Di dalam masyarakat kita yang masih bergerak, berjalan menurut norma patriarki, anak dianggap sebagai pemenuhan kebutuhan batin sejati dari seorang perempuan. Setelah menikah, saya juga sangat sering menerima komentar dari kanan kiri, berupa :
"Kapan punya anak? Jangan ditunda-tunda ya."
"Udah hamil? Cepetan tuh, papa mamanya udah pengen gendong cucu." (Padahal Papa Mama saya satu kalipun tidak pernah mendesak saya untuk buru-buru punya anak, karena mereka emang orang-orang level tinggi yang sangat menghormati kebebasan individu dan paham betul, namanya punya anak, pertama-tama harus timbul niat mulia dari yang bersangkutan).
"Udah hamil? Cepetan tuh, papa mamanya udah pengen gendong cucu." (Padahal Papa Mama saya satu kalipun tidak pernah mendesak saya untuk buru-buru punya anak, karena mereka emang orang-orang level tinggi yang sangat menghormati kebebasan individu dan paham betul, namanya punya anak, pertama-tama harus timbul niat mulia dari yang bersangkutan).
Herannya, suami saya jarang dapat pertanyaan seputar anak. Hanya saya saja yang dibombardir pertanyaan seputar kehamilan dan punya anak.
Setelah menikah, saya dan suami memang sengaja menunda dulu untuk punya anak. Alasan pribadi dari saya, saya merasa belum siap dengan perubahan mendadak, dari lajang menjadi istri, terus tahu-tahu harus langsung jadi ibu. Apalagi karakter saya yang jauh dari sifat-sifat legowo, nrimo, pasrah, penurut, pengalah ini, membuat saya banyak mengalami konflik batin, karena menurut saya, kebebasan masa lajang itu memang sesuatu yang tidak akan mungkin lagi kita dapatkan setelah menikah dan saya ini kan pada dasarnya memang menyukai kesendirian dan selalu butuh ruang untuk diri sendiri.
Kurang lebih hampir satu tahun menunda punya anak, akhirnya suatu hari, wangsit ingin punya anak itu muncul di hati saya. Bulan September 2006 saya hamil, tepat satu tahun setela.h saya menikah, dan bulan Juni 2007, anak saya lahir.
Selama satu tahun pertama pernikahan dari September 2005-September 2006, banyak komentar seputar hamil dan punya anak yang ditujukan untuk saya, dan sekalipun saat itu saya sebenarnya bukan orang yang hancur-hancur amat dalam hidup ini, artinya saya punya pekerjaan, sedang kuliah S2, sudah pernah merasakah studi di Jepang selama satu tahun, punya kemampuan....tapi tetap saja, dunia menganggap hidup saya ini tidak lengkap, kurang bahagia, kurang ada prestasi, karena......status saya sebagai perempuan yang sudah berkeluarga ini tidak segera diikuti dengan kehamilan demi melahirkan seorang manusia. Seolah-olah segala macam pencapaian pernah studi di Jepang, lulus ujian kemampuan bahasa Jepang, punya pekerjaan, sedang studi S2 itu asli tidak ada artinya, karena saya belum hamil. Seolah-olah hamil itu sebuah pencapaian, sebuah prestasi, sesuatu yang harus ada untuk setiap perempuan yang telah menikah (di Indonesia ini).
Lalu anak saya lahir dan tentu saja, saya sangat mencintainya. Tetapi, mohon jangan salah dulu mengartikan cinta pada anak ini. Cinta pada anak tidak serta merta diikuti dengan siap mengalah dan siap nrimo segala hal demi anak. Cinta pada anak untuk saya, tidak serta merta diikuti dengan siap mengorbankan cita-cita pribadi dan melupakan diri saya sebagai Rouli dan cukup puas hanya dengan satu gelar "Mama Joanna".
Mungkin ada ibu yang begitu anaknya lahir, langsung tenggelam dalam kasih bersama buah hati dan merasa amat sangat bahagia karenanya. Untuk saya, tidak seperti itu. Jujur, masa-masa anak saya newborn, itu sangat melelahkan untuk saya, dan dibanding bahagianya, menurut saya pribadi, lebih banyak melelahkan dan capek hatinya. Di masa-masa wajah saya muram karena enam bulan pertama saya tidak pernah tidur beneran (karena anak saya ini jadwal ngajak mainnya ngga kenal kompromi, biasanya dia mulai on itu jam 2 sampai 6 pagi), lagi-lagi banyak yang berkomentar,
"Gini nikmatnya punya anak. Dinikmati aja, nanti anak cepat besar lho."
"Namanya jadi ibu, ya mesti sabar dong. Dinikmati begadang-begadangnya."
"Pulang kerja begitu lihat anak, capeknya pasti hilang kan? Itulah anak ya, kita jadi semangat terus tiap hari."
"Namanya jadi ibu, ya mesti sabar dong. Dinikmati begadang-begadangnya."
"Pulang kerja begitu lihat anak, capeknya pasti hilang kan? Itulah anak ya, kita jadi semangat terus tiap hari."
Sambil mendengarkan komentar-komentar tersebut, saya sambil berujar dalam hati, "Kok yang orang-orang ini bilang ke saya ngga saya rasakan ya?"
Sejujurnya, kalau pulang kerja lihat anak, saya bukannya capeknya hilang, malah makin capek, membayangkan nanti malam hingga pagi harus begadang. Sejujurnya juga, saya tidak dapat menemukan kenikmatan dari setengah tahun tidak tidur beneran. Sejujurnya juga, saya tidak mengerti bagaimana caranya menemukan kenikmatan dalam begadang.
Tapi, seolah-olah suara hati saya dibungkam sebelum bahkan sempat saya lontarkan. Saya lama-lama jadi berpikir bahwa saya yang salah karena saya tidak bahagia benar-benar dalam menjadi ibu dan banyak kesal-kesalnya.
Seiring dengan anak saya bertambah besar, memang kelelahan fisik dalam mengurusnya juga jadi semakin berkurang. Saya pun hari demi hari mulai menemukan satu demi satu kebahagiaan bersama anak. Hari ini, anak saya hampir berusia 10 tahun, dan saya dapat mengatakan dalam hati, bahwa diberi anugerah untuk mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak saya, adalah salah satu hal terbaik dalam hidup ini.
Tetapi, apakah kemudian kita dapat berkata bahwa anak adalah satu-satunya sumber kebahagiaan untuk perempuan?
Menurut saya, tidak demikian. Ada perempuan yang memang ingin dan dilahirkan untuk menjadi ibu, tetapi ada juga perempuan-perempuan, yang karena berbagai alasan, tidak menjadi ibu. Untuk perempuan-perempuan ini, kita tidak berhak dan tidak boleh menghakimi bahwa mereka tidak bahagia, mereka tidak sempurna, mereka aneh, atau merasa "kasihan" karena mereka tidak punya anak.
Saya sendiri mengakui dengan jujur, bahwa saya memang bahagia dapat bersama-sama dengan anak saya dan menghabiskan waktu dengannya, tetapi jika hidup saya satu hari penuh "hanya" dengan anak saya dan saya tidak punya kegiatan lain, saya tidak dapat merasa bahagia dan puas batin. Itu sebabnya, secara sadar saya mengambil keputusan untuk sekolah lagi, untuk mendalami ilmu yang saya cintai, lalu memutuskan untuk menjadi akademisi, untuk mengajar, bertemu orang lain, membagi ilmu, menulis paper, melakukan presentasi akademik. Mungkin ada yang melihat saya sebagai orang yang "aneh", ngapain sih saya sampai sebegitunya niat memperjuangkan hal-hal ini, kayaknya nyari repot dan susah saja, tapi itulah saya. Dalam mencari repot dan susah itu, justru saya merasa diri saya lengkap, satu sisi lain dari diri saya, yang tidak dapat dipenuhi oleh aspek berkeluarga. Dan menurut saya, kebahagiaan versi saya itu adalah jika saya dapat berada di tengah-tengah keluarga sebagai ibu dan istri, sekaligus juga dapat aktualisasi diri sebagai pribadi dengan menjadi seorang pengajar dan peneliti. Dua hal itu menurut saya sama pentingnya, dan saya adalah diri saya seutuhnya jika kedua hal itu sudah terpenuhi.
Jadi, apakah anak itu sumber kebahagiaan bagi perempuan? Jawabannya, tergantung pada masing-masing orang. Karena, kebahagiaan itu multi tafsir dan multi definisi, dan membaca kebahagiaan hanya melalui kerangka memiliki anak, saya rasa terlalu sempit dan berpotensi membungkam kebahagiaan versi lain dari berbagai macam perempuan di muka bumi ini dengan sejarah kisah hidupnya masing-masing.
11 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu
Rouli Esther Pasaribu
No comments:
Post a Comment