"Maklum aja, dia orang kampung sih..."
"Kampung banget sih lu..."
"Belum masuk ya di tempat lu? Tempat lu kampung sih...."
"Kampung banget sih lu..."
"Belum masuk ya di tempat lu? Tempat lu kampung sih...."
Sering mendengar ungkapan seperti ini? Kalau kita mendengar kata "kampung", image rasanya lebih banyak yang negatif daripada positif. Terbelakang, ketinggalan jaman, tidak mengerti teknologi mutakhir, membosankan, sunyi, sepi, tidak ada listrik, apa-apa susah. Pendidikan rendah, bodoh, tidak mengerti apa-apa. Benar begitu?
Ijinkan saya menceritakan kisah yang mungkin dapat membuat kita tidak memarjinalkan kampung dan tidak menjadikan kota sebagai pusat.
Jadi, kakek saya dari Papa, namanya P.A. Pasaribu adalah "orang kampung" sejati. Beliau tinggal di Tarutung, Sumatera Utara bersama keluarganya. Pekerjaannya guru SMP, lalu jadi guru SMA dan akhirnya jadi kepala sekolah. Ngga pernah sekolah keluar negeri, ngga pernah tinggal di kota besar, kecuali setelah pensiun beliau pindah ke Medan. Tapi sebagian besar hidupnya dihabiskan di Tarutung.
Tapi kemudian, apakah beliau tidak maju atau tidak memajukan hidupnya? Kalau dari cerita-cerita yang saya dengar, beliau pemikirannya sangat progresif. Beliau ini selain bisa berbahasa Indonesia dan Batak, juga bisa bahasa Inggris dan Jerman. Orang kampung lho ini, orang kampung. Les di mana beliau? Ngga les. Ga ada tuh dulu yang namanya EF, ILP, LIA. Beliau belajar sendiri. Bahasa Jerman juga sama. Belajar sendiri. Memang beliau guru bahasa Inggris dan Jerman.
Papa saya bilang, kalau kakek saya itu bacaannya karya sastra karya Charles Dickens, sastrawan Inggris yang terkenal itu. Orang kampung lho ini, orang kampung. Orang kampung baca Charles Dickens di Tarutung. London dan Tarutung terpisah benua, jarak dan waktu. Tapi konon di daerah kecil di Tarutung sana, ada seorang laki-laki Batak yang menyelami pemikiran-pemikiran Charles Dickens.
Tahun 1970an, Papa saya studi di Jepang. Lalu satu waktu, beliau pulang kampung. Di bandara beliau dijemput bapaknya. Se panjang perjalanan dari bandara menuju rumah, apa yang dilakukan kakek saya? Beliau mengajak Papa saya berbicara dalam bahasa Inggris. Ini bukan sok-sok'an. Ini untuk mengetes Papa saya sudah layak jadi masyarakat internasional atau belum. Di penghujung percakapan, kakek saya bilang,
"Sekarang saya tenang. Kamu akan sukses, kamu sudah bisa jadi masyarakat internasional."
"Sekarang saya tenang. Kamu akan sukses, kamu sudah bisa jadi masyarakat internasional."
Ini orang kampung yang ngomong. Ngomong soal masyarakat internasional. Sekarang kita ribut-ribut soal globalisasi, soal go international dan sebagainya. Kakek saya yang dari Tarutung dan sekalipun tidak pernah ke luar negeri, sudah menyadari pentingnya menjadi bagian dari masyarakat internasional sejak tahun 1970an!
Pernah menyaksikan di jalan, ada mobil bagus banget, mahal pasti, tapi dia main salip dan serobot saja?
Pernah lihat orang yang gayanya sejuta, barangnya bermerek semua, tapi gampang aja buang sampah sembarangan?
Yang macam begini, mohon maaf, cuma tinggalnya aja di kota yang konon katanya simbol kemajuan, tapi kelakuannya sungguh terbelakang. Atribut mewah yang menempel sungguh bukan barometer kemajuan berpikir seseorang.
Lagipula, wacana kampung dan kota sebagai dua hal yang sepertinya bertolak belakang itu kan sebenarnya konstruksi budaya. Kota butuh "mengampungkan" kampung, agar ia dapat menonjol sebagai pihak yang unggul, yang dominan, yang "membimbing" kampung. Sementara sebenarnya, kemajuan itu bukan ditentukan dari di mana kita tinggal, tetapi lebih kepada didikan yang kita terima, lingkungan kita, apa yang kita baca, dengan siapa kita berdialog, dan pilihan kita untuk terpapar pada apa atau siapa.
Itu sebabnya, di sebuah desa di Tarutung sana, hadir kakek saya dengan pemikiran-pemikirannya yang progresif. Hidupnya diabdikan demi memajukan diri dan memajukan orang lain. Beliau banyak menerima kerabat untuk tinggal di rumahnya, biar bisa sekolah. Ini tinggal di kampung lho, tapi sadar pendidikan banget. Papa saya bilang, kalau bapaknya alias kakek saya, adalah sumber inspirasinya. Kakek saya tutup usia ketika saya masih kelas 5 SD dan saya tidak begitu mengenalnya secara pribadi, tetapi saya yakin, beliau orang hebat. Bukan karena harta yang dimilikinya (guru, di Tarutung pula, mau punya harta segimana sih?), tetapi karena pemikiran majunya yang melintasi jaman.
Mungkin di malam-malam sunyi di Tarutung, kakek saya tenggelam membaca novel Charles Dickens. Mungkin beliau mencatat kata-kata bahasa Inggris yang tidak beliau mengerti di novel itu dan mencari artinya di kamus. Mungkin beliau mengulang kosa kata bahasa Jerman yang sudah diketahuinya. Dan beliau disadarkan bahwa dunia sungguh luas, bukan hanya Batak, bukan hanya Tarutung.
Progresif itu milik semua orang. Yang mau memajukan dirinya sendiri dan memajukan orang lain. Ia cair, bisa digenggam oleh siapa saja yang mau berusaha menggenggamnya. Di mana pun kita berada, berapa pun usia kita, apapun status kita, progresif dapat menjadi milik. Jika kita mau meraihnya dan mengabadikannya dalam pikiran dan hati.
27 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu
Rouli Esther Pasaribu