Maret 2011, gempa bumi dan tsunami melanda bagian timur utara Jepang, yaitu di wilayah Tohoku. Saat itu saya sedang kuliah S2, sudah selesai tahun pertama dan sedang menikmati libur musim semi untuk masuk ke tahun kedua pada bulan April 2011.
Berdasarkan hasil pengamatan saya terhadap acara-acara TV di Jepang yang meliput tentang gempa bumi hebat tersebut, saya lalu menulis notes di Facebook, dengan judul "Say Yes! to Gambaru". Sebenarnya tidak ada sedikitpun niat khusus menuliskan tulisan itu. Sama dengan tulisan-tulisan saya yang lain, emang saya hanya ingin menulis saja, ingin berbagi saja. Tidak lebih dari itu.
Entah mengapa, tulisan itu jadi viral. Dishare di berbagai tempat, di milis, di media sosial. Dan berdasarkan tulisan saya, dibuatlah tulisan tentang semangat gambaru orang Jepang oleh seorang guru etos terkenal dan dimuat di Kompas halaman dua. Ada juga liputan di stasiun TV Indonesia yang konon menyebut-nyebut nama saya.
Akibat viralnya tulisan saya itu, saya menerima banyak permintaan pertemanan di FB saya. Saya terima. Banyak juga yang memuji tulisan saya, minta kenalan, dan sebagainya. Nahhhh di sini saya mulai mawas diri. Apa maksudnya mawas diri?
Saya menyadarkan diri saya sendiri, untuk tidak larut dalam pujian. Belum tentu tulisan saya itu luar biasa. Mungkin tulisan itu viral karena momentnya pas dan mungkin saya yang pertama menulis tentang gempa bumi itu dalam bentuk tulisan yang ringan. Kalau saya terus menerus melenakan diri dalam pujian, bisa-bisa saya ngga produktif. Lebih parah lagi, saya akan menganggap diri saya hebat, padahal kan faktanya saat itu saya adalah mahasiswa S2 yang sedang mengalami siksaan akademik di kampus tercinta. Hebat dari mananya?
Itu sebabnya saya dengan sengaja tidak membalas satu per satu komentar orang-orang yang membaca tulisan saya. Saya balas borongan dan "bersifat umum", seperti "terima kasih banyak sudah baca tulisan saya." Saya juga sengaja tidak membuat akun media sosial lain seperti twitter atau instagram. Ini semua saya lakukan agar jangan sampai saya jadi orang yang sok beken hanya karena satu tulisan saja. Sekarang sih saya punya akun twitter atau instagram tapi saya sama sekali tidak aktif. Jarang saya buka malah.
Sekarang ini sebenarnya mudah untuk kita menjadi terkenal. Posting saja satu tulisan dan jika momentnya tepat, tulisan itu jadi viral dan kita bisa tiba-tiba punya banyak penggemar. Tetapi, jadi terkenal itu menurut saya lebih banyak ngga enaknya daripada enaknya. Semua mata akan menyoroti kelakuan kita. Kita jadi ngga bebas. Dan begitu kita melakukan kesalahan, orang-orang dari berbagai penjuru akan membully kita dengan sadis.
Bagi saya, menulis itu jauh kaitannya dengan popularitas. Menulis untuk saya adalah kebutuhan jiwa. Namanya kebutuhan jiwa, berarti akan terus dilakukan demi kestabilan batin.
Beberapa orang pernah menyarankan untuk saya membukukan notes-notes FB saya yang jumlahnya ratusan itu. Ada juga yang menyarankan untuk kirim tulisan ke media. Tapi sampai hari ini saya belum pernah melakukan semua itu. Mengapa?
Saya hanya berpikir, kalau saya membukukan tulisan saya, orang jadi harus bayar dan usaha lebih untuk baca. Sedang kalau di FB gini kan gratis. Selain itu, saya memang punya komitmen sebagai akademisi: sebelum saya tulis-tulis buku non ilmiah, prioritas saya harus buku ilmiah dulu. Buku ilmiah terbit, baru deh nulis yang lain. Moga-moga deh ya, pada paruh pertama usia 40an, buku ilmiah pertama saya bisa beneran terbit. Mohon doa!
Sekitar dua tahun yang lalu, saya menghadiri sebuah konferensi di Surabaya. Di situ saya bertemu dengan seorang pengajar studi Jepang di daerah Jawa Timur. Setelah berkenalan, ia bertanya,
"Ini Rouli Esther yang menulis "Say Yes! to Gambaru" ya?
Saya jawab: "Iya"
"Saya pakai tulisan Rouli pada mata kuliah masyarakat Jepang, untuk mengajarkan tentang gambaru pada mahasiswa-mahasiswa saya"
Saya jawab: "Terima kasih banyak. Saya jadi terharu."
Saya jawab: "Iya"
"Saya pakai tulisan Rouli pada mata kuliah masyarakat Jepang, untuk mengajarkan tentang gambaru pada mahasiswa-mahasiswa saya"
Saya jawab: "Terima kasih banyak. Saya jadi terharu."
Beneran, saya sangat terharu saat itu. Meskipun saya tidak pernah dibayar karena apa yang saya tulis, tapi kalau dengar kisah kayak gini, rasanya senang banget. Di titik itu saya ingin terus dan terus menulis.
Jadi, menulis itu menurut saya, tidak ada kaitan dengan popularitas. Mungkin saya memang orang yang sok idealis, tapi sungguh, meminjam idenya Rene Descartes "Cogito ergo sum" (Aku berpikir maka aku ada), saya pun dengan mantap berkata dari lubuk hati saya: "Aku menulis maka aku ada"
Bogor, 5 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu
Rouli Esther Pasaribu
No comments:
Post a Comment