Tahun 1989, Arlie Russell Hochschild, seorang Profesor Sosiologi dari University of California Berkeley menerbitkan buku berjudul "The Second Shift". Buku ini adalah hasil riset beliau selama tahun 1970an-1980an terhadap 50 pasang suami istri yang sama-sama bekerja dan berbagi beban pekerjaan rumah tangga di Amerika Serikat. Melalui wawancara dan observasi yang intens dalam kurun waktu yang cukup lama, beliau mendapati fakta bahwa meskipun jaman telah berubah, dalam arti perempuan dapat berkarya di ranah publik, bisa punya pekerjaan di luar rumah dan karir dengan gaji yang cukup bagus, tetap saja yang mengerjakan second shift alias shift kedua (shift pertama adalah pekerjaan di kantor) lebih banyak itu adalah perempuan dibanding laki-laki. "The second shift" sendiri adalah istilah yang diciptakan oleh Prof Hochschild untuk menyebut pekerjaan profesional yang dibayar di ranah publik sebagai shift pertama dan pekerjaan rumah tangga di dalam ranah domestik sebagai shift kedua atau "the second shift".
Dalam bukunya, Prof Hochschild mengemukakan bahwa perempuan mengadaptasi perubahan dengan cepat, maju dan berkarya, hanya yang kerap kali terjadi adalah perempuannya saja yang berubah, sedang lingkungan sekitarnya tetap stagnan dan tidak ikut berubah, atau kalaupun ikut berubah, tidak serevolusioner perubahan pemikiran dan perilaku perempuan.
Saya pertama kali membaca buku "The Second Shift" di perpustakaan pusat Osaka University, Toyonaka campus. Buku ini ada di rak buku-buku gender studies, salah satu rak yang paling sering saya kunjungi selama enam tahun menggunakan perpustakaan tercinta ini. Membaca buku Prof Hochschild membuat saya berkali-kali berujar dalam hati, "ini benar banget! ini benar banget!"
Sering mendengar ungkapan-ungkapan seperti ini dari orang-orang di sekitar kita?
"Suami gue sih baik banget, waktu hari ibu, dia ijinin gue untuk me time dan dia yang ngerjain seluruh kerjaan rumah."
"Suami lu baik banget sih mau bantuin ngurus anak dan cuci piring segala."
"Suami kayak si A langka lho, karena mau siaga urus anak. Enak banget ya punya suami kayak gitu."
Tanpa mengecilkan arti suami siaga urus anak, suami ikut membantu pekerjaan rumah tangga dan tanpa mengurangi rasa hormat saya pada suami-suami ini, saya sebenarnya agak miris dengan pernyataan-pernyataan di atas. Mengapa?
Karena, bottom line-nya, di balik pernyataan-pernyataan tersebut, wacana patriarki tetap bermain dengan sangat kuat: perempuanlah pelaku utama ranah domestik, laki-laki "hanya" pemeran pembantu. Dengan kata lain, perempuan penggerak utama kegiatan harian di dalam rumah tangga: masak, beres-beres, cuci-jemur-gosok baju, sapu-pel, buang sampah, sikat kamar mandi dan toilet, you name it. Laki-laki mungkin bergerak dalam bidang memperbaiki genteng bocor atau cuci mobil atau memperbaiki saluran air, tapi kita tidak tiap hari memperbaiki genteng bocor, bukan? Sedang masak, cuci-jemur baju, sapu-pel, ini semua basisnya harian (oke di rumah saya pel lantai hanya kalau lagi mood saja, ngga jelas rentang waktunya berapa lama).
Selain itu, saya diam-diam sudah lama mengamati kecenderungan ini: seolah-olah karena perempuan "boleh" bekerja di luar rumah, maka ia harus "membayar hak istimewa" ini dengan giat mengerjakan pekerjaan rumah tangga lebih daripada laki-laki. Giat mengerjakan pekerjaan rumah tangga ini sebenarnya juga bukan karena laki-laki yang menuntut, tetapi saya perhatikan, lebih karena perempuan merasa bersalah karena ia telah menghabiskan banyak waktu di luar rumah, jadi ia "menebusnya" dengan mengerjakan mungkin dua pertiga dari pekerjaan rumah tangga atau bisa juga tindakannya ini karena ia merasa harus menunjukkan rasa syukur sudah "diijinkan" untuk beraktivitas di luar rumah, jadi ia meresponnya dengan sigap menyelesaikan urusan pekerjaan rumah tangga.
Salah satu solusi agar baik suami maupun istri sama-sama nyaman tidak dibebani house cores yang membludak adalah dengan mempekerjakan ART. Tapi tetap saja ini tidak mengubah wacana dasar pembagian tugas laki-laki di luar rumah dan perempuan di dalam rumah. Apalagi jika kita tinggal di negara maju, yang tenaga kerja sangat mahal sehingga budaya mempekerjakan ART itu tidak lazim.
Satu lagi yang juga menurut saya melelahkan adalah anggapan bahwa manager rumah tangga itu harus istri. Contoh sederhana, pertanyaan-pertanyaan seperti ini biasanya ditujukan pada ibu atau istri:
"Hari ini makan apa?"
"Kapan kita belanja?" (Bahan makanan ya, bukan baju atau sepatu!)
"Ngga ada makanan lho di rumah."
"Kapan kita belanja?" (Bahan makanan ya, bukan baju atau sepatu!)
"Ngga ada makanan lho di rumah."
Pertanyaan balik dari saya sebenarnya juga tidak kalah sederhana: kalau ngga ada makanan, mengapa tidak langsung inisiatif buka kulkas dan masak, kalau tidak ada bahan makanan, mengapa tidak langsung gerak belanja ke pasar atau supermarket atau tukang sayur. Mengapa harus selalu menunggu inisiatif dari perempuan? Lagi-lagi ini karena di bawah sadar, kita sudah dididik dan diinternalisasikan dengan nilai-nilai pembagian tugas berdasarkan gender yang kaku: perempuan adalah ratu pekerjaan rumah tangga dan laki-laki adalah raja pekerjaan profesional.
Sampai saat tulisan ini ditulis, saya belum tahu solusinya bagaimana agar second shift ini bisa benar-benar terbagi secara adil. Memang menurut saya dalam basis yang kecil seperti misalnya keluarga inti, sudah banyak pekerjaan rumah tangga yang juga dirambah laki-laki. Sekalipun kehadiran laki-laki untuk urusan house cores pada umumnya bukan sebagai pemeran utama tapi sebagai pemeran pembantu, tetap saja eksistensi pemeran pembantu itu harus disyukuri, mengingat sampai pada generasi orang tua saya misalnya, pembagian peran suami istri dalam sebuah keluarga itu masih kaku. Tetapi dalam level makro, misalnya acara kenegaraan atau acara adat, tetap saja aneh kan jika kita melihat pemandangan laki-laki dan perempuan sama-sama sibuk di dapur dan sama-sama aktif dalam acara? Ini pertanda patriarki memang masih menjadi konstruksi dominan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Tahun 2012, buku "The Second Shift" karya Arlie Russell Hochschild dicetak ulang. Mungkin dicetak ulang karena meski terbit pertama kali pada tahun 1989, tema yang diangkat beliau tetap relevan untuk kondisi saat ini.
"Most women without children spend much more time than men on housework; with children, they devote more time to both housework and child care. Just as there is a wage gap between men and women in workplace, there is a "leisure gap" between them at home. Most women work one shift at the office or factory, and a "second shift" at home. (Arlie Russell Hochschild)
Untuk kita renungkan bersama.
1 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu
Rouli Esther Pasaribu
No comments:
Post a Comment