Friday, October 11, 2013

Invictus

Baru aja nonton film Invictus yang dibintangi Morgan Freeman dan Matt Damon. Terlalu keren nih film, asli! Udah lama ga dapat pengalaman batin yang kaya setelah nonton, macam yang gw rasain abis nonton Invictus. Highly recommended, banyak banget pelajaran yang bisa dipetik. Mengutip kata-kata Dian Sastro, "Kalo nonton film, loe dapet pelajaran apa dari film itu?" Hahahahaha, sippp deh DiSas, kali ini gw dapet banyaaaaak banget dari Invictus.

Invictus ini temanya berat tapi dikemasnya ringan dan menarik. Bukan yang ringan macam film abg yang cuma cinta-cintaan ga jelas ya. Ringan di sini maksudnya, mudah dicerna dan jalan ceritanya juga menarik, tiap adegan tuh ada maknanya, dari awal kita ga sempat bosan lihat film ini. Ga kerasa aja dua jam abis untuk nonton nih film, saking kerennya. Istilahnya, ga sempat merem sedikit pun deh saking terpakunya.

Ceritanya tentang Nelson Mandela (yang diperankan oleh Morgan Freeman), yang baru kepilih jadi presiden Afrika Selatan dan mikir gimana caranya untuk nyatuin negara, trus dia pakai cara, nyemangatin tim rugby nasional Afsel di world cup rugby. Kapten timnya namanya Francois (lupa lengkapnya), diperankan Matt Damon. Ya kan Afsel itu isu apartheidnya parah banget ya, biar kata presidennya kulit hitam, tapi tetap aja yang kulit putih banyak yang ga mau ngakuin, trus yang kulit hitam karena udah punya presiden yang sewarna kulitnya, jadi ngerasa bisa balas dendan ke kulit putih. Nah tim rugby ini isinya kulit putih semua, kecuali satu orang. Di sinilah kerennya Nelson Mandela. Dia semangatin tim rugby ini yang tadinya underdog abis, sebagai simbol bahwa ga ada perbedaan kulit putih dan hitam, semuanya satu di bawah naungan negara Afrika Selatan. Aduuuuh keren banget deh pokoknya, gw sampai mikir, mestinya tim PSSI didekati secara khusus sama presiden Indonesia, trus dikobarkan semangat persatuan bangsanya, untuk bungkam ribut-ribut karena SARA di negara kita tercinta ini. Tapi hmmm...gw rasa sih mesti manusia sehebat Mandela yang bisa lakuin hal ini, secara kemanusiaannya udah diuji banget, bayangin aja, beliau dipenjara 27 tahun, trus begitu bebas dan jadi presiden, beliau malah ngajak orang kulit hitam n putih untuk bersatu bangun bangsa, padahal kan secara pribadi beliau itu dijeblosin ke penjara oleh kaum kulit putih. Bisa aja kan beliau balas dendan karena udah punya power, tapi ini ga sama sekali, malah beliau berdiri merangkul semua golongan. Leader tuh emang mestinya gini nih! Tapi ya, Nelson Mandela gitu lho, 27 tahun di penjara dan tak tergoyahkan, bahkan murni semurni-murninya berdiri di atas kemanusiaan. Semoga kelak Indonesia juga punya pemimpin ala Nelson, amiiiiin.

Invictus itu sendiri sebenarnya judul puisi jaman Victoria, dikarang oleh penyair Inggris, namanyaWilliam Ernest Henley. Puisi ini dikarang tahun 1888. Arti invictus (bahasa latin) itu "unconquerable" alias tak terkalahkan. Kalau tertarik lebih lanjut bisa google sendiri ya, ini gw kutip highlightnya aja.

Beyond this place of wrath and tears
Looms but the Horror of the shade
And yet the menace of the years
Finds and shall find me unafraid

It matters not how strait the gate
How charged with punishments the scroll
I am the master of my fate
I am the captain of my soul

Bisa dilihat sendiri deh ya, intinya gimana. Intinya, no matter what, seberat apapun hidup, ga akan ada yang bisa kalahin kita, karena kita adalah tuan atas nasib kita sendiri, kapten atas jiwa kita sendiri. Intinya, kita yang menguasai keadaan, bukan keadaan yang menguasai kita. Wooohooooo!!!!

Ceritanya, Nelson Mandela itu selama 27 tahun dipenjara, dia baca karya sastra gitu, termasuk puisi ini, dan puisi inilah yang  nguatin dia, yang menginspirasi dia untuk terus bertahan jalanin kehidupan di penjara. Gila ya gilaaaaaa....kata Nelson, kadang waktu beban berat nindih hidup, kita butuh inspirasi, dan inspirasi itu banyak didapat dari puisi, dari kata-kata yang membangun, kita butuh kata-kata. Oh my God, sebuah penguatan asli, untuk gw yang sering ngerasa penelitian menemukan obat kanker jauuuuh lebih keren dan berguna dibanding penelitian di bidang sastra yang gw kerjain ini. Intinya invictus-lah gitu, unconquerable, dan Nelson mendapat inspirasi tersebut dari puisi. Btw, yang ngarang puisi ini, yaitu William Henley, dia divonis sakit TBC trus kakinya harus diamputansi, dan selama puluhan tahun, dia hidup hanya dengan satu kaki, dan di masa-masa berat inilah lahir "Invictus".

Bikin banyak mikir banget deh film Invictus ini. Tentang rasa kebangsaan, tentang kemanusiaan, tentang memaafkan, tentang sastra, tentang inspirasi, tentang kekuatan sebuah kata, tentang kekuatan karya sastra, tentang berjuang, tentang menguasai keadaan, tentang maju terus meski jalan terlihat gelap....makin dipikir makin banyak yang bisa digali, benar-benar oh my God deh pokoknya nih film.

Minggu ini, bisa dibilang gw mengalami momen invictus. Tentu saja hidup gw ga ada apa-apanya dibanding Nelson or William. Gw ngga dipenjara 27 tahun, gw ga diamputansi kakinya, ya cemen abislah hidup gw kalau dibanding penderitaan mereka berdua. Tapi, invictus tetaplah invictus, medan perang setiap orang berbeda-beda, dan hidup setiap orang sebenarnya punya perjuangannya sendiri-sendiri, ngga bisa dibandingin satu dengan yang lain. Jadi, meskipun hidup gw ga sespektakuler Nelson, tetap ada perjuangan yang harus dijalani, dan meskipun dalam skala lebih kecil dari Nelson, gw pun berhak merasakan momen invictus dan wajib menjalani hidup dengan prinsip invictus.

Tapi kalau pembaca sekalian (ampun kayak ada aja gitu yang baca blog gw?) ngikutin blog gw, ya pasti taulah ya, gimana stressnya gw dengan kehidupan perkuliahan di sini. Beban studi yang menurut gw berat, dan itu ditambah lagi dengan gw bawa keluarga, jadinya yang harus dipikirin makin banyak. Ibarat, kalau lajang "hanya" mikirin studi, gw mikirinnya ya studi iya, keluarga iya, plus putar otak mikir nyari duit tambahan gimana, biar ada sedikit yang bisa ditabung.

Masih ingat banget, gimana pas awal datang ke sini, gw ga ngerti sama sekali kuliah Prof gw, trus dikasih bacaan bahasa Jepang, ya gw ga ngerti, baca satu halaman aja mencernanya lama banget. Saat itu, 4,5 tahun yang lalu, gw stress, ngerasa ga akan mungkinlah bisa beresin kuliah gw di sini karena otak gw ga nyampe, dan entah berapa puluh kali gw mikir, betapa mombusho itu salah banget milih gw untuk studi di sini, karena yang gw lihat, orang-orang lain tuh kayaknya bisa aja nyesuain diri n lancar aja kuliahnya, sedang gw ya gitu deh, selalu dapat banyak kritik dari Prof. Gw tau sih maksud dari kritik itu bukan menjatuhkan tapi membangun, tapi tiap kali ketemu Prof ditegur terus, dimarahin, dikritik, lama-lama kan kita mikir, emang asli gw goblok banget kali ya? Ingat masa-masa research student dan studi master, asli itu rasanya nightmare banget, masih ingat bagaimana tertekannya gw.

Dan gw juga ga akan lupa, gimana Prof gw bilang tesis S2 gw itu busuk banget, rubbish istilahnya-lah, bilangnya di depan murid-murid lain pula. Gw bukannya pahit dikatain gitu ya, itu sih gw udah biasalah, yang bikin pahit itu adalah emang KENYATAAN tuh tesis busuk banget, istilahnya gw sendiri juga sadar, kalau gw pulang ke Indonesia dengan kemampuan setara tesis S2 gw itu, bisa dipastikan gw ga akan bisa berkarya sebagai dosen dan peneliti, saking ceteknya pengetahuan yang gw punya. Dan, kecetekan pengetahuan ini bikin takut banget dong ya. Apa sih gunanya gelar master kalau ternyata dalamnya kosong? yang ada malah malu-maluin diri sendiri dan almamater. Ini juga yang bikin gw galau mau lanjut S3 tapi lebih galau lagi kalau ga lanjut karena ya pulang ke Indonesia dalam kondisi rubish itu kan asli akan merusak masa depan banget ya. Akhirnya gw beranikan diri tetap lanjut, sambil nyiapin mental untuk penyiksaan akademik yang pastinya akan lebih berat dibanding S2.

Tahun pertama studi S3, gw tetap galau. Galaunya itu karena setelah menyadari kesalahan gw dalam belajar, gw terus mencoba mengubah diri, tapi kok titik terang tidak kunjung gw dapatkan. Gw habiskan 8 jam sehari di perpustakaan, bahkan ada hari-hari di mana gw tambah juga bangun subuh untuk belajar. Tetap aja gw ngerasa gelap. Gw ngeri dengan sebegitu banyak buku yang harus gw baca, semuanya dalam bahasa Jepang atau beberapa ada dalam bahasa Inggris, yang jelas ga ada satupun yang bahasa Indonesia. Gw baca, tapi banyak yang gw ga ngerti. Gw habiskan berjam-jam di perpustakaan sambil kesepian dan rasanya pengen teriak, sebenarnya what on earth I`m doing for sihhhh? Di luar sana banyak orang yang ga belajar kayak gini tapi hidupnya mapan, sejahtera dan bahagia. Kenapa gw di sini sengaja menyusahkan diri? Tapi udah ga ada pilihan, mau mundur udah telat, the only way hanya bergerak maju. Terbayang James, terbayang Joanna, kalau gw ga belagu datang ke Jepang gini (dan gw belajarnya sastra yang mana hasil penelitiannya bukan yang praktikal macam nemuin obat AIDS, jadi wajar kalo orang mikir, apa sih yang lu perjuangin, abstrak abis!), mereka mungkin lebih sejahtera. Tapi ini gw udah seret dua orang ini. Cuma gw ga mau ngulangin kesalahan yang dulu, yang ngerasa frustrasi ngerasa bersalah trus akhirnya cuma berakhir di mengasihani diri. Gw memilih untuk hidup dengan prinsip invictus, situasi bisa kayak gimana aja, yang penting gw ga boleh terkalahkan oleh situasi. Maka, sambil galau, gw terus bertahan di perpustakaan, ngantuk-ngantuk pun gw terus baca buku-buku referensi.

Setahun berlalu, ga ada perubahan berarti. Mid defense pertama gw bulan Desember 2012, gw dapat banyak kritikan dan Prof bilang gw tetap aja kurang banget materinya untuk bikin disertasi. Siapa yang ga ngeri diginiin? Waktu jalan terus kan ya cyiiiin. Lagi-lagi gw ini bukan pahit dimarahinnya, tapi lebih ke pahit karena kenyataan emang gw garing banget di dunia research ini. Sampai akhirnya satu waktu gw putuskan, ya gw selesaikanlah studi gw semampu gw, setelah itu, pulang ke Indonesia, gw akan tinggalkan semua kegiatan akademik ini, karena gw ga kompeten at all. Udah lebih dari setengah masa studi gw lewati, tetap aja ga ada kemajuan. Apa yang bisa gw harapkan di dua tahun terakhir ini?

Bulan Maret 2013, gw putuskan untuk bangkit kembali, dan mulai lagi berusaha tenang dari awal, menekuni data penelitian meski semua masih gelap. Tak disangka-sangka, di sini mulai sedikit ada titik baliknya. Sedikit ada titik terang, meski masih jauh banget sih. Pra penjurian disertasi bulan Mei 2013, itu untuk pertama kalinya gw ngerasa rada mending dalam presentasi. Tanggapan Prof juga cukup baik, meski kritiknya tetaplah banyak banget, tapi gw merasa, setidaknya di bulan Mei 2013 itu, ini kali pertama beliau sedikit menunjukkan ketertarikan terhadap penelitian gw. Setelah Mei 2013, berikutnya adalah Oktober 2013. Akhir bulan ini gw harus mid defense yang kedua. Sebelumnya, pada libur musim panas, gw menghabiskan waktu gw dengan mengerjakan penelitian, baca buku referensi, dan tulis satu jurnal. Itu jurnal dalam kampus sih, berhasil tembus, tapi gw rasa, semua juga nembus deh di jurnal ini, karena ini jurnal dalam kampus. Tapi gw anggap ini sebuah pencapaian, bisa tulis jurnal. Meski gw dapat banyak sekali kritik dari Prof (lagi-lagi yaaaa), itu semua gw terima dengan lapang dada, anggap aja itu artinya Prof peduli sama gw, daripada dikacangin trus dibiarin gitu aja ga dibimbing trus tau-tau terakhir dijatuhin, kan itu lebih gawat lagi.

Nah, trus minggu ini, gw harus kasih progress report research gw selama musim panas kemarin, apa aja pencapaian gw, perkembangan penelitian gw. Entah ya gw juga ga tau, tapi mungkin beginilah cara kerja aufklarung. Proses sampai ke enlightment alias aufklarung ini lama dan gelap banget, tapi di satu saat, tiba-tiba aja eureka! Tercerahkan semua puzzle yang selama ini berserakan. Itulah yang gw alami dan asli cuma bisa sujud syukur. Gw merinding. Gw ngerasa udah dapat gambaran besar disertasi gw dari awal sampai akhir kayak gimana. Semua yang selama ini gw pelajari, tiba-tiba keluar dan bisa diramu dengan sistematis dalam bentuk bab-bab disertasi. Masih sih banyak yang harus dikerjain, tapi bangunan besarnya udah mulai solid dan kongkrit.

Minggu ini gw kasih progress report ke Prof, gw jelaskan garis besar disertasi gw, apa-apa aja yang mau ditulis. Di luar dugaan, dan ini untuk pertama kalinya, setelah 4,5 tahun gw di sini.....beliau bilang dengan jelas ke gw. "Rouli, kamu improve banyak sekali, penelitian kamu sangat menarik, ini belum pernah ada yang mengerjakan di Jepang, dan saya sangat tertarik untuk mengetahui lebih lanjut progress penelitian kamu. Dulu saya benar-benar tidak merasa tertarik dengan penelitian kamu, tapi sekarang saya sungguh ingin tahu lebih dalam." Rabbiiiiiiii........pengakuan ini sungguh rasanya tak terlukiskan! 4,5 tahun gw dimarahin melulu, dan untuk kali pertama, orang yang selalu marahin gw ngakuin hasil kerja gw. Maksud gw, bukannya gw brilian, bukannya gw jenius, tapi ternyata emang benar ya kalo hard work itu suatu hari emang akan memberi buahnya, tapi emang lama sih ga bisa instant. Gw sebenarnya udah siap kalau pas kasih progress report itu gw akan dimarahin lagi. Tapi di luar dugaan, karya gw ternyata diakui. Emang gw ga dapat piala, gw juga bukan orang-orang berbakat yang dapat penghargaan ini itu, bukan juga orang yang bisa ikutan simposium besar, masih jauhlah itu....tapiiii...setiap orang punya perjuangan sendiri untuk dihadapi kan? Dan untuk gw, mungkin emang piala, penghargaan, simposium itu bukan bagian gw, jadi ga usah pusingin hal-hal itu, lebih baik fokus ke my own battle.

Sekalipun hanya gw sendiri yang merasa, gw merasa, hari itu pas kasih progress report, gw merasa ini momen invictus gw. Masih awal sih, tapi gw bersyukur sekali pada Tuhan. Just do your best and let God work in it itu emang bener banget ya, nyata dalam hidup ini.

Semoga moment invictus di awal Oktober 2013 ini bisa menjadi penyemangat untuk gw terus berjuang menyelesaikan studi gw. Selesai tepat waktu dan bisa nebus tesis busuk gw, itu yang gw harapkan.