Tulisan ini terinspirasi dari salah satu komentar pada tulisan saya sebelumnya. Selama mengikuti rangkaian kegiatan #nulisrandom2017 ini, saya menulis berdasarkan kata hati saja. Apa yang ingin saya tulis, itu yang saya tulis. Demikian juga halnya ketika saya membaca komentar tentang capeknya jadi ibu. Saya jadi tergelitik untuk mengupas hal ini lebih dalam.
Dalam bukunya yang menjadi salah satu dasar gerakan feminisme gelombang 2 di Amerika, yaitu "Feminine Mystique", Betty Friedan menyebut masalah depresi, kekosongan, ketidakbahagiaan yang dialami perempuan kulit putih yang tinggal di pinggiran kota, sebagai "a problem that has no name" atau "masalah yang tak mempunyai nama". Jadi, pada masa itu, perempuan dianggap pasti bahagia, pasti bersukacita, pasti batinnya puas, jika ia menjadi ibu dan istri. Perempuan-perempuan kulit putih yang diwawancarai oleh Betty Friedan ini adalah perempuan-perempuan yang secara materi berkecukupan karena suaminya punya pekerjaan bagus. Masyarakat menjadikan perempuan-perempuan ini sebagai role model kebahagiaan sejati wanita. Materi cukup, status mulia sebagai istri dan ibu, ratu dapur, dicintai anak dan suami. Kurang apalagi? Tetapi ternyata Friedan menemukan perempuan-perempuan ini tidak bahagia. Mereka merasa kosong, depresi, galau. Sering mereka diam-diam menangis dan minum anggur ketika anak-anak mereka pergi sekolah. Mereka merasa sesuatu tidak beres dengan mereka, tapi mereka tidak berani mengakui mereka punya masalah. Mereka bahkan merasa mereka salah karena mereka tidak bahagia dengan kehidupan yang konon dimitoskan sebagai kehidupan sempurna dambaan setiap perempuan Amerika saat itu. Tapi melalui wawancara demi wawancara oleh Betty Friedan, kebenaran itu terkuak. Kebenaran bahwa perempuan-perempuan ini tidak bahagia hidup dalam mitos bahagia versi masyarakat patriarki di Amerika setelah Perang Dunia 2 berakhir, yaitu mitos bahagia menjadi ibu dan istri dari seorang laki-laki yang cukup mapan. Sampai-sampai, masalah depresi mereka tidak diakui sebagai masalah, dianggap masalah konyol, cemen, tidak ada artinya, dibanding masalah-masalah seperti masalah kenegaraan, politik, ekonomi.
Lebih dari setengah abad setelah Betty Friedan menemukan istilah "A problem that has no name", tetapi hingga hari ini, fenomena "masalah tak bernama" ini masih kita temui dalam hidup sehari-hari perempuan, spesifiknya kali ini yang mau saya bahas adalah perempuan yang adalah ibu.
Sebelum benar-benar menjadi ibu, kita, perempuan, terus menerus mendengar kisah demi kisah bahwa menjadi ibu itu adalah kebahagiaan sejati dan terbesar seorang perempuan. Bukan hanya mendengar cerita-cerita dari orang-orang di sekitar kita, tetapi juga kita melihat melalui role model di dunia iklan, majalah, film, drama TV mengenai sosok seorang ibu yang wajahnya selalu penuh sukacita dalam mengasuh anak. Masa-masa hamil cantik, melahirkan cantik, dan mengasuh anak secara cantik. Membuat kita yang belum mengalami hal tersebut menjadi tidak sabar ingin mengalami kebahagiaan sejati bersama buah hati.
Mengingat saya memang orang yang sejak dulu selalu mempertanyakan segala sesuatu, saya diam-diam sudah curiga dengan iklan-iklan cantik tentang ibu yang hamil atau mengasuh batita. Saya pikir, masa iya calon ibu bisa tetap cantik di saat sedang kepayahan muntah-muntah morning sickness. Saya pikir, masa iya ibu tetap bisa senyum bahagia jika ia tidak tidur semalaman karena anaknya segar bugar di malam hari.
"Kecurigaan" saya ternyata benar. Selama hamil, saya sangat jauh dari kata cantik. Mana nih kulit bersinar? Yang ada kulit saya makin kusam. Dan entah karena pengaruh hormon atau apa, badan saya menjadi lebih bau daripada biasanya. Setiap malam saya mengeluarkan banyak keringat padahal sudah tidur di ruang ber-AC. Benar-benar aneh.
Semakin hari beban di perut semakin berat, saya semakin lelah, tetapi saya tidak diberi ruang untuk boleh mengeluh. Kalau tampang saya tidak bersukacita, saya biasanya dibilang ngga boleh bete, ntar anaknya bisa ngerasa, jangan stress, nanti anaknya ikutan stress. Mengerti sih yang mereka semua bilang, tapi kok ya ngga ada yang mengerti isi hati saya? Bahkan menyebut diri ini lelah pun seperti tidak diperkenankan.
Lalu anak saya lahir. Saya harus mengakui bahwa bertemu dengan anak saya untuk pertama kalinya adalah pertemuan terindah untuk saya. Saya langsung menangis bahagia begitu Joanna lahir. Bayi besar ini (bukan bayi kecil karena anak ini emang beneran besar dari lahir) betul-betul anak saya. Jadi, gambaran dasarnya atau bottom line-nya memang benar: menjadi ibu itu memang membuat hati sukacita.
Tetapi, dalam kesehariannya, bahagia itu tidak selalu menyertai. Dalam malam-malam kelam saat payudara saya sakit dan bengkak plus saya demam karena ASI macet pada tiga hari pertama, kejengkelan melingkupi hati saya. Di malam-malam panjang saat saya harus menyusui Joanna dan dilanjutkan dengan dia rewel jika saya mencoba tidur, saya meradang melihat suami saya tidur nyenyak dan saya sungguh ingin memindahkan payudara saya ke dadanya agar dia gantian menyusui dan saya tidur. Tidak jarang saya membangunkan suami saya agar dia ikut begadang, intinya harus senasib dia ngga tidur juga. Pada masa-masa newborn saat Joanna sakit dan semalaman dia harus tidur dengan menyusu pada saya, dan jika saya tinggalkan sebentar ia akan menangis kencang, sementara saya juga terserang diare dan lima menit sekali saya ke kamar mandi, saya menyusui sambil menangis jengkel dan kesal dan berteriak dalam hati, "Tuhan, impian saya ini mau sekolah di Jepang, bukannya terperangkap dalam diare dan menyusui dalam saat bersamaan dan satu malaman!"
Namun, di hari-hari sengsara itu, saya seolah-olah "dipaksa" untuk tetap merasa oke, baik-baik saja, bahagia, tidak ada masalah, dengan berbagai macam ungkapan dari sekitar seperti:
"Ntar anaknya cepat gede, ngga kerasa lho, jadi begadangnya harus dinikmati."
"Dinikmatin aja masa-masa sekarang."
"Senang ya punya mainan baru, tiap hari ada aja ya kebisaan barunya."
"Ibunya harus happy terus dong ya biar anaknya happy juga."
Jika saya nekat bilang, "Saya capek, saya ngga merasa senang menyusui tengah malam, saya ingin tidur", pasti yang ada saya dipandang aneh dan sebelum saya mengeluh lebih lanjut, saya sudah dibungkam. "Eh jangan ngomong gitu! Harus bersyukur punya anak!" Ya, karena persoalan yang saya hadapi adalah persoalan tanpa nama, maka begitu saya mencoba memberinya nama, langsung ada usaha untuk mematahkannya, karena suara saya bukan representasi norma patriarki yang berterima di dalam masyarakat.
Saya hanya ingin kita semua lebih bersimpati dan memahami para ibu, terutama ibu baru. Saya ngga hiperbola jika saya bilang, menjadi ibu itu "life changing experience." Beautiful yet stressful, happy but sad in the same time. Semua perasaan campur aduk, dan keadaan jadi makin runyam karena di satu sisi kita dikondisikan harus bahagia terus, tapi di sisi lain, kita tidak dapat menampik bahwa kita lelah, stress, capek, dan rindu kebebasan masa lajang.
Ibu itu bukan sosok malaikat yang sempurna, yang selalu siap mengalah, yang bahagia dapat berkorban setiap saat. Bukan. Ibu itu manusia biasa, seorang perempuan dengan segala emosinya. Kadang dia senang, kadang dia sedih. Kadang dia marah, kadang dia lembut hati. Membungkam suara-suara kemarahan seorang ibu berarti tidak mengakui ibu sebagai manusia utuh dengan emosi lengkapnya.
Sekarang bayangkan, seorang perempuan, mulai dari dia hamil, sudah mengalami perubahan pada tubuhnya. Emangnya saya ngga serem, 9 bulan bawa-bawa makhluk hidup di dalam perut? Setelah melahirkan, ritme hidup pun berubah. Harus ngikutin jadwal anak. Iya memang pada akhirnya kita bisa menyesuaikan diri, tapi itu semua butuh waktu. Butuh proses, tidak bisa instant. Herannya, tidak sedikit dari antara kita yang menganggap ibu itu manusia sakti. Stress free, anger free,dan selalu penuh sukacita karena sumber bahagianya sudah nyata: anak. Just give us time to breath, just give us a break!
Kita, perempuan, harus bersuara, harus memberi nama pada "a problem that has no name". Jangan bungkam dan jangan mau dibungkam. Menjadi ibu itu adalah bahagia dan sedih di saat bersamaan, senang dan susah di dalam satu sejarah kehidupan. Bukan hanya bahagia, bukan hanya sedih. Menjadi ibu adalah merasakan sukacita dan rasa marah secara bersamaan, di dalam satu dasar yang kuat, yang kita namai: cinta tak bersyarat.
12 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu
Rouli Esther Pasaribu
No comments:
Post a Comment