Masih lebih baik kehilangan harta daripada kehilangan kepercayaan dari orang lain. Meski, sebenarnya jangan sampai harta juga hilang sih.....
Tapi ungkapan di atas menunjukkan betapa menjaga kepercayaan itu bukan perkara mudah. Betapa sebuah hubungan bisa rusak karena sudah tidak ada kepercayaan lagi.
Salah satu negara yang cukup "rewel" urusan trust alias kepercayaan itu adalah Jepang. Selama beberapa tahun berkecimpung dalam bidang studi Jepang, saya merasa bahwa diam-diam orang-orang Jepang itu memperhatikan kinerja, ketulusan, dan terutama karakter kita. Apakah orang ini dapat dipercaya atau tidak, apakah orang ini sungguh-sungguh serius atau tidak.
Kalau saya bisa kuliah di Jepang, lalu ikut beberapa program untuk pengembangan studi Jepang yang butuh biaya tidak sedikit (untuk ukuran kemampuan finansial saya), itu karena adanya beasiswa dan dana yang saya dapatkan dari melamar program-program tersebut.
Namanya juga dibiayai ya, tentunya kita harus maksimal menunjukkan kinerja terbaik. Ada beberapa cerita tidak sedap yang saya dengar dari orang-orang di sekitar saya, yang terus terang saja agak bikin malu nama bangsa tercinta ini.
Ada yang diberi beasiswa untuk studi di Jepang, tapi yang bersangkutan malah sibuk bisnis di sana, jarang muncul di lab atau ruang penelitian setiap hari, akhirnya ketika lulus S2 tidak diberi rekomendasi untuk lanjut ke jenjang yang lebih tinggi, dan "tidak diurus" kelanjutan studinya oleh Profesornya.
Ada yang dapat beasiswa, ini sih bukan di Jepang tapi di negara lain, lalu yang bersangkutan bukannya bayar uang kuliah dengan beasiswa tersebut tapi malah uang beasiswa itu dialokasikan untuk beli tanah di kampung halaman. Sampai-sampai pihak kampus melacak mengapa yang bersangkutan belum bayar uang kuliah sekian lama, akhirnya entah bagaimana, ketahuan kalau uangnya digunakan untuk hal yang tidak seharusnya.
Yang kayak gini ini kan agak bikin miris ya? Sejatinya jika kita menerima beasiswa atau biaya lain untuk menunjang kemajuan diri ini, maka seharusnya digunakan sesuai keperluan. Kalau kita "tertangkap" kita akan dilabeli negatif dan kepercayaan pihak lain terhadap kita akan sedikit demi sedikit runtuh.
Masalahnya, kita mau pencitraan gimana juga, lama-lama karakter asli akan muncul. Dan kalau kita "pura-pura" baik, "pura-pura" sungguh-sungguh, "pura-pura" santun, ya terakhir-terakhirnya akan ketahuan juga.
Jadi, harusnya bagaimana? Jawabannya sudah jelas. Jagalah kepercayaan itu! Dengan kerja keras, dengan menunjukkan itikad baik, dengan bersikap jujur dan dapat diandalkan, dengan berpikir bahwa kepercayaan ini adalah hal yang sangat mahal harganya, sekalinya runtuh, sulit membangun kembali.
Lagipula kalau urusannya sudah hal yang sifatnya finansial seperti beasiswa, maka biar bagaimanapun juga, penerima beasiswa pasti disorot dan biasanya jika skalanya internasional, yang disorot sudah bukan diri pribadi tapi dari mana ia berasal.
Itu sebabnya selama saya studi di Jepang, saya selalu sadar dan menyadarkan diri untuk menjaga kelakuan dan menunjukkan itikad baik. Jangan sampai Indonesia dinilai jelek karena kelakuan saya.
Kita tahu, di kancah internasional, nama Indonesia bukan yang super dihormati, bukan yang super ditakuti. Ini fakta yang harus diterima. Bahwasanya negara tercinta ini masih banyak ketinggalan, harus kita terima dengan lapang dada. Tapi jangan berhenti hanya di menerima saja, tapi pikirkan sama-sama sumbangsih apa yang dapat kita berikan untuk bangsa kita.
Karena menjadi masyarakat global itu bukan berarti kita lupa pada jati diri kita. Menjadi masyarakat global juga bukan berarti kita menggerutu pada ketidaknyamanan negeri dan mengagungkan tempat lain. Menjadi masyarakat global pertama-tama adalah menjaga kepercayaan dan menerima uluran persahabatan dari berbagai daerah di belahan bumi ini, sekaligus juga di saat bersamaan, berpikir untuk memajukan tempat di mana kita berpijak. Ini adalah tanggungjawab kita terhadap hidup ini.
Membangun kepercayaan itu butuh waktu bertahun-tahun. Tetapi, meruntuhkannya, hanya butuh waktu sekejap. Baik-baiklah melangkah, baik-baiklah membawa diri.
21 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu
Rouli Esther Pasaribu
No comments:
Post a Comment