Tiba juga saya di penghujung akhir #nulisrandom2017. Untuk yang belum tahu, mulai 1 Juni 2017, saya mengikuti tantangan menulis 30 hari yang diadakan oleh komunitas nulisbuku. Syaratnya, kita harus menulis selama 30 hari, secara berkelanjutan. Topik tulisan bebas, yang penting menulis.
Saya menulis apa saja yang saya pikirkan, yang menggelitik nurani saya. Biasanya saya menulis di kereta, dalam perjalanan pulang atau pergi Bogor-Depok. Dalam prakteknya, saya tidak dapat menulis setiap hari, karena pada bulan Juni, saya harus mengerjakan beberapa hal yang cukup menyita waktu, seperti deadline dua makalah dan menghadiri konferensi hampir selama satu minggu. Belum lagi setelah pulang dari konferensi, badan ngga fit sampai satu mingguan, kepala pusing dan badan lemas, mungkin saking padatnya acara selama satu mingguan itu.
Program #nulisrandom2017 mengharuskan kita untuk menulis rutin setiap hari, jadi seharusnya kalau kita taat aturan, kita akan menyelesaikan program ini tanggal 30 Juni 2017. Tetapi, untuk saya, tanggal 30 Juni 2017 saya belum menyelesaikan rangkaian 30 hari menulis saya. Lalu saya ngapain? Udahan? Berkecil hati?
Ngga, dong. Saya tetap komit menulis. Sudah menetapkan 30 hari menulis ya harus diselesaikan. Saya menikmati prosesnya. Saya senang proses menulis dan menuangkan pikiran yang saya lakukan. Saya senang tulisan saya dibaca teman-teman di FB dan bahkan ada beberapa yang baru saya kenal berkat mereka membaca postingan tulisan-tulisan saya. Saya paling senang jika apa yang saya tulis ternyata dirasakan juga oleh teman-teman yang membaca dan akhirnya terjalin dialog di kolom comments. Jadi semacam menciptakan ruang untuk berbagi.
Kebanyakan tulisan saya memang tentang perempuan dan masalah-masalah yang dianggap "bukan masalah". Betty Friedan menyebutnya "a problem that has no name". Ini mengacu kepada masalah-masalah perempuan dalam norma patriarki yang dianggap remeh dan ngga penting, yang saking dianggap bukan masalah, jadi "tidak layak" untuk disuarakan dan membuat yang bersangkutan malah merasa bersalah jika ia menyuarakan masalahnya itu. Misalnya saja, masalah capek urus anak, jengah ditanya soal pernikahan atau kapan hamil, dilema antara mengejar impian dan "kewajiban" mengurus rumah tangga. Saya sebenarnya tidak meniatkan tulisan saya akan banyak bertema tentang perempuan. Tapi karena hal-hal tersebut yang menggelitik hati saya, jadi hal-hal itu yang saya tulis.
Sebenarnya, saat sudah menginjak 30 Juni, saya bisa saja memutuskan untuk udahan. Tapi saya tidak mau. Saya kan sudah komit pada diri sendiri untuk merampungkan 30 tulisan. Waktu jangan menjadi penghalang. Jika tidak bisa sama ritmenya dengan yang lain, jangan patah arang, jangan merasa ketinggalan, selesaikan pelan-pelan sampai selesai.
Seperti itulah hidup. Peperangan utama kita adalah melawan diri sendiri, bukan melawan orang lain. Papa saya bilang bahwa orang yang berhasil dalam hidupnya adalah orang yang berani melawan dirinya sendiri. Melawan kemalasan, keputusasaan, ketakutan untuk gagal. Melawan ketidakberdayaan dan keengganan. Melawan keterburu-buruan dan keinginan untuk memaksakan segala sesuatu.
Hidup itu tidak selalu berjalan sesuai kemauan kita. Ada kalanya kita harus sabar menunggu. Ada kalanya kita harus tancap gas. Ada kalanya kita harus berjalan perlahan-lahan. Ada kalanya kita harus merangkak atau melangkah hanya dengan satu kaki. Apapun itu, jangan dilawan. Tetap ikuti dan jangan memaksakan diri. Tapi di saat bersamaan, tetap teguh hati memegang harapan dan impian. Pada akhirnya kita akan mencapai tujuan. Pasti.
Pada akhirnya, 30 tulisan saya ini rampung juga. Tidak secepat ritme "normal" memang. Tertinggal 22 hari. Nyaris dua kali lipat dari waktu yang seharusnya. Tapi yang penting selesai, bukan?
Demikian juga halnya dengan aspek kehidupan kita yang lain. Keluarga, karir, spiritualitas, menurunkan berat badan, studi, mengurus anak. Apapun itu. Setiap orang punya waktunya masing-masing.
Kecenderungan masyarakat kita adalah, apa-apa dinilai dengan mitos waktu. Kalau umur segini belum punya rumah, ada yang tidak beres. Kalau baru umur segini mulai kuliah, dibilangnya aneh. Kalau umur segini belum dapat kerja, dianggap pecundang. Kalau umur segini belum menikah, berarti dia dimarjinalkan. Dan sebagainya. Dan sebagainya.
Kita sendiri, pelaku kehidupan, yang harus mematahkan mitos itu. Bahwa waktu bukan batas. Umur bukan batas.
Membandingkan diri dengan orang lain hanya akan membawa kesia-siaan. Sebaliknya, membandingkan diri kita dengan diri sendiri di masa lalu dan punya visi mau jadi apakah kita di masa depan, akan menjadi penyemangat untuk kita hidup lebih baik dari hari ke hari. Bersainglah dengan diri sendiri, bukan dengan orang lain. Karena masing-masing orang punya perjuangannya sendiri-sendiri. Sirik-sirik lihat orang lain sukses itu biasa. Wajar. Tapi jangan akhirnya kesirikan itu membuat kita jadi bermuram durja merutuki hidup.
"Aserazu, tayumazu, yukkuri shikkari gambattekudasai." (Jangan terburu-buru, jangan terpelecok, tenang dan teguh, berjuanglah sepenuh hati).
The battle is yours, with yourself! Enjoy the process! And, let us live. Breath. Relax. And be joyful!
Bogor, 22 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu
Rouli Esther Pasaribu
PS: Terima kasih untuk semua yang sudah baca tulisan saya. #nulisrandom2017 sudah saya rampungkan. But, I won't stop writing. Never. Meminjam perkataan Rene Descartes, "cogito ergo sum" (saya berpikir, maka saya ada). Untuk saya, "saya menulis, maka saya ada." So, see you again, guys! Dalam tulisan berikutnya dan berikutnya dan berikutnya, selamanya!
No comments:
Post a Comment