefinisikan hidup sesuai dengan pemikiran kritis kita, bukan hanya terima jadi warisan norma patriarki. Karena pada akhirnya, yang berbahagia adalah yang membebaskan pikirannya dari norma-norma yang mengikat yang menghambat kemajuan diri. Karena pada akhirnya, takut pada perubahan hanya akan membawa kesempitan pada pola pikir dan kita kehilangan banyak hal baik yang sebenarnya ada di luar tempurung patriarki.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
7 Juli 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-36832344172945779922017-07-22T03:24:00.002-07:002017-07-22T03:24:34.766-07:00Pakai ART atau ngga?<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Ini nih topik yang sempat hangat beberapa waktu yang lalu, tentang debat pakai Asisten Rumah Tangga (ART) atau ngga pakai ART. Saya sendiri agak bingung, kenapa hal kayak gini harus jadi masalah. Kan sebenarnya sederhana: kalau dirasa butuh ya pakai, ngga butuh ya ngga pakai. Kan beres?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya sendiri termasuk kubu mana? Maaf, saya paling anti polarisasi segala macam wacana seputar "good mom-bad mom". Menurut saya, belum tentu ibu yang ngga pakai ART, yang anti susu formula, yang kasih ASI eksklusif, yang masak tiap hari itu ibu yang baik. Belum tentu juga ibu yang pakai ART, yang kasih susu formula, yang ngga masak tiap hari itu ibu yang buruk. Terlalu murah ngga sih, melabeli baik buruknya ibu hanya dengan hal-hal di atas?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jadi kalau sudah mulai ramai pertentangan bad mom vs good mom, saya sih ngga mau ikut-ikut. Buang energi maksimal itu sih. Termasuk soal heboh pakai ART atau ngga.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya perhatikan, yang ngga pakai ART itu suka ngerasa bangga dan anggap dirinya ngga level dengan yang pakai ART. Di mata ibu-ibu yang ngga pakai ART, ibu-ibu yang pakai ART ini suka dianggap manja, ngga peduli anak, sosialita. Bukannya masak di rumah malah arisan kongkow kongkow. Terus, ada juga yang benchmarking ke ibu-ibu Indonesia yang tinggal di negara-negara maju. Di situ ibu-ibu ngerjain segala sesuatunya sendiri tuhhhhh...kok lu-lu pada manja amat sih di Indonesia?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sebagai orang yang pernah merasakan hidup di negara maju, saya hanya mau bilang, kondisi Indonesia dan negara maju itu beda. Misalnya di Jepang, meski ngga pakai ART, lingkungan dan sistem mendukung untuk hidup tetap nyaman dan aman. Di Jepang, ada daycare seharian penuh untuk menitipkan anak jika kita bekerja atau sekolah. Untuk tingkat SD, ada after school program sampai kelas 4 SD, jadi selesai sekolah, anak yang orang tuanya bekerja atau sekolah, bisa ikut kegiatan di gedung yang satu area dengan sekolah, dan memang diawasi caregiver bersertifikat. Jarak sekolah dengan rumah itu relatif dekat dan lingkungan sekitar cukup aman. Kita ga perlu pusing soal antar jemput anak.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Soal makanan, di Jepang itu umumnya masakan lebih simple. Cuma goreng salmon aja beres. Sementara di Indonesia salmon itu termasuk makanan mewah, di Jepang orang makan salmon sebagai makanan sehari-hari. Harga memang lebih terjangkau daripada salmon di Indonesia.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Intinya itu, banyak hal yang mempermudah hidup sehingga keberadaan ART itu tidak terasa sangat signifikan. Tapi kalau di Indonesia bagaimana? Terutama di kota-kota besar, kita ngeri juga melepas anak pergi pulang sekolah sendiri. Kalau orang tua dua-duanya bekerja, tidak ada after school program seperti di Jepang yang mudah dijangkau. Soal masakan juga masakan Indonesia cukup ribet. Singkat cerita, jika kita tidak punya support system yang kuat, mempekerjakan ART adalah salah satu pilihan untuk mempermudah hidup.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Terus gimana, pulang ke Indonesia saya pakai ART ngga? Saya sih ngga pakai. Bukan karena ingin jadi ibu teladan yang mau ngerjain semuanya sendiri, tapi memang karena rumah saya ini kecil dan kalau ada ART, privacy di rumah jadi ngga ada. Selain itu juga, puji syukurnya itu Mama dan Papa mau dititipi Joanna selama saya bekerja, dan Joanna juga bisa urus dirinya sendiri jadi tidak terlalu merepotkan Mama Papa. Jadi saya pikir, ngga pakai ART juga kehidupan masih bisa berjalan baik.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Yang sebenarnya saya ngga suka itu bukan masalah pakai ART atau tidak. Yang menurut saya sangat menyebalkan itu adalah gimana kelompok ibu-ibu yang pakai ART dan tidak itu saling merasa diri paling benar dan cenderung menjatuhkan yang lain. Ini sama saja dengan perdebatan ibu-ibu antara yang kasih ASI eksklusif dan tidak, yang melahirkan secara alamiah atau caesar, yang bekerja dan tidak bekerja, yang pesan catering dan masak sendiri. Sudahlah, kita jalan dengan jalan masing-masing aja yang penting kita nyaman. Bagus ngganya itu bukan bagian kita untuk menilai.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Lagipula, kok pakai atau tidak pakai ART, melahirkan alamiah atau caesar, ASI atau susu formula, mengapa harus dijadikan pencapaian sih. Konon katanya ada istilah S1 ASI kalau sukses ASI eksklusif 6 bulan, S2 ASI kalau ASI terus selama satu tahun, dan S3 ASI kalau ASI sampai 2 tahun. Jujur ya saya sih daripada Joanna S3 ASI, saya akan lebih bahagia kalau Joanna S3 beneran.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Hidup sebagai ibu itu adalah bagian dari keseharian dan gaya hidup. Ia adalah kewajaran, bukan keluarbiasaan. Ia adalah keberagaman, karena tidak pernah ada satu jalan hidup sebagai ibu yang paling benar atau paling salah.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
6 Juli 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-1444133506469698822017-07-22T03:23:00.003-07:002017-07-22T03:23:52.529-07:00Menulis dan popularitas<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Maret 2011, gempa bumi dan tsunami melanda bagian timur utara Jepang, yaitu di wilayah Tohoku. Saat itu saya sedang kuliah S2, sudah selesai tahun pertama dan sedang menikmati libur musim semi untuk masuk ke tahun kedua pada bulan April 2011.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Berdasarkan hasil pengamatan saya terhadap acara-acara TV di Jepang yang meliput tentang gempa bumi hebat tersebut, saya lalu menulis notes di Facebook, dengan judul "Say Yes! to Gambaru". Sebenarnya tidak ada sedikitpun niat khusus menuliskan tulisan itu. Sama dengan tulisan-tulisan saya yang lain, emang saya hanya ingin menulis saja, ingin berbagi saja. Tidak lebih dari itu.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Entah mengapa, tulisan itu jadi viral. Dishare di berbagai tempat, di milis, di media sosial. Dan berdasarkan tulisan saya, dibuatlah tulisan tentang semangat gambaru orang Jepang oleh seorang guru etos terkenal dan dimuat di Kompas halaman dua. Ada juga liputan di stasiun TV Indonesia yang konon menyebut-nyebut nama saya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Akibat viralnya tulisan saya itu, saya menerima banyak permintaan pertemanan di FB saya. Saya terima. Banyak juga yang memuji tulisan saya, minta kenalan, dan sebagainya. Nahhhh di sini saya mulai mawas diri. Apa maksudnya mawas diri?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya menyadarkan diri saya sendiri, untuk tidak larut dalam pujian. Belum tentu tulisan saya itu luar biasa. Mungkin tulisan itu viral karena momentnya pas dan mungkin saya yang pertama menulis tentang gempa bumi itu dalam bentuk tulisan yang ringan. Kalau saya terus menerus melenakan diri dalam pujian, bisa-bisa saya ngga produktif. Lebih parah lagi, saya akan menganggap diri saya hebat, padahal kan faktanya saat itu saya adalah mahasiswa S2 yang sedang mengalami siksaan akademik di kampus tercinta. Hebat dari mananya?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Itu sebabnya saya dengan sengaja tidak membalas satu per satu komentar orang-orang yang membaca tulisan saya. Saya balas borongan dan "bersifat umum", seperti "terima kasih banyak sudah baca tulisan saya." Saya juga sengaja tidak membuat akun media sosial lain seperti twitter atau instagram. Ini semua saya lakukan agar jangan sampai saya jadi orang yang sok beken hanya karena satu tulisan saja. Sekarang sih saya punya akun twitter atau instagram tapi saya sama sekali tidak aktif. Jarang saya buka malah.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sekarang ini sebenarnya mudah untuk kita menjadi terkenal. Posting saja satu tulisan dan jika momentnya tepat, tulisan itu jadi viral dan kita bisa tiba-tiba punya banyak penggemar. Tetapi, jadi terkenal itu menurut saya lebih banyak ngga enaknya daripada enaknya. Semua mata akan menyoroti kelakuan kita. Kita jadi ngga bebas. Dan begitu kita melakukan kesalahan, orang-orang dari berbagai penjuru akan membully kita dengan sadis.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Bagi saya, menulis itu jauh kaitannya dengan popularitas. Menulis untuk saya adalah kebutuhan jiwa. Namanya kebutuhan jiwa, berarti akan terus dilakukan demi kestabilan batin.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Beberapa orang pernah menyarankan untuk saya membukukan notes-notes FB saya yang jumlahnya ratusan itu. Ada juga yang menyarankan untuk kirim tulisan ke media. Tapi sampai hari ini saya belum pernah melakukan semua itu. Mengapa?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya hanya berpikir, kalau saya membukukan tulisan saya, orang jadi harus bayar dan usaha lebih untuk baca. Sedang kalau di FB gini kan gratis. Selain itu, saya memang punya komitmen sebagai akademisi: sebelum saya tulis-tulis buku non ilmiah, prioritas saya harus buku ilmiah dulu. Buku ilmiah terbit, baru deh nulis yang lain. Moga-moga deh ya, pada paruh pertama usia 40an, buku ilmiah pertama saya bisa beneran terbit. Mohon doa!</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sekitar dua tahun yang lalu, saya menghadiri sebuah konferensi di Surabaya. Di situ saya bertemu dengan seorang pengajar studi Jepang di daerah Jawa Timur. Setelah berkenalan, ia bertanya,</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Ini Rouli Esther yang menulis "Say Yes! to Gambaru" ya?<br />Saya jawab: "Iya"<br />"Saya pakai tulisan Rouli pada mata kuliah masyarakat Jepang, untuk mengajarkan tentang gambaru pada mahasiswa-mahasiswa saya"<br />Saya jawab: "Terima kasih banyak. Saya jadi terharu."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Beneran, saya sangat terharu saat itu. Meskipun saya tidak pernah dibayar karena apa yang saya tulis, tapi kalau dengar kisah kayak gini, rasanya senang banget. Di titik itu saya ingin terus dan terus menulis.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jadi, menulis itu menurut saya, tidak ada kaitan dengan popularitas. Mungkin saya memang orang yang sok idealis, tapi sungguh, meminjam idenya Rene Descartes "Cogito ergo sum" (Aku berpikir maka aku ada), saya pun dengan mantap berkata dari lubuk hati saya: "Aku menulis maka aku ada"</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
Bogor, 5 Juli 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-20938974524524120042017-07-22T03:23:00.000-07:002017-07-22T03:23:07.506-07:00"Kuliah di jurusan apa? di mana?"<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tahun 1996, saya lulus SMA dan mendaftar ikut UMPTN (sekarang namanya SBMPTN) alias Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Saya mendaftar ke Jurusan Sastra Jepang dan Jurusan Sastra Jerman Fakultas Sastra UI (sekarang namanya FIB Fakultas Ilmu Budaya). Keterima? Ngga! Saya ngga lolos masuk di pilihan pertama dan kedua saya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Karena memang maunya Jurusan Sastra Jepang atau Jerman,saya juga mendaftar di program D3 Bahasa Jepang dan Bahasa Jerman Fakultas Sastra UI. Garis hidup lalu membawa saya kuliah di program D3 Bahasa Jepang Fakultas Sastra UI. Seandainya saat itu saya diterimanya di jurusan Jerman, mungkin saat ini saya jadi dosen studi Jerman kali ya....dan mungkin sudah kelilling Eropa (ngareeeeep....)</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Nahhhh, setelah mulai kuliah ini, keseruan-keseruan rese mulai timbul. Biasalah ya, halak kita ini kan doyan basa basi, termasuk tanya-tanya soal kuliah.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kasus 1</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Kuliah di mana?"<br />Saya jawab:"UI"<br />"Jurusan apa?"<br />Saya jawab: "D3 Bahasa Jepang"<br />"Kok D3 sih? Nanggung lho ngga dapat gelar."<br />Saya jawab: "ngga keterima di S1nya"<br />"Ohhh...moga2 nanti bisa lanjut sampai S1 ya."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kasus 2<br />"Ambil jurusan apa?"<br />Saya jawab: "Bahasa Jepang"<br />"Ntar kerjanya gimana tuh ya?"<br />"Belum tahu"<br />"Moga-moga cepat dapat kerja ya"</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kasus 3<br />"Program diploma UI kan kayak swastanya UI ya bayarnya mahal"<br />Saya jawab: "Iya, lebih mahal dari yang S1nya"<br />"Kenapa ngga masuk S1?"<br />Saya jawab: "Ngga diterima"<br />"Ntar gimana tuh abis lulus, lanjut S1 di tempat yang sama bisa ga tuh?"<br />Saya jawab: "Kalau di tempat yang sama sepertinya ngga bisa."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Dari percakapan-percakapan itu, saya yang saat itu berusia akhir belasan tahun, mengambil kesimpulan:<br />1. Kalau ngga lulus UMPTN, biar namanya UI, langsung dicapnya UI kw (ya apalah saya ini dibanding anak rantau macam suami saya dan saudara-saudaranya yang nembus jurusan favorit di PTN ternama. Sembahhhhh!!!!)</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
2. Jurusan sastra kayaknya emang belum dianggap bisa memberikan masa depan cerah. Terutama untuk generasi di atas saya, empat besar jurusan yang akan memberikan kesuksesan adalah: kedokteran, teknik, ekonomi, hukum.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Meskipun agak gondok dengan ucapan-ucapan halak kita ini, tapi diam-diam ucapan-ucapan itu saya jadikan bahan pemikiran demi menuju masa depan yang lebih baik. Biar bagaimanapun tidak dapat dipungkiri, namanya universitas negeri, pasti punya nama besar. Lulusannya sudah pasti lebih diperhitungkan karena nama besar itu. Setelah lulus program D3 Bahasa Jepang UI, saya lalu melanjutkan studi S1 di jurusan Sastra Jepang Universitas Nasional. Saya kan mau jadi dosen, langkah pertama mesti lulus S1 dulu dong.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Selama saya kuliah S1 di Unas, saya lalu melakukan berbagai macam cara untuk meng-upgrade kemampuan diri. Benchmarking saya adalah lulusan S1 Sastra Jepang UI. Saya melakukan riset, mereka ini punya nilai tambah apa saja. Lalu saya temukan empat hal ini: pernah studi di Jepang selama satu tahun, menang lomba pidato bahasa Jepang, ikut les bahasa Jepang di Japan Foundation, lulus ujian kemampuan bahasa Jepang minimal N2. Selama saya menempuh studi S1 di Unas, saya upayakan untuk memenuhi empat hal ini. Kan saya mau jadi dosen Sastra Jepang, kualitas dasar ini harus terpenuhi.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Selesai kuliah S1, saya lanjut kuliah S2 di Program Pascasarjana Kajian Wilayah Jepang UI dan di saat yang sama, saya mulai mengajar di jurusan Bahasa Jepang pada sebuah perguruan tinggi swasta. 2,5 tahun kemudian saya lulus, tetapi saya merasa diri ini masih kurang ilmu, kasihan mahasiswa-mahasiswa saya nanti. Dan lagi, demi nilai tambah, sepertinya jika memang memungkinkan, studi pascasarjana di Jepang memang harus dijalankan, demi peningkatan kualitas diri yang lebih baik.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Singkat cerita, semesta merestui niat saya untuk studi di Jepang, dan akhirnya dari tahun 2009-2015, terdamparlah saya di Osaka University, demi menimba ilmu pengetahuan dan ilmu kehidupan.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saat ini, saya utamanya sedang dalam tahap embrio merintis karir dan mengajar di perguruan tinggi tempat saya ngga lulus UMPTN itu. Rekan-rekan kerja saya semuanya orang-orang yang memang pintar, bukan macam saya yang harus tambal sana sini, jungkir balik sana sini, menempuh berbagai cara (halal tapi ya!) demi meningkatkan kualitas diri. Tetapi, mau emang pintar dari lahir atau yang model saya, berusaha mengimbangi modal awal yang pas-pasan dengan bekerja keras dan berusaha maksimal, terakhir-terakhirnya orang-orang akan melihat kualitas diri kita.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Berita baiknya, kualitas diri itu bisa ditingkatkan. Asal kita mau dan benar-benar usaha. Mungkin karena cerita hidup saya yang tidak serta merta kuliah di perguruan tinggi ternama, hingga hari ini saya melihat orang lebih kepada kualitas perseorangannya, bukan pada dari mana ia lulus atau di mana ia bekerja.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tidak semua orang dikaruniai otak cerdas dari lahir. Tidak semua orang juga "beruntung" , hanya dengan sekali mencoba, bisa sekolah di tempat yang sudah punya nama besar. Tetapi, semua orang dikaruniai otak untuk memikirkan strategi hidup dan hikmat untuk melangkah tahap demi tahap. Terus berproses meningkatkan kualitas diri adalah tanggungjawab kita terhadap hidup ini. Agar berguna kita bagi diri sendiri, agar diri memberi manfaat pada hidup orang lain.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
5 Juli 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-53085030120430222662017-07-22T03:21:00.002-07:002017-07-22T03:21:49.805-07:00Shift kedua<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tahun 1989, Arlie Russell Hochschild, seorang Profesor Sosiologi dari University of California Berkeley menerbitkan buku berjudul "The Second Shift". Buku ini adalah hasil riset beliau selama tahun 1970an-1980an terhadap 50 pasang suami istri yang sama-sama bekerja dan berbagi beban pekerjaan rumah tangga di Amerika Serikat. Melalui wawancara dan observasi yang intens dalam kurun waktu yang cukup lama, beliau mendapati fakta bahwa meskipun jaman telah berubah, dalam arti perempuan dapat berkarya di ranah publik, bisa punya pekerjaan di luar rumah dan karir dengan gaji yang cukup bagus, tetap saja yang mengerjakan second shift alias shift kedua (shift pertama adalah pekerjaan di kantor) lebih banyak itu adalah perempuan dibanding laki-laki. "The second shift" sendiri adalah istilah yang diciptakan oleh Prof Hochschild untuk menyebut pekerjaan profesional yang dibayar di ranah publik sebagai shift pertama dan pekerjaan rumah tangga di dalam ranah domestik sebagai shift kedua atau "the second shift".</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Dalam bukunya, Prof Hochschild mengemukakan bahwa perempuan mengadaptasi perubahan dengan cepat, maju dan berkarya, hanya yang kerap kali terjadi adalah perempuannya saja yang berubah, sedang lingkungan sekitarnya tetap stagnan dan tidak ikut berubah, atau kalaupun ikut berubah, tidak serevolusioner perubahan pemikiran dan perilaku perempuan.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya pertama kali membaca buku "The Second Shift" di perpustakaan pusat Osaka University, Toyonaka campus. Buku ini ada di rak buku-buku gender studies, salah satu rak yang paling sering saya kunjungi selama enam tahun menggunakan perpustakaan tercinta ini. Membaca buku Prof Hochschild membuat saya berkali-kali berujar dalam hati, "ini benar banget! ini benar banget!"</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sering mendengar ungkapan-ungkapan seperti ini dari orang-orang di sekitar kita?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Suami gue sih baik banget, waktu hari ibu, dia ijinin gue untuk me time dan dia yang ngerjain seluruh kerjaan rumah."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Suami lu baik banget sih mau bantuin ngurus anak dan cuci piring segala."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Suami kayak si A langka lho, karena mau siaga urus anak. Enak banget ya punya suami kayak gitu."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tanpa mengecilkan arti suami siaga urus anak, suami ikut membantu pekerjaan rumah tangga dan tanpa mengurangi rasa hormat saya pada suami-suami ini, saya sebenarnya agak miris dengan pernyataan-pernyataan di atas. Mengapa?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Karena, bottom line-nya, di balik pernyataan-pernyataan tersebut, wacana patriarki tetap bermain dengan sangat kuat: perempuanlah pelaku utama ranah domestik, laki-laki "hanya" pemeran pembantu. Dengan kata lain, perempuan penggerak utama kegiatan harian di dalam rumah tangga: masak, beres-beres, cuci-jemur-gosok baju, sapu-pel, buang sampah, sikat kamar mandi dan toilet, you name it. Laki-laki mungkin bergerak dalam bidang memperbaiki genteng bocor atau cuci mobil atau memperbaiki saluran air, tapi kita tidak tiap hari memperbaiki genteng bocor, bukan? Sedang masak, cuci-jemur baju, sapu-pel, ini semua basisnya harian (oke di rumah saya pel lantai hanya kalau lagi mood saja, ngga jelas rentang waktunya berapa lama).</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Selain itu, saya diam-diam sudah lama mengamati kecenderungan ini: seolah-olah karena perempuan "boleh" bekerja di luar rumah, maka ia harus "membayar hak istimewa" ini dengan giat mengerjakan pekerjaan rumah tangga lebih daripada laki-laki. Giat mengerjakan pekerjaan rumah tangga ini sebenarnya juga bukan karena laki-laki yang menuntut, tetapi saya perhatikan, lebih karena perempuan merasa bersalah karena ia telah menghabiskan banyak waktu di luar rumah, jadi ia "menebusnya" dengan mengerjakan mungkin dua pertiga dari pekerjaan rumah tangga atau bisa juga tindakannya ini karena ia merasa harus menunjukkan rasa syukur sudah "diijinkan" untuk beraktivitas di luar rumah, jadi ia meresponnya dengan sigap menyelesaikan urusan pekerjaan rumah tangga.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Salah satu solusi agar baik suami maupun istri sama-sama nyaman tidak dibebani house cores yang membludak adalah dengan mempekerjakan ART. Tapi tetap saja ini tidak mengubah wacana dasar pembagian tugas laki-laki di luar rumah dan perempuan di dalam rumah. Apalagi jika kita tinggal di negara maju, yang tenaga kerja sangat mahal sehingga budaya mempekerjakan ART itu tidak lazim.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Satu lagi yang juga menurut saya melelahkan adalah anggapan bahwa manager rumah tangga itu harus istri. Contoh sederhana, pertanyaan-pertanyaan seperti ini biasanya ditujukan pada ibu atau istri:</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Hari ini makan apa?"<br />"Kapan kita belanja?" (Bahan makanan ya, bukan baju atau sepatu!)<br />"Ngga ada makanan lho di rumah."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Pertanyaan balik dari saya sebenarnya juga tidak kalah sederhana: kalau ngga ada makanan, mengapa tidak langsung inisiatif buka kulkas dan masak, kalau tidak ada bahan makanan, mengapa tidak langsung gerak belanja ke pasar atau supermarket atau tukang sayur. Mengapa harus selalu menunggu inisiatif dari perempuan? Lagi-lagi ini karena di bawah sadar, kita sudah dididik dan diinternalisasikan dengan nilai-nilai pembagian tugas berdasarkan gender yang kaku: perempuan adalah ratu pekerjaan rumah tangga dan laki-laki adalah raja pekerjaan profesional.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sampai saat tulisan ini ditulis, saya belum tahu solusinya bagaimana agar second shift ini bisa benar-benar terbagi secara adil. Memang menurut saya dalam basis yang kecil seperti misalnya keluarga inti, sudah banyak pekerjaan rumah tangga yang juga dirambah laki-laki. Sekalipun kehadiran laki-laki untuk urusan house cores pada umumnya bukan sebagai pemeran utama tapi sebagai pemeran pembantu, tetap saja eksistensi pemeran pembantu itu harus disyukuri, mengingat sampai pada generasi orang tua saya misalnya, pembagian peran suami istri dalam sebuah keluarga itu masih kaku. Tetapi dalam level makro, misalnya acara kenegaraan atau acara adat, tetap saja aneh kan jika kita melihat pemandangan laki-laki dan perempuan sama-sama sibuk di dapur dan sama-sama aktif dalam acara? Ini pertanda patriarki memang masih menjadi konstruksi dominan di dalam kehidupan bermasyarakat.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tahun 2012, buku "The Second Shift" karya Arlie Russell Hochschild dicetak ulang. Mungkin dicetak ulang karena meski terbit pertama kali pada tahun 1989, tema yang diangkat beliau tetap relevan untuk kondisi saat ini.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Most women without children spend much more time than men on housework; with children, they devote more time to both housework and child care. Just as there is a wage gap between men and women in workplace, there is a "leisure gap" between them at home. Most women work one shift at the office or factory, and a "second shift" at home. (Arlie Russell Hochschild)</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Untuk kita renungkan bersama.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
1 Juli 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-2879102951305959702017-07-22T03:20:00.000-07:002017-07-22T03:20:06.629-07:00Shifuku (雌伏)<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sebenarnya kegiatan #nulisrandom2017 akan selesai hari ini, tapi karena berbagai kesibukan saya pada paruh akhir Juni 2017, saya jadi tidak bisa mengambil waktu untuk menulis setiap hari secara rutin. Tetapi, pasti saya akan selesaikan komitmen menulis 30 hari ini.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Pernah merasa kehidupan kita tidak naik level, karir mandeg, hidup begitu-begitu saja? Galau melihat teman-teman lain melakukan lompatan demi lompatan dan mereka melesat naik dengan gilang gemilang sementara kita tertinggal dan tidak tahu kapan keadaan akan berubah menjadi lebih baik? Atau kita pernah berhasil dalam hidup, setelah itu kita terpuruk dan terus berada dalam kondisi tersebut dalam jangka waktu lama?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Dalam bahasa Inggris, ada satu kata yang menggambarkan masa di mana kita sulit untuk maju, karena ada berbagai kesulitan, tantangan, faktor luar yang di luar kendali kita. Kata itu adalah "setback". Menurut kamus Cambridge, setback adalah "something that happens that delays or prevents a process from developing". Apa yang menghambat proses kemajuan? Bisa macam-macam. Bisa kondisi tiba-tiba dipecat lalu sulit mendapat pekerjaan lagi. Bisa penyakit yang membutuhkan waktu lama untuk proses penyembuhan. Dan khusus untuk perempuan, jika ia punya anak usia sekolah, apalagi balita atau batita, tenaga bisa terkuras habis hari demi hari mengurus anak-anak dan rumah tangga, padahal hati ini menjerit menginginkan kehidupan lain selain anak dan suami (dan sungguh itu bukanlah dosa, itu sangat wajar).</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Semua juga tahu, masa-masa setback itu ngga enak. Ngga enaknya itu karena kita sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi banyak faktor di luar kendali kita yang membuat kita tidak dapat maju. Kita seperti terus bergerak di satu tempat dan tidak dapat melakukan lompatan untuk maju ke depan, karena ada faktor-faktor luar yang mengekang gerak kita.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Ketika saya menulis disertasi saya, Prof saya memperkenalkan saya pada satu kata baru dalam bahasa Jepang yang menurut saya sangat indah dan dalam artinya, yaitu: shifuku. Kata ini bukan diajarkan secara khusus kepada saya, tetapi kata ini muncul dalam disertasi yang telah diperbaiki beliau. Dalam satu paragraf kesimpulan, saya menulis "dalam tahun-tahun yang sulit, Enchi Fumiko yang memulai karirnya sejak usia 20an, terus bersabar dan bertahan, dan akhirnya pada usia 50an, akhirnya ia berhasil menjadi pengarang yang diakui di dalam dunia kesusastraan Jepang." Kata "bersabar dan bertahan" diganti oleh Prof saya dengan kata "shifuku". Karena saya baru pertama kali mendengar kata ini, maka saya mencarinya di kamus, dan inilah artinya: terus berusaha dan mempersiapkan diri, menanti waktu dan kesempatan untuk berkarya (bukan menanti dengan diam saja tanpa melakukan apa-apa).</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Lebih "gila" lagi, menurut Prof saya, kata "shifuku" itu jadi makin dalam artinya jika ditelaah dengan pendekatan gender. Shifuku terdiri dari dua karakter, yaitu 雌 yang artinya female atau perempuan atau betina dan 伏 yang artinya membungkuk, menunduk, bersembunyi. Lawan kata shifuku adalah yuuhi yang terdiri dari dua karakter, yaitu 雄 yang artinya male atau laki-laki atau jantan dan 飛 yang artinya terbang atau melompat. Yuuhi sendiri memiliki arti "berkarya dengan gemilang dan berani".</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Dalam masa-masa penantian untuk bisa lebih maju dan naik level, seorang perempuan memang menghadapi banyak tantangan yang lebih berat dibanding laki-laki. Wacana di balik ini semua adalah budaya patriarki yang sudah terinternalisasi, yang menganggap perempuan itu tempatnya di rumah dan jika mau berkarya di luar ranah domestik, butuh usaha lebih, karena meski tidak selalu diucapkan secara gamblang, di bawah sadar, tetap ada pemikiran "perempuan itu kalau mau karir-kariran itu cukup pekerjaan tambahan saja, utamanya jadi istri dan ibu. Jadi sebisa mungkin tidak perlu ambisius mengejar karir."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Maka itu, mungkin itulah sebabnya, "terus berusaha dan mempersiapkan diri menanti waktu dan kesempatan yang tepat untuk berkarya" diwakilkan dengan dua karakter, yaitu "betina" dan "menunduk, bersembunyi,membungkuk", mengadaptasi pemikiran bahwa perempuan di dalam menjalani masa-masa setback, tidak tinggal diam, tapi terus berusaha, terus mempersiapkan diri, dan mengatur strategi sampai nanti tiba masanya untuk berkarya penuh. Ia bukan membungkuk tanpa arti, bukan bersembunyi dengan hanya merenungi nasib, tapi ia membungkuk, bersembunyi, menunduk sambil terus aktif mempersiapkan diri agar "layak" meraih sukses ketika saatnya tiba.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kita tidak pernah tahu kapan kesempatan untuk berkarya maksimal itu tiba. Tetapi satu hal yang kita tahu, setback itu pasti akan ada akhirnya, sama dengan masa-masa sukses pun tidak abadi. Semua datang silih berganti dan dalam musim kehidupan apapun, tanggungjawab kita adalah terus mempersiapkan diri.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jangan sampai ketika kesempatan tiba, kita tidak siap. Akhirnya kesempatan lewat dan kali ini kitalah yang menjadi penyebab tidak dapat keluar dari setback.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sementara belum tiba saatnya untuk melesat terbang menggapai sukses atau yuuhi (雄飛), tetaplah melakukan shifuku (雌伏) dengan tidak terburu-buru, tetapi tidak goyah, pelan-pelan tetapi mantap.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
30 Juni 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-87157718394511103912017-07-22T03:18:00.002-07:002017-07-22T03:18:51.271-07:00Late bloomer<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sudah ketinggalan berhari-hari untuk rangkaian kegiatan #nulisrandom2017 ini, yang seharusnya satu hari satu tulisan, tapi saya pasti selesaikan sampai target 30 hari meski pace-nya ngga sama dengan yang lain.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Pernah dengar istilah late bloomer? Ini istilah untuk orang yang mekar atau berhasil atau suksesnya "terlambat" dari ukuran rata-rata yang ditetapkan masyarakat.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Contohnya, Laura Ingals Wilder yang mengarang seri "Little House on the Prairie". Sampai hari ini buku-buku beliau terkenal dan dibaca, filmnya juga jadi legenda. Pasti kita ingat dong sosok keluarga Ingals yang terdiri dari Ma, Pa, Mary, Laura, Carrie. Usia berapa beliau menulis dan menerbitkan novelnya? 61 tahun!</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Ada lagi contoh dua pengarang lain. Jean Rhys, pengarang "Wide Sargasso Sea". Tidak "seterkenal" Laura Ingals Wilder karena beliau pengarang dalam ranah sastra post kolonial dan sastra perempuan, tapi beliau menerbitkan buku pertamanya pada usia 76 tahun. Enchi Fumiko, pengarang yang saya teliti, sudah mengarang sejak usia 21 tahun, tapi baru sukses sebagai pengarang pada usia 49 tahun.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Para pengarang di atas berusia nyaris 50an, 60an, 70an ketika mereka pertama kali sukses di dunia sastra. Usia yang sudah dianggap tidak produktif lagi. Usia di mana apa yang dianggap wajar adalah diam duduk-duduk manis di rumah dan bukannya berkarya. Tapi faktanya bagaimana? Mereka bukan duduk-duduk manis, tapi malah semakin aktif berkarya menghasilkan buah. Mereka yang dianggap sudah terlambat untuk mekar, malah mengalami mekar sempurna di usia tuanya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Betapa kita terbiasa mengkotak-kotakkan sukses tidaknya hidup seseorang dari apakah ia berhasil mencapai kesuksesan itu di usia "produktif". Betapa kita sering membatasi jalan hidup orang hanya karena hidupnya belum stabil pada usia tertentu.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya mengakui, saya termasuk orang yang "dianugerahi" hak istimewa untuk menjadi late bloomer. Saya kuliah S1 tidak dalam waktu 4 tahun, tapi sudah kayak anak kedokteran aja, saya selesai kuliah S1 dalam waktu 7 tahun. 3 tahun pertama saya kuliah di program diploma, lalu lanjut ke program S1, transfer kredit, dan harus tambah 2,5 tahun lagi. Ketika saya sudah siap sidang skripsi, saya mendapatkan kesempatan untuk studi di Jepang selama satu tahun. Karena persyaratannya adalah masih harus terdaftar sebagai mahasiswa di perguruan tinggi asal, maka saya menunda kelulusan saya, dan akhirnya saya menjalani sidang skripsi setelah saya kembali dari Jepang. Saya lulus kuliah S1 di usia 25 tahun.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sementara orang lain pada umumnya sudah mulai stabil karirnya, saya tidak demikian. Saya lalu kuliah S2 di usia 26 tahun, sambil saya bekerja sebagai pengajar tidak tetap di sebuah perguruan tinggi swasta. Karir saya di bidang akademik dimulai di usia 26 tahun. Lalu saya menikah di usia 27 tahun, hamil dan lulus S2 di usia 28 tahun, dan melahirkan J di usia 29 tahun. Karir saya masih sebagai pengajar tidak tetap. Lalu di usia 30 tahun, saat anak saya masih berusia 1 tahun, saya mencoba mengikuti ujian beasiswa mombusho untuk studi di Jepang. Lulus. Lalu saya berangkat ke Jepang pada usia 31 tahun.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Batas pelamar beasiswa mombusho adalah 35 tahun pada saat keberangkatan. Saya yang saat berangkat berusia 31 tahun, termasuk yang tua. Ada yang usianya 30an tahun juga, tapi mereka kebanyakan sudah punya posisi yang stabil di tempat kerja. Mau tahu status saya saat berangkat ke Jepang? Pengangguran!</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Lalu saya menghabiskan 6 tahun di Jepang untuk studi. Dalam tahun-tahun itu, tidak jarang saya mendapatkan komentar dari orang-orang terdekat, sehubungan dengan status pengangguran saya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Nanti gimana, udah lulus S3 tapi ngga punya kerja?"<br />"Orang kan biasanya sudah punya posisi jadi dosen tetap dulu, ngga kayak kamu yang sekolah dulu padahal belum punya posisi. Gimana tuh ntar?"</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya sendiri juga tidak tahu akan bagaimana nanti. Tapi daripada ketakutan saat itu dan langsung pulang untuk cari posisi, lebih baik saya selesaikan studi saya dulu, dan akhirnya setelah 6 tahun, di usia 37 tahun, saya menyelesaikan studi saya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Bayangkan, usia 37 tahun dan tidak punya pekerjaan. Gimana galaunya itu...tapi the show must go on. Memang saya yang memilih jadi akademisi, jadi kuliah sampai S3 adalah mutlak. Setelah saya pulang, karena tidak punya posisi, saya bukannya langsung berkarya tapi malah kerja di sekolah anak saya yang tidak ada hubungannya dengan studi Jepang. Dalam tahun itu, Prof selalu menyemangati saya untuk tidak menyerah dan terus melakukan shifuku.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Apa itu shifuku? Ini salah satu kosa kata dalam bahasa Jepang yang sangat indah menurut saya. Shifuku artinya terus berusaha dan mempersiapkan diri sambil menanti waktu untuk mekar sempurna tiba.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Lalu setelah saya bekerja satu tahun di sekolah anak saya, saya mulai merintis karir sebagai akademisi. Saat ini usia saya 39 tahun, seharusnya dalam "ukuran normal", saya ini sudah masuk ke level mid career, tapi hingga hari ini saya masih embrio. Tapi sekalipun posisi saya adalah embrio, saya punya prinsip: kualitas kerja tidak boleh menurun sekalipun karir masih belum stabil. Dan saya meyakini, setiap orang memang ada waktunya masing-masing untuk mekar sempurna.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Bayangkan jika Laura Ingals Wilder, Jean Rhys, Enchi Fumiko menyerah menjadi pengarang "hanya karena" usianya sudah lewat 40 tahun dan mereka belum berhasil. Selamanya mereka akan menjadi orang-orang biasa yang tenggelam dalam arus jaman. Kita tidak akan pernah membaca karya-karyanya yang sangat menginspirasi.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Karena setiap orang sudah punya waktunya masing-masing. Tinggal kita mau atau tidak mengikuti jalan hidup ini, atau menyerah karena merasa terlalu berat? Jika saya diberi hak istimewa sebagai late bloomer, maka jadilah! Jangan melawan garis hidup dan jangan melawan kata hati.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
26 Juni 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-38419936601135972462017-07-22T03:17:00.002-07:002017-07-22T03:17:53.434-07:00"Ngajar-ngajar aja?"<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Salah seorang teman saya pernah merasa jengkel karena ia ditanya oleh temannya setelah sekian lama tidak bertemu.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Lu sekarang ngapain? Ngajar-ngajar aja?"</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jika kalimat ini dianalisa, ungkapan "ngajar-ngajar aja" itu jelas punya maksud tersirat agak meremehkan profesi sebagai pengajar. Mungkin dalam bayangan orang yang melemparkan pernyataan ini, profesi pengajar itu kayak bukan "kerja beneran", karena kita hanya berdiri di depan kelas sekitar 2 jam untuk satu mata pelajaran, dan kalau di perguruan tinggi, tidak setiap waktu dari jam 9 sampai 5 sore kita berdiri di depan kelas untuk mengajar.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jadi, sebenarnya "ngajar-ngajar aja" itu ngapain aja dong kalau rata-rata sehari berdiri di depan kelasnya hanya 3-5 jam?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Dari pengalaman saya "ngajar-ngajar aja", justru yang paling menyita waktu itu bukan real time mengajar di depan para mahasiswanya, tapi justru persiapan sebelum mengajarnya, dan memeriksa tugas-tugas dan ujian para mahasiswa.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Persiapan sebelum mengajar, untuk persiapan besar, biasanya kita mendesain materi ajar untuk satu semester ke depan. Jika mengajarnya dengan tim atau kelompok, materi ajar ditentukan bersama-sama. Untuk yang tim, ada koordinatornya dan jika mengajar dalam tim, taat pada koordinator adalah mutlak.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Untuk yang mata kuliah yang saya pegang sendiri, saya biasanya membaca feedback dari para mahasiswa di semester lalu, kemudian saya berusaha memasukkan saran dari mereka, materi yang bagus saya pertahankan. Pemilihan materi juga makan waktu cukup lama. Biasanya saya akan mencari beberapa materi baru dan bahan bacaan, lalu digabung dengan materi yang sudah saya miliki sebelumnya, dan saya pelajari dulu semua materi itu. Dari semua materi itu, saya lalu melakukan seleksi, mana yang masuk ke materi primer, mana yang materi pendukung. Selanjutnya, saya juga harus memikirkan strategi bagaimana caranya agar di kelas mahasiswa sebisa mungkin tidak merasa bosan. Mereka harus diajak berpikir terus dan "dijebak" untuk aktif, entah lewat presentasi atau lewat pertanyaan, sehingga tidak terasa, tahu-tahu kuliah telah berakhir.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Setelah membuat desain besar materi pengajaran, selanjutnya adalah masuk ke hal-hal yang sifatnya detil dan berbasis harian, yaitu menyiapkan materi ajar per minggu. Ini meliputi membuat power point, membuat pertanyaan-pertanyaan untuk lembar tugas, dan yang paling penting, mempelajari materi. Saya punya buku catatan per mata kuliah dan semua urutan kegiatan di kelas dalam setiap pertemuan pasti saya tulis, berikut dengan alokasi waktunya. Untuk kuliah bahasa, catatan saya paling banyak, karena meliputi pola-pola kalimat yang akan diajarkan hari itu berikut contoh-contoh kalimatnya. Bahkan materi yang terlihat "gampang" seperti Bahasa Jepang dasar pun saya tulis, karena saya bukan dewa yang hafal segala hal di luar kepala.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Setelah semua beres, baru saya "mentas" di kelas. Selesai "mentas" di kelas, saya mempersiapkan lagi materi untuk pertemuan berikutnya dan memeriksa tugas-tugas dan ujian para mahasiswa. Begitu terus berulang hingga satu semester berakhir.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jadi, sebenarnya "ngajar-ngajar aja" itu sesungguhnya bukan "ngajar-ngajar aja". Bukan hanya satu hari cuap-cuap di kelas selama dua jam, lalu sisanya santai-santai sambil minum kopi. Demi bisa cuap-cuap maksimal selama dua jam, proses sebelum dan sesudahnya itu makan waktu lama. Dan itulah semua rangkaian kegiatan dari apa yang mungkin sebagian orang menamakannya "ngajar-ngajar aja".</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jadi kalau ada yang bilang, "Kerjaan lu ngapain? Lu ngajar-ngajar aja ya?"</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Mari kita, pengajar, bilang dengan mantap: "Gue bukan ngajar-ngajar aja. Gue ngajar, karena emang gue ini pengajar."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Pengajar, jangan merasa rendah diri jika kita bukan orang kantoran atau dokter atau pengacara, yang entah mengapa, dianggap paling keren sejagat di dalam kancah pekerjaan. Kita, guru, entah guru pendidikan usia dini, dasar, menengah, pendidikan tinggi, adalah orang-orang yang diberi hak istimewa untuk menyentuh hidup dan hati generasi penerus, melalui distribusi dan produksi ilmu, sekaligus juga melalui teladan sikap dan perbuatan. Kita bukan ngajar-ngajar aja, bukan gunting-gunting kertas atau nyanyi-nyanyi aja (kalau kita guru TK). Semua tindakan kita bermakna karena kita sedang dalam proses mendistribusikan ilmu pada generasi di bawah kita. Bagaimana mungkin hal mulia seperti ini dirangkum dalam ungkapan konyol "ngajar-ngajar aja", "gunting-gunting kertas aja ", "nyanyi-nyanyi aja"?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
22 Juni 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-16854988914477251102017-07-22T03:16:00.004-07:002017-07-22T03:16:59.931-07:00Trust<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Masih lebih baik kehilangan harta daripada kehilangan kepercayaan dari orang lain. Meski, sebenarnya jangan sampai harta juga hilang sih.....</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tapi ungkapan di atas menunjukkan betapa menjaga kepercayaan itu bukan perkara mudah. Betapa sebuah hubungan bisa rusak karena sudah tidak ada kepercayaan lagi.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Salah satu negara yang cukup "rewel" urusan trust alias kepercayaan itu adalah Jepang. Selama beberapa tahun berkecimpung dalam bidang studi Jepang, saya merasa bahwa diam-diam orang-orang Jepang itu memperhatikan kinerja, ketulusan, dan terutama karakter kita. Apakah orang ini dapat dipercaya atau tidak, apakah orang ini sungguh-sungguh serius atau tidak.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kalau saya bisa kuliah di Jepang, lalu ikut beberapa program untuk pengembangan studi Jepang yang butuh biaya tidak sedikit (untuk ukuran kemampuan finansial saya), itu karena adanya beasiswa dan dana yang saya dapatkan dari melamar program-program tersebut.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Namanya juga dibiayai ya, tentunya kita harus maksimal menunjukkan kinerja terbaik. Ada beberapa cerita tidak sedap yang saya dengar dari orang-orang di sekitar saya, yang terus terang saja agak bikin malu nama bangsa tercinta ini.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Ada yang diberi beasiswa untuk studi di Jepang, tapi yang bersangkutan malah sibuk bisnis di sana, jarang muncul di lab atau ruang penelitian setiap hari, akhirnya ketika lulus S2 tidak diberi rekomendasi untuk lanjut ke jenjang yang lebih tinggi, dan "tidak diurus" kelanjutan studinya oleh Profesornya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Ada yang dapat beasiswa, ini sih bukan di Jepang tapi di negara lain, lalu yang bersangkutan bukannya bayar uang kuliah dengan beasiswa tersebut tapi malah uang beasiswa itu dialokasikan untuk beli tanah di kampung halaman. Sampai-sampai pihak kampus melacak mengapa yang bersangkutan belum bayar uang kuliah sekian lama, akhirnya entah bagaimana, ketahuan kalau uangnya digunakan untuk hal yang tidak seharusnya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Yang kayak gini ini kan agak bikin miris ya? Sejatinya jika kita menerima beasiswa atau biaya lain untuk menunjang kemajuan diri ini, maka seharusnya digunakan sesuai keperluan. Kalau kita "tertangkap" kita akan dilabeli negatif dan kepercayaan pihak lain terhadap kita akan sedikit demi sedikit runtuh.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Masalahnya, kita mau pencitraan gimana juga, lama-lama karakter asli akan muncul. Dan kalau kita "pura-pura" baik, "pura-pura" sungguh-sungguh, "pura-pura" santun, ya terakhir-terakhirnya akan ketahuan juga.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jadi, harusnya bagaimana? Jawabannya sudah jelas. Jagalah kepercayaan itu! Dengan kerja keras, dengan menunjukkan itikad baik, dengan bersikap jujur dan dapat diandalkan, dengan berpikir bahwa kepercayaan ini adalah hal yang sangat mahal harganya, sekalinya runtuh, sulit membangun kembali.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Lagipula kalau urusannya sudah hal yang sifatnya finansial seperti beasiswa, maka biar bagaimanapun juga, penerima beasiswa pasti disorot dan biasanya jika skalanya internasional, yang disorot sudah bukan diri pribadi tapi dari mana ia berasal.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Itu sebabnya selama saya studi di Jepang, saya selalu sadar dan menyadarkan diri untuk menjaga kelakuan dan menunjukkan itikad baik. Jangan sampai Indonesia dinilai jelek karena kelakuan saya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kita tahu, di kancah internasional, nama Indonesia bukan yang super dihormati, bukan yang super ditakuti. Ini fakta yang harus diterima. Bahwasanya negara tercinta ini masih banyak ketinggalan, harus kita terima dengan lapang dada. Tapi jangan berhenti hanya di menerima saja, tapi pikirkan sama-sama sumbangsih apa yang dapat kita berikan untuk bangsa kita.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Karena menjadi masyarakat global itu bukan berarti kita lupa pada jati diri kita. Menjadi masyarakat global juga bukan berarti kita menggerutu pada ketidaknyamanan negeri dan mengagungkan tempat lain. Menjadi masyarakat global pertama-tama adalah menjaga kepercayaan dan menerima uluran persahabatan dari berbagai daerah di belahan bumi ini, sekaligus juga di saat bersamaan, berpikir untuk memajukan tempat di mana kita berpijak. Ini adalah tanggungjawab kita terhadap hidup ini.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Membangun kepercayaan itu butuh waktu bertahun-tahun. Tetapi, meruntuhkannya, hanya butuh waktu sekejap. Baik-baiklah melangkah, baik-baiklah membawa diri.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
21 Juni 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-19759894224873729662017-07-22T03:16:00.000-07:002017-07-22T03:16:10.303-07:00Setiap orang punya waktunya masing-masing<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Entah mengapa, manusia senang menyekat-nyekat fase hidup seseorang dengan melihat usianya dan jika seseorang sudah melampaui usia tertentu padahal diharapkan sudah mencapai satu tahap di usia tertentu itu dan yang bersangkutan belum mencapainya, maka orang itu dianggap agak aneh atau jadi bahan omongan karena hidupnya "tidak biasa".</div>
<div class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px;">
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px;">
Misalnya, menikah. Perempuan kalau sudah lewat 30 tahun dan belum ada tanda-tanda akan menikah, seringnya ditanya-tanya oleh orang-orang di sekitarnya.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Kok belum ada calonnya sih?"<br />"Kapan nyusul nih? Kok adiknya udah duluan?"</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Laki-laki, kalau kelamaan nganggur atau sudah berkeluarga dan belum dapat kerja, juga jadi bahan untuk ditanya-tanya.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Sekarang ngapain?"<br />"Kok belum dapat kerja sih?"<br />"Kok ngga dapat-dapat kerja? Buka usaha aja kali, Ito..." (Ito: abang dalam Bahasa Batak)</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kalau agak anti mainstream udah ibu-ibu tapi kuliah lagi, di luar negeri pula, maka ngga jarang pertanyaan kayak gini akan muncul.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Kok kuliah lagi sih?"<br />"Kok ninggalin anak dan suaminya sih?"<br />"Nanti suaminya di sana ngapain?"<br />"Ingat umur lho, udah ngga muda lagi."</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Pertanyaan-pertanyaan di atas sih pertanyaan-pertanyaan yang saya terima ketika memutuskan untuk kuliah lagi.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Padahal ya, fase hidup masing-masing orang itu berbeda-beda. Ada seribu orang, berarti ada seribu cerita kehidupan. Lalu, kita ini semua punya kecenderungan ingin menyempitkan cerita-cerita itu menjadi hanya satu cerita saja: lulus kuliah umur sekian, mulai bekerja umur sekian, menikah umur sekian, punya anak umur sekian, punya rumah sendiri umur sekian. Padahal, hidup seseorang itu tidak selancar itu. Ada yang menikah muda baru lanjut kuliah lagi. Ada yang sudah punya anak dan berhenti bekerja, lalu ketika anaknya besar bekerja lagi. Ada yang kerjanya sudah bagus tapi kemudian dipecat dan butuh waktu lama untuk bekerja lagi. Ada yang nikahnya lambat karena berbagai faktor. Ada banyak cerita yang bervariasi dalam hidup setiap dari kita.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Setiap orang punya waktunya masing-masing. Mari lebarkan kisah, jangan hanya menyempitkan cerita menjadi satu naratif saja. Waktu kita bukan waktu orang lain. Cerita kita berbeda dengan cerita orang lain. Tidak ada cerita yang paling bagus, paling hebat, paling luar biasa. Bagus tidaknya sejarah hidup seseorang itu bukan tergantung standar masyarakat, tapi tergantung masing-masing orang yang menjalaninya. Dan setiap kisah itu bukan untuk dipertandingkan, karena masing-masing orang sudah punya pertandingan, perjuangan, dan jalannya sendiri, dan ia pertama-tama bertanding melawan dirinya sendiri, bukan melawan orang lain.</div>
<div style="font-family: inherit; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
19 Juni 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-83886132483831734082017-07-22T03:15:00.000-07:002017-07-22T03:15:08.491-07:00Naik level<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sebenarnya saya bukan orang yang suka-suka amat naik wahana mengerikan di amusement park seperti jet coaster tinggi banget yang lihatnya aja bikin stress.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tapi, jika sedang berkunjung ke amusement park, biar saya takut, saya sengaja naik wahana seram itu. Tentu saja setelah mempertimbangkan faktor keamanan dan kesehatan, karena kalau "tidak amannya" sudah tidak masuk akal, ya saya tidak mau naik.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Ngapain kurang kerjaan amat, ibu-ibu sengaja naik wahana seram? Ya sebenarnya sih ini lebih kepada latihan saya melawan ketakutan sendiri. Jangan dikira saya ngga takut. Kalau sudah naik wahana seram gini, menurut suami saya, teriakan saya paling kencang dan belum juga wahana mulai bergerak, saya sudah teriak-teriak. Ya kaliiiii ibu-ibu nyaris 40 tahun naik jet coaster, bukan karena mau nemanin anak tapi karena emang "cari gara-gara" demi melawan ketakutan diri sendiri, sengaja naik wahana yang sebenarnya bikin kaki lemas, mengingat saya ini sebenarnya bukan orang yang suka naik mainan seram.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tapi memang dalam hidup ini, kita harus melakukan sesuatu yang susah, yang kita anggap tidak mungkin untuk dapat kita lakukan. Tujuannya demi menaikkan level diri sendiri. Sewaktu kuliah di Jepang, saya disuruh Prof baca majalah-majalah Jepang jaman dulu yang tulisan kanjinya itu kanji kuno yang lihatnya aja bikin stress. Tapi beliau bilang, kalau sudah bisa baca 200an kanji kuno, ke depannya gampang, karena sudah tahu celah-celahnya. Saya awalnya tidak percaya, tapi karena tuntutan studi, ya saya baca juga meski otak saya kayak langsung di tempat fitness gitu, diperas tiada henti. Tapi setelah baca beberapa majalah, lama-lama mulai ketemu polanya, dan teori 200an kanji itu saya buktikan benar adanya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Masih tentang pengalaman saat studi juga, saya disuruh baca completed work pengarang yang saya teliti. Ada 16 volume dan pengarang ini bukan pengarang jaman kontemporer, jadi bahasanya jauh lebih sulit daripada bahasa Jepang yang selama ini saya pelajari. Tapi kata Prof, mending belajar yang susah sekalian, yang ngga gampang, yang melampaui kemampuan kamu, karena sekali kamu bisa menaklukkan kesulitan ini, ini akan jadi modal kepercayaan diri dan harta kamu seumur hidup. Karena saya percaya pada beliau, mengingat beliau sudah berpengalaman, dan saya tahu tujuannya baik, yaitu demi kemajuan saya, maka meski sulit, saya ikuti kata-kata beliau.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Suatu hari, beliau meminjamkan sebuah novel karya pengarang Jepang kontemporer pada saya yang masih ada hubungan dengan tema penelitian saya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Nih, baca. Karena tiap hari sudah baca Enchi (pengarang yang saya teliti), pasti sekarang sudah bisa baca novel ini dengan gampang tanpa kamus."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Karena saya tiap hari bacanya novel-novel karya Enchi Fumiko yang saya teliti ini sampai saya muak,saya memang tidak sempat baca karya pengarang lain. Saya sebenarnya tidak begitu percaya kata-kata beliau, tapi namanya murid disuruh guru, apalagi di Jepang yang hubungan guru dan murid itu sudah seperti master kungfu terhadap muridnya, benar-benar satu guru kepada satu murid, ya saya ikuti kata-kata beliau. Kalau memang ada orang yang tulus mau mengeluarkan yang terbaik dari kita meski caranya menyakitkan, ya mesti disambut dengan sukacita kan?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Akhirnya saya baca novel pengarang Jepang kontemporer itu dan ternyata saya bisa baca tanpa lihat kamus. Tidak sia-sia saya melakukan "training diri" dengan baca karya-karya Enchi Fumiko setiap hari, sampai kadang saya mau nangis saking muaknya, tapi ternyata segala kemuakan dan kelelahan itu terbayar dengan naiknya level kemampuan yang tentunya akan jadi harta berharga seumur hidup.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Menaikkan level diri sendiri itu memang tidak mudah. Kita harus sengaja melakukan hal-hal sulit yang melebihi kemampuan kita. Secara sadar menghadapkan diri pada kesulitan memang tidak enak, tapi tidak enaknya itu lebih dari sepadan dibanding hasil yang pada akhirnya akan kita terima. Prosesnya memang lama dan harus sabar menjalaninya, tapi justru dari proses yang tidak instant itu, tanpa kita sadari, keringat, tangisan, kemuakan, daya upaya yang kita keluarkan itu sedikit demi sedikit, perlahan tapi pasti, akan berubah menjadi harta abadi berupa karakter, kemampuan, pengalaman, dan cerita yang abadi tertanam dalam diri kita.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Dan yang dapat menaikkan level diri sendiri itu hanya diri kita sendiri. Orang lain tidak akan bisa. Ini tanggung jawab kita pada hidup. Karena hidup itu seharusnya hari demi hari semakin menuju ke arah yang lebih baik, secara perlahan dalam usaha yang terus berkesinambungan tanpa henti.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Menaikkan level diri sendiri itu adalah proses seumur hidup. Pace waktunya berbeda-beda untuk setiap orang. Saya sendiri termasuk orang yang butuh waktu lama untuk naik level, tapi saya jalani saja meski kemajuan untuk saya bukan hal yang mudah saya dapatkan. Saat ini saya sedang berusaha menaikkan level diri sendiri untuk presentasi akademik dan menulis paper dalam bahasa Inggris. Selama ini saya ditraining dalam bahasa Jepang, sehingga mengerjakan urusan akademik dalam bahasa Inggris itu bukan hal mudah untuk saya. Tapi saya sadar saya harus menaikkan level kemampuan saya ini, karena itu adalah bentuk tanggung jawab dan syukur saya kepada hidup dan kepada Yang Memberi Kehidupan.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jika kita semua berusaha untuk setiap hari semakin baik dalam menata hidup, maka dunia ini tentu akan semakin banyak dipenuhi orang-orang berkualitas yang dapat memberi perubahan positif di tengah-tengah masyarakat yang carut marut tiada habisnya ini.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
18 Juni 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-64976606065633054722017-07-22T03:14:00.000-07:002017-07-22T03:14:03.122-07:00Ruang untuk berbagi<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Selama mengikuti kegiatan #nulisrandom2017 ini, salah satu hal yang membuat hati saya senang adalah jika saya mendapat respon positif berupa komentar yang ditulis oleh para pembaca sekalian. Dari semua respon positif itu, saya sangat senang jika tulisan saya menjadi sarana bagi pembaca untuk mengidentifikasi diri, berdialog dengan diri, bahkan kemudian, mendorong pembaca untuk membagikan juga pengalamannya di kolom komentar.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Consciousness raising" atau "mengangkat, menumbuhkan kesadaran" adalah sikap dasar saya dalam menulis. Jika kita melihat sejarah gerakan perempuan, pada gerakan feminisme gelombang kedua tahun 1960an akhir di Amerika, beberapa tokoh feminis mencanangkan program Consciousness Raising (CR). Inti dari program ini adalah meningkatkan kesadaran para perempuan bahwa masalah yang ia hadapi di dalam rumah tangga, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, marital rape, konflik batin antara ingin bekerja dan kewajiban mengurus rumah tangga, semuanya itu bukan masalah yang bersifat pribadi yang harus disimpan sendiri, tetapi masalah-masalah di atas merupakan bagian dari sebuah opresi yang tersistem di dalam masyarakat patriarki.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kegiatan CR diadakan secara sederhana dalam kelompok-kelompok kecil, di rumah-rumah masing-masih anggota kelompok yang dilakukan secara bergiliran. Beberapa perempuan membentuk kelompok-kelompok kecil, dan di dalam kelompok-kelompok ini, para perempuan saling menceritakan masalah mereka yang selama ini selalu mereka pendam karena mereka menganggap masalah yang mereka hadapi adalah masalah pribadi yang tidak boleh dibagikan kepada siapapun, dan norma dominan tidak memberi legitimasi bahwa masalah perempuan adalah masalah yang layak untuk dibahas dan dengan semena-mena memberi label "remeh" pada masalah-masalah seperti lelah mengurus anak, ingin menunda kehamilan, ingin punya kegiatan lain selain mengurus rumah tangga, lelah tiap hari harus melayani anak dan suami, dan sebagainya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Melalui berbagi persoalan di kelompok CR, para perempuan ini mulai terangkat kesadarannya, mulai menyadari bahwa diri mereka diopresi, bahwa ada harapan untuk mengubah nasib. Dengan rutin hadir dalam kelompok CR, para perempuan ini juga secara mental tentu akan lebih sehat karena ada teman untuk berbagi dan mencurahkan perasaan.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sekalipun saya dan teman-teman yang membaca tulisan saya tidak bertemu langsung di suatu tempat, tetapi sebenarnya kita sedang melakukan consciousness raising. Saya melempar sebuah isu yang biasanya saya kemas dalam nada reflektif dan dirangkum lewat pengalaman personal saya, dan teman-teman yang membaca menanggapi, dengan memberi like atau ikut bersuara melalui kolom komentar, entah itu membagikan pengalaman pribadi yang mirip dengan yang saya tulis atau memberikan pendapat. Lalu terjadi dialog, pertama-tama dengan diri sendiri, lalu dengan orang lain. Dan yang sangat saya harapkan, setelah kita berbagi pengalaman ini, semoga kita mendapatkan suntikan semangat untuk menjalani kehidupan di dunia nyata, mengingat bahwa di tempat lain pun begitu banyak orang yang berjuang, sama seperti kita.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sekalipun masalah yang kita hadapi tidak lantas menjadi lebih ringan, tetapi hanya dengan mengetahui bahwa orang lain juga mengalami atau pernah mengalami hal yang sama, sudah cukup memberikan suntikan semangat untuk kita. Sekalipun realita tidak bertambah ringan, setidaknya beban hati agak berkurang.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Di tengah hiruk pikuk dunia yang ritmenya terasa sangat cepat, kita sungguh perlu mencari, bahkan menciptakan ruang untuk berbagi. Orang yang tidak pernah berbagi kisah atau masalahnya, akan kewalahan mengolah stress karena semuanya ia pendam sendiri. Memang ada kalanya "silence is golden", tapi hal ini tidak berlaku mutlak untuk setiap masalah. Bungkam, atau dibungkam, kadang dapat berpotensi sebagai penghilang jiwa, pembunuh kesadaran, penyebab utama kelelahan batin.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kita bertanggungjawab atas kesehatan lahir batin kita sendiri. Karena itu, mari berbagi dan ciptakan ruang untuk berbagi!</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
14 Juni 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-81380140855884757632017-06-12T15:36:00.001-07:002017-06-12T15:36:44.749-07:00Menjadi ibu, senangkah?<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tulisan ini terinspirasi dari salah satu komentar pada tulisan saya sebelumnya. Selama mengikuti rangkaian kegiatan #nulisrandom2017 ini, saya menulis berdasarkan kata hati saja. Apa yang ingin saya tulis, itu yang saya tulis. Demikian juga halnya ketika saya membaca komentar tentang capeknya jadi ibu. Saya jadi tergelitik untuk mengupas hal ini lebih dalam.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Dalam bukunya yang menjadi salah satu dasar gerakan feminisme gelombang 2 di Amerika, yaitu "Feminine Mystique", Betty Friedan menyebut masalah depresi, kekosongan, ketidakbahagiaan yang dialami perempuan kulit putih yang tinggal di pinggiran kota, sebagai "a problem that has no name" atau "masalah yang tak mempunyai nama". Jadi, pada masa itu, perempuan dianggap pasti bahagia, pasti bersukacita, pasti batinnya puas, jika ia menjadi ibu dan istri. Perempuan-perempuan kulit putih yang diwawancarai oleh Betty Friedan ini adalah perempuan-perempuan yang secara materi berkecukupan karena suaminya punya pekerjaan bagus. Masyarakat menjadikan perempuan-perempuan ini sebagai role model kebahagiaan sejati wanita. Materi cukup, status mulia sebagai istri dan ibu, ratu dapur, dicintai anak dan suami. Kurang apalagi? Tetapi ternyata Friedan menemukan perempuan-perempuan ini tidak bahagia. Mereka merasa kosong, depresi, galau. Sering mereka diam-diam menangis dan minum anggur ketika anak-anak mereka pergi sekolah. Mereka merasa sesuatu tidak beres dengan mereka, tapi mereka tidak berani mengakui mereka punya masalah. Mereka bahkan merasa mereka salah karena mereka tidak bahagia dengan kehidupan yang konon dimitoskan sebagai kehidupan sempurna dambaan setiap perempuan Amerika saat itu. Tapi melalui wawancara demi wawancara oleh Betty Friedan, kebenaran itu terkuak. Kebenaran bahwa perempuan-perempuan ini tidak bahagia hidup dalam mitos bahagia versi masyarakat patriarki di Amerika setelah Perang Dunia 2 berakhir, yaitu mitos bahagia menjadi ibu dan istri dari seorang laki-laki yang cukup mapan. Sampai-sampai, masalah depresi mereka tidak diakui sebagai masalah, dianggap masalah konyol, cemen, tidak ada artinya, dibanding masalah-masalah seperti masalah kenegaraan, politik, ekonomi.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Lebih dari setengah abad setelah Betty Friedan menemukan istilah "A problem that has no name", tetapi hingga hari ini, fenomena "masalah tak bernama" ini masih kita temui dalam hidup sehari-hari perempuan, spesifiknya kali ini yang mau saya bahas adalah perempuan yang adalah ibu.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sebelum benar-benar menjadi ibu, kita, perempuan, terus menerus mendengar kisah demi kisah bahwa menjadi ibu itu adalah kebahagiaan sejati dan terbesar seorang perempuan. Bukan hanya mendengar cerita-cerita dari orang-orang di sekitar kita, tetapi juga kita melihat melalui role model di dunia iklan, majalah, film, drama TV mengenai sosok seorang ibu yang wajahnya selalu penuh sukacita dalam mengasuh anak. Masa-masa hamil cantik, melahirkan cantik, dan mengasuh anak secara cantik. Membuat kita yang belum mengalami hal tersebut menjadi tidak sabar ingin mengalami kebahagiaan sejati bersama buah hati.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Mengingat saya memang orang yang sejak dulu selalu mempertanyakan segala sesuatu, saya diam-diam sudah curiga dengan iklan-iklan cantik tentang ibu yang hamil atau mengasuh batita. Saya pikir, masa iya calon ibu bisa tetap cantik di saat sedang kepayahan muntah-muntah morning sickness. Saya pikir, masa iya ibu tetap bisa senyum bahagia jika ia tidak tidur semalaman karena anaknya segar bugar di malam hari.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Kecurigaan" saya ternyata benar. Selama hamil, saya sangat jauh dari kata cantik. Mana nih kulit bersinar? Yang ada kulit saya makin kusam. Dan entah karena pengaruh hormon atau apa, badan saya menjadi lebih bau daripada biasanya. Setiap malam saya mengeluarkan banyak keringat padahal sudah tidur di ruang ber-AC. Benar-benar aneh.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Semakin hari beban di perut semakin berat, saya semakin lelah, tetapi saya tidak diberi ruang untuk boleh mengeluh. Kalau tampang saya tidak bersukacita, saya biasanya dibilang ngga boleh bete, ntar anaknya bisa ngerasa, jangan stress, nanti anaknya ikutan stress. Mengerti sih yang mereka semua bilang, tapi kok ya ngga ada yang mengerti isi hati saya? Bahkan menyebut diri ini lelah pun seperti tidak diperkenankan.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Lalu anak saya lahir. Saya harus mengakui bahwa bertemu dengan anak saya untuk pertama kalinya adalah pertemuan terindah untuk saya. Saya langsung menangis bahagia begitu Joanna lahir. Bayi besar ini (bukan bayi kecil karena anak ini emang beneran besar dari lahir) betul-betul anak saya. Jadi, gambaran dasarnya atau bottom line-nya memang benar: menjadi ibu itu memang membuat hati sukacita.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tetapi, dalam kesehariannya, bahagia itu tidak selalu menyertai. Dalam malam-malam kelam saat payudara saya sakit dan bengkak plus saya demam karena ASI macet pada tiga hari pertama, kejengkelan melingkupi hati saya. Di malam-malam panjang saat saya harus menyusui Joanna dan dilanjutkan dengan dia rewel jika saya mencoba tidur, saya meradang melihat suami saya tidur nyenyak dan saya sungguh ingin memindahkan payudara saya ke dadanya agar dia gantian menyusui dan saya tidur. Tidak jarang saya membangunkan suami saya agar dia ikut begadang, intinya harus senasib dia ngga tidur juga. Pada masa-masa newborn saat Joanna sakit dan semalaman dia harus tidur dengan menyusu pada saya, dan jika saya tinggalkan sebentar ia akan menangis kencang, sementara saya juga terserang diare dan lima menit sekali saya ke kamar mandi, saya menyusui sambil menangis jengkel dan kesal dan berteriak dalam hati, "Tuhan, impian saya ini mau sekolah di Jepang, bukannya terperangkap dalam diare dan menyusui dalam saat bersamaan dan satu malaman!"</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Namun, di hari-hari sengsara itu, saya seolah-olah "dipaksa" untuk tetap merasa oke, baik-baik saja, bahagia, tidak ada masalah, dengan berbagai macam ungkapan dari sekitar seperti:</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Ntar anaknya cepat gede, ngga kerasa lho, jadi begadangnya harus dinikmati."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Dinikmatin aja masa-masa sekarang."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Senang ya punya mainan baru, tiap hari ada aja ya kebisaan barunya."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Ibunya harus happy terus dong ya biar anaknya happy juga."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jika saya nekat bilang, "Saya capek, saya ngga merasa senang menyusui tengah malam, saya ingin tidur", pasti yang ada saya dipandang aneh dan sebelum saya mengeluh lebih lanjut, saya sudah dibungkam. "Eh jangan ngomong gitu! Harus bersyukur punya anak!" Ya, karena persoalan yang saya hadapi adalah persoalan tanpa nama, maka begitu saya mencoba memberinya nama, langsung ada usaha untuk mematahkannya, karena suara saya bukan representasi norma patriarki yang berterima di dalam masyarakat.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya hanya ingin kita semua lebih bersimpati dan memahami para ibu, terutama ibu baru. Saya ngga hiperbola jika saya bilang, menjadi ibu itu "life changing experience." Beautiful yet stressful, happy but sad in the same time. Semua perasaan campur aduk, dan keadaan jadi makin runyam karena di satu sisi kita dikondisikan harus bahagia terus, tapi di sisi lain, kita tidak dapat menampik bahwa kita lelah, stress, capek, dan rindu kebebasan masa lajang.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Ibu itu bukan sosok malaikat yang sempurna, yang selalu siap mengalah, yang bahagia dapat berkorban setiap saat. Bukan. Ibu itu manusia biasa, seorang perempuan dengan segala emosinya. Kadang dia senang, kadang dia sedih. Kadang dia marah, kadang dia lembut hati. Membungkam suara-suara kemarahan seorang ibu berarti tidak mengakui ibu sebagai manusia utuh dengan emosi lengkapnya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sekarang bayangkan, seorang perempuan, mulai dari dia hamil, sudah mengalami perubahan pada tubuhnya. Emangnya saya ngga serem, 9 bulan bawa-bawa makhluk hidup di dalam perut? Setelah melahirkan, ritme hidup pun berubah. Harus ngikutin jadwal anak. Iya memang pada akhirnya kita bisa menyesuaikan diri, tapi itu semua butuh waktu. Butuh proses, tidak bisa instant. Herannya, tidak sedikit dari antara kita yang menganggap ibu itu manusia sakti. Stress free, anger free,dan selalu penuh sukacita karena sumber bahagianya sudah nyata: anak. Just give us time to breath, just give us a break!</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kita, perempuan, harus bersuara, harus memberi nama pada "a problem that has no name". Jangan bungkam dan jangan mau dibungkam. Menjadi ibu itu adalah bahagia dan sedih di saat bersamaan, senang dan susah di dalam satu sejarah kehidupan. Bukan hanya bahagia, bukan hanya sedih. Menjadi ibu adalah merasakan sukacita dan rasa marah secara bersamaan, di dalam satu dasar yang kuat, yang kita namai: cinta tak bersyarat.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
12 Juni 2017<br />
Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-27623766790035369022017-06-12T15:35:00.002-07:002017-06-12T15:35:29.456-07:00"Anak sumber kebahagiaan?"<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Di dalam masyarakat kita yang masih bergerak, berjalan menurut norma patriarki, anak dianggap sebagai pemenuhan kebutuhan batin sejati dari seorang perempuan. Setelah menikah, saya juga sangat sering menerima komentar dari kanan kiri, berupa :</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Kapan punya anak? Jangan ditunda-tunda ya."<br />"Udah hamil? Cepetan tuh, papa mamanya udah pengen gendong cucu." (Padahal Papa Mama saya satu kalipun tidak pernah mendesak saya untuk buru-buru punya anak, karena mereka emang orang-orang level tinggi yang sangat menghormati kebebasan individu dan paham betul, namanya punya anak, pertama-tama harus timbul niat mulia dari yang bersangkutan).</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Herannya, suami saya jarang dapat pertanyaan seputar anak. Hanya saya saja yang dibombardir pertanyaan seputar kehamilan dan punya anak.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Setelah menikah, saya dan suami memang sengaja menunda dulu untuk punya anak. Alasan pribadi dari saya, saya merasa belum siap dengan perubahan mendadak, dari lajang menjadi istri, terus tahu-tahu harus langsung jadi ibu. Apalagi karakter saya yang jauh dari sifat-sifat legowo, nrimo, pasrah, penurut, pengalah ini, membuat saya banyak mengalami konflik batin, karena menurut saya, kebebasan masa lajang itu memang sesuatu yang tidak akan mungkin lagi kita dapatkan setelah menikah dan saya ini kan pada dasarnya memang menyukai kesendirian dan selalu butuh ruang untuk diri sendiri.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kurang lebih hampir satu tahun menunda punya anak, akhirnya suatu hari, wangsit ingin punya anak itu muncul di hati saya. Bulan September 2006 saya hamil, tepat satu tahun setela.h saya menikah, dan bulan Juni 2007, anak saya lahir.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Selama satu tahun pertama pernikahan dari September 2005-September 2006, banyak komentar seputar hamil dan punya anak yang ditujukan untuk saya, dan sekalipun saat itu saya sebenarnya bukan orang yang hancur-hancur amat dalam hidup ini, artinya saya punya pekerjaan, sedang kuliah S2, sudah pernah merasakah studi di Jepang selama satu tahun, punya kemampuan....tapi tetap saja, dunia menganggap hidup saya ini tidak lengkap, kurang bahagia, kurang ada prestasi, karena......status saya sebagai perempuan yang sudah berkeluarga ini tidak segera diikuti dengan kehamilan demi melahirkan seorang manusia. Seolah-olah segala macam pencapaian pernah studi di Jepang, lulus ujian kemampuan bahasa Jepang, punya pekerjaan, sedang studi S2 itu asli tidak ada artinya, karena saya belum hamil. Seolah-olah hamil itu sebuah pencapaian, sebuah prestasi, sesuatu yang harus ada untuk setiap perempuan yang telah menikah (di Indonesia ini).</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Lalu anak saya lahir dan tentu saja, saya sangat mencintainya. Tetapi, mohon jangan salah dulu mengartikan cinta pada anak ini. Cinta pada anak tidak serta merta diikuti dengan siap mengalah dan siap nrimo segala hal demi anak. Cinta pada anak untuk saya, tidak serta merta diikuti dengan siap mengorbankan cita-cita pribadi dan melupakan diri saya sebagai Rouli dan cukup puas hanya dengan satu gelar "Mama Joanna".</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Mungkin ada ibu yang begitu anaknya lahir, langsung tenggelam dalam kasih bersama buah hati dan merasa amat sangat bahagia karenanya. Untuk saya, tidak seperti itu. Jujur, masa-masa anak saya newborn, itu sangat melelahkan untuk saya, dan dibanding bahagianya, menurut saya pribadi, lebih banyak melelahkan dan capek hatinya. Di masa-masa wajah saya muram karena enam bulan pertama saya tidak pernah tidur beneran (karena anak saya ini jadwal ngajak mainnya ngga kenal kompromi, biasanya dia mulai on itu jam 2 sampai 6 pagi), lagi-lagi banyak yang berkomentar,</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
"Gini nikmatnya punya anak. Dinikmati aja, nanti anak cepat besar lho."<br />"Namanya jadi ibu, ya mesti sabar dong. Dinikmati begadang-begadangnya."<br />"Pulang kerja begitu lihat anak, capeknya pasti hilang kan? Itulah anak ya, kita jadi semangat terus tiap hari."</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sambil mendengarkan komentar-komentar tersebut, saya sambil berujar dalam hati, "Kok yang orang-orang ini bilang ke saya ngga saya rasakan ya?"</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sejujurnya, kalau pulang kerja lihat anak, saya bukannya capeknya hilang, malah makin capek, membayangkan nanti malam hingga pagi harus begadang. Sejujurnya juga, saya tidak dapat menemukan kenikmatan dari setengah tahun tidak tidur beneran. Sejujurnya juga, saya tidak mengerti bagaimana caranya menemukan kenikmatan dalam begadang.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tapi, seolah-olah suara hati saya dibungkam sebelum bahkan sempat saya lontarkan. Saya lama-lama jadi berpikir bahwa saya yang salah karena saya tidak bahagia benar-benar dalam menjadi ibu dan banyak kesal-kesalnya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Seiring dengan anak saya bertambah besar, memang kelelahan fisik dalam mengurusnya juga jadi semakin berkurang. Saya pun hari demi hari mulai menemukan satu demi satu kebahagiaan bersama anak. Hari ini, anak saya hampir berusia 10 tahun, dan saya dapat mengatakan dalam hati, bahwa diberi anugerah untuk mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak saya, adalah salah satu hal terbaik dalam hidup ini.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tetapi, apakah kemudian kita dapat berkata bahwa anak adalah satu-satunya sumber kebahagiaan untuk perempuan?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Menurut saya, tidak demikian. Ada perempuan yang memang ingin dan dilahirkan untuk menjadi ibu, tetapi ada juga perempuan-perempuan, yang karena berbagai alasan, tidak menjadi ibu. Untuk perempuan-perempuan ini, kita tidak berhak dan tidak boleh menghakimi bahwa mereka tidak bahagia, mereka tidak sempurna, mereka aneh, atau merasa "kasihan" karena mereka tidak punya anak.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya sendiri mengakui dengan jujur, bahwa saya memang bahagia dapat bersama-sama dengan anak saya dan menghabiskan waktu dengannya, tetapi jika hidup saya satu hari penuh "hanya" dengan anak saya dan saya tidak punya kegiatan lain, saya tidak dapat merasa bahagia dan puas batin. Itu sebabnya, secara sadar saya mengambil keputusan untuk sekolah lagi, untuk mendalami ilmu yang saya cintai, lalu memutuskan untuk menjadi akademisi, untuk mengajar, bertemu orang lain, membagi ilmu, menulis paper, melakukan presentasi akademik. Mungkin ada yang melihat saya sebagai orang yang "aneh", ngapain sih saya sampai sebegitunya niat memperjuangkan hal-hal ini, kayaknya nyari repot dan susah saja, tapi itulah saya. Dalam mencari repot dan susah itu, justru saya merasa diri saya lengkap, satu sisi lain dari diri saya, yang tidak dapat dipenuhi oleh aspek berkeluarga. Dan menurut saya, kebahagiaan versi saya itu adalah jika saya dapat berada di tengah-tengah keluarga sebagai ibu dan istri, sekaligus juga dapat aktualisasi diri sebagai pribadi dengan menjadi seorang pengajar dan peneliti. Dua hal itu menurut saya sama pentingnya, dan saya adalah diri saya seutuhnya jika kedua hal itu sudah terpenuhi.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jadi, apakah anak itu sumber kebahagiaan bagi perempuan? Jawabannya, tergantung pada masing-masing orang. Karena, kebahagiaan itu multi tafsir dan multi definisi, dan membaca kebahagiaan hanya melalui kerangka memiliki anak, saya rasa terlalu sempit dan berpotensi membungkam kebahagiaan versi lain dari berbagai macam perempuan di muka bumi ini dengan sejarah kisah hidupnya masing-masing.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
11 Juni 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-13832575488635980062017-06-10T02:25:00.001-07:002017-06-10T02:25:07.005-07:00Perempuan, jangan matikan diri!<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Menyelesaikan pendidikan tinggi sampai jenjang pascasarjana memang salah satu cita-cita saya. Alasannya lebih ke arah praktis: saya memutuskan untuk menjadi dosen, berarti wajar jika saya harus menempuh pendidikan pascasarjana. Kalau saya tidak mengisi diri dengan ilmu semaksimal mungkin, kasihan mahasiswa-mahasiswa saya kelak, tidak ada yang dapat saya bagikan atau kalaupun ada, yang saya bagikan itu dangkal dan sempit, sehingga tujuan pendidikan tinggi (menurut saya) yaitu membentuk manusia yang mampu berpikir kritis, kreatif, reflektif dan punya kepribadian kuat tidak dapat tercapai.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya amati, lebih sulit untuk perempuan menempuh pendidikan tinggi dibanding laki-laki, terutama perempuan yang sudah menikah. Kendala adalah fokus yang sudah bergeser, yaitu mengurus anak dan rumah tangga, hal yang menurut saya sangat baik, tetapi juga berpotensi tinggi memadamkan harapan untuk menggapai impian di luar ranah domestik.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Hidup memang harus dijalani dengan strategi-strategi kreatif dan kompromi sana sini tanpa mengorbankan hal-hal yang bersifat prinsip. Dengan melalui berbagai pertimbangan, akhirnya saya memutuskan untuk studi ke Jepang, saat anak saya masih belum genap berusia 2 tahun. Keluarga saya ikut hijrah ke Jepang dan dimulailah 6 tahun petualangan di negeri sakura.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Di permukaan terlihat sangat indah, keluarga mendukung studi saya. Tapi pada realitanya, hari demi hari itu sangat merepotkan. Waktu 24 jam itu tetap saja harus dibagi dengan mengurus anak dan rumah tangga, tidak bisa sepenuhnya sebagai mahasiswa "saja". Pahit menghadapi kenyataan, tapi di sisi lain tidak dapat protes, karena....siapa suruh kuliah lagi (di luar negeri pula) pada saat sudah berkeluarga?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Setidaknya, dari pengamatan saya, dunia memang belum bersahabat pada perempuan-perempuan berkeluarga yang punya niat mulia untuk sekolah di jenjang pascasarjana. Boleh sekolah, asal ingat kewajiban urus rumah. Boleh sekolah, asal jangan melupakan urusan urus anak. Boleh sekolah, asal tiap pagi masak dulu untuk seluruh keluarga. Boleh, tapi ada syaratnya. Berbeda dengan laki-laki, mereka sepertinya lebih mudah untuk menggapai impian sekolah lagi. Jika kasusnya seperti saya, yang sama-sama bawa keluarga, untuk mahasiswa laki-laki yang sudah berkeluarga, kelihatannya jauh lebih sederhana. Istri yang ikut langsung mengerjakan pekerjaan rumah dan urus anak. Suami tenang belajar di kampus. Berbeda dengan jika istri yang kuliah. Kuliah sih kuliah, tapi tetap multitasking dengan mengerjakan urusan domestik. Sering terbersit dalam benak saya ketika saya kuliah di Jepang tapi sedang berada di dapur, bukan di kampus: sebenarnya saya ke sini untuk kuliah atau pindah tempat masak, sih? (Padahal masaknya cuma manasin frozen food aja).</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Awalnya kesal sih pasti, tapi saya mengingatkan diri sendiri: jangan mau kalah dengan sistem patriarki! Sekalipun bertukar peran itu logikanya sangat mungkin untuk dilakukan, tapi internalisasi nilai-nilai patriarki di mana laki-laki berperan utama di ranah publik dan perempuan di ranah privat, sudah sangat kuat tertanam di dalam diri kita. Makanya, perempuan yang sudah menikah studi pascasarjana bawa keluarga itu lebih condong menuai komentar negatif daripada positif. Setidaknya itu yang saya alami. Tapi saya berprinsip: jangan kalah dengan sistem! Jangan menyerah dengan berbagai macam komentar. Jika kelak saya tua dan akhirnya pahit hati karena harapan saya tidak tercapai, apakah orang-orang yang berkomentar negatif, yang menganggap saya aneh, mau berperan dalam menyembuhkan luka hati saya? Ngga, kan?</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Akhirnya, saya menyelesaikan studi saya. Keluarga saya juga baik-baik saja. Malah saya merasa, pilar-pilar utama keluarga seperti saling membantu, kompromi, kerjasama, toleransi, diskusi dalam memecahkan persoalan, semuanya terbangun maksimal pada saat saya, suami, dan anak saya tinggal di Osaka selama 6 tahun.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Masing-masing dari diri kita harus mendefinisikan apa sebenarnya yang kita inginkan. Jika memang sepenuhnya ingin menjadi Ibu dan istri, silakan lanjutkan. Tapi jika ada harapan atau keinginan lain selain menjadi ibu dan istri, jangan padamkan suara hati itu. Jangan matikan diri sendiri. Karena, kita, perempuan, pertama-tama adalah diri sendiri, sebelum menjadi istri dan ibu. Jiwa yang kosong hanya akan berujung pada kepahitan hati, dan jika hati sudah pahit, hidup pun akan menjadi pahit, tidak peduli sebanyak apa materi yang kita miliki.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Ini pesan saya untuk sesama perempuan: jangan matikan diri!</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
Bogor, 9 Juni 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7120959010047394535.post-16779498481624795022017-06-10T02:24:00.000-07:002017-06-10T02:24:03.742-07:00Mengapa jengah pada perbedaan?<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tadi ada buka puasa bersama rekan-rekan kerja. Sambil buka puasa sambil bercakap-cakap. Salah satu topik pembicaraan adalah tentang dibully karena berbeda dari yang lain.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Ternyata saya dan satu dosen lagi, punya pengalaman dibully karena dulunya tinggal lumayan lama di Jepang. Saya dibully ketika masuk TK di Indonesia, beliau dibully saat masuk SD di Indonesia. Persoalannya sama: dibully karena tidak mengerti bahasa Indonesia.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya lahir di Kobe, Jepang, lalu tinggal di Shizuoka karena bapak saya studi di sana, selama 4 tahun pertama hidup saya. Saya pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia pada saat usia saya 4 tahun lebih sedikit dan langsung masuk salah satu TK.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kalau banyak anak punya kenangan indah ketika TK, tidak demikian dengan saya. Sebaliknya, saya punya banyak kenangan buruk. Mengapa? Karena saya dibully, saya dianggap aneh, saya ngga punya teman. Semuanya karena saya tidak bisa bahasa Indonesia.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya menangis sengsara dan sangat kesepian saat saya masih TK. Hingga hari ini saya ingat wajah anak-anak yang mengejek saya. Sayangnya, guru-guru TK saya juga tidak berbuat apa-apa, mereka diam saja. Akhirnya supaya dapat bertahan, saya mati-matian menggunakan bahasa Indonesia dan secara sadar berusaha melupakan bahasa Jepang saya. Saya anggap bahasa Jepang ini musuh saya, penyebab saya mendapat banyak kesulitan.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Masuk SD, bully pun mereda karena saya sudah bisa Bahasa Indonesia. Tapi, peristiwa di TK meninggalkan luka untuk saya: saya benci identitas Jepang saya. Saya berangan-angan seandainya kedua orang tua saya asli Indonesia, jadi saya tidak perlu mengalami hal seperti ini.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sekalipun masa SD saya cukup menyenangkan, tetap saya tidak menyukai identitas Jepang saya. Mengapa? Karena, setiap kali pelajaran Sejarah bagian masa kependudukan Jepang, saya pasti habis diejek. Saya diejek penjajah bangsa Indonesia oleh teman-teman saya. Memang bukan seluruh anak yang mengejek, tapi tetap saja, dibilang penjajah itu sangat tidak enak. Saya juga malu jika Mama ambil raport ke sekolah karena Mama saya tidak lancar berbahasa Indonesia dan saya pasti jadi ledekan karena punya Mama yang "berbeda" dengan mama yang lain.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya baru mulai dapat berdamai dengan identitas kejepangan saya setelah saya masuk SMP. Dan betul-betul sepenuhnya berdamai setelah lulus SMA dan kuliah di jurusan Sastra Jepang. Ironis, satu hal yang paling saya benci dahulu, yaitu bahasa Jepang, sekarang malah jadi sumber utama saya dalam mencari uang. Tanpa kemampuan bahasa Jepang, asli saya ini tidak mungkin menghasilkan uang.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saking membekasnya peristiwa saya dibully ketika TK, saya sangat takut ketika Joanna harus masuk SD Indonesia setelah 6 tahun tinggal di Jepang. Kondisinya persis seperti saya: dia sama sekali tidak lancar berbahasa Indonesia. Itulah sebabnya saya menerima tawaran bekerja di sekolah anak saya sekalipun tidak ada hubungannya dengan latar belakang pendidikan saya. Motif saya terutama adalah: saya harus jadi "orang dalam" di sekolah anak saya agar kalau terjadi kasus bully, saya gampang minta tolong dan komunikasi dengan pihak sekolah. Selain itu, saya ingin anak saya bisa merasa aman karena ada saya di gedung yang sama.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Syukurnya anak saya tidak mengalami bully. Memang kesulitan bahasa ada, tapi dia tidak dibully teman-teman sekelasnya. Dia juga hingga hari ini tidak anti bahasa Jepang dan saya usahakan dia terpapar bahasa Jepang setiap hari, melalui komik, anime, youtube. Sejauh ini anak saya tetap bisa berbicara bahasa Jepang, malah bangga bisa dua bahasa.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Saya harap tidak ada anak yang dibully karena dia berbeda. Mengapa sih kita sulit menerima sesuatu yang berbeda dengan kita? Mengapa kita jengah dengan perbedaan? Sepertinya dari kecil, kita harus dibiasakan dengan perbedaan, dan ditanamkan paham bahwa tidak sama dengan diri bukan berarti aneh, berbeda-beda itu wajar dan indah. Dan sekalipun di dalam sebuah kelompok masyarakat hanya ada satu orang yang tidak sama, entah itu tidak sama dalam hal SARA atau gender atau bahasa yang digunakan atau orientasi seksual atau yang bersangkutan mengalami disabilitas, tetap ia tidak layak dan tidak berhak dan tidak pantas untuk dibully, karena setiap orang tanpa terkecuali adalah manusia seutuhnya.</div>
<div style="background-color: white; color: #1d2129; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 14px; margin-top: 6px;">
Bogor, 8 Juni 2017<br />Rouli Esther Pasaribu</div>
rouliestherhttp://www.blogger.com/profile/11492885583432356352noreply@blogger.com0