Saturday, August 12, 2017

Progresif di kampung

"Maklum aja, dia orang kampung sih..."
"Kampung banget sih lu..."
"Belum masuk ya di tempat lu? Tempat lu kampung sih...."
Sering mendengar ungkapan seperti ini? Kalau kita mendengar kata "kampung", image rasanya lebih banyak yang negatif daripada positif. Terbelakang, ketinggalan jaman, tidak mengerti teknologi mutakhir, membosankan, sunyi, sepi, tidak ada listrik, apa-apa susah. Pendidikan rendah, bodoh, tidak mengerti apa-apa. Benar begitu?
Ijinkan saya menceritakan kisah yang mungkin dapat membuat kita tidak memarjinalkan kampung dan tidak menjadikan kota sebagai pusat.
Jadi, kakek saya dari Papa, namanya P.A. Pasaribu adalah "orang kampung" sejati. Beliau tinggal di Tarutung, Sumatera Utara bersama keluarganya. Pekerjaannya guru SMP, lalu jadi guru SMA dan akhirnya jadi kepala sekolah. Ngga pernah sekolah keluar negeri, ngga pernah tinggal di kota besar, kecuali setelah pensiun beliau pindah ke Medan. Tapi sebagian besar hidupnya dihabiskan di Tarutung.
Tapi kemudian, apakah beliau tidak maju atau tidak memajukan hidupnya? Kalau dari cerita-cerita yang saya dengar, beliau pemikirannya sangat progresif. Beliau ini selain bisa berbahasa Indonesia dan Batak, juga bisa bahasa Inggris dan Jerman. Orang kampung lho ini, orang kampung. Les di mana beliau? Ngga les. Ga ada tuh dulu yang namanya EF, ILP, LIA. Beliau belajar sendiri. Bahasa Jerman juga sama. Belajar sendiri. Memang beliau guru bahasa Inggris dan Jerman.
Papa saya bilang, kalau kakek saya itu bacaannya karya sastra karya Charles Dickens, sastrawan Inggris yang terkenal itu. Orang kampung lho ini, orang kampung. Orang kampung baca Charles Dickens di Tarutung. London dan Tarutung terpisah benua, jarak dan waktu. Tapi konon di daerah kecil di Tarutung sana, ada seorang laki-laki Batak yang menyelami pemikiran-pemikiran Charles Dickens.
Tahun 1970an, Papa saya studi di Jepang. Lalu satu waktu, beliau pulang kampung. Di bandara beliau dijemput bapaknya. Se panjang perjalanan dari bandara menuju rumah, apa yang dilakukan kakek saya? Beliau mengajak Papa saya berbicara dalam bahasa Inggris. Ini bukan sok-sok'an. Ini untuk mengetes Papa saya sudah layak jadi masyarakat internasional atau belum. Di penghujung percakapan, kakek saya bilang,
"Sekarang saya tenang. Kamu akan sukses, kamu sudah bisa jadi masyarakat internasional."
Ini orang kampung yang ngomong. Ngomong soal masyarakat internasional. Sekarang kita ribut-ribut soal globalisasi, soal go international dan sebagainya. Kakek saya yang dari Tarutung dan sekalipun tidak pernah ke luar negeri, sudah menyadari pentingnya menjadi bagian dari masyarakat internasional sejak tahun 1970an!
Pernah menyaksikan di jalan, ada mobil bagus banget, mahal pasti, tapi dia main salip dan serobot saja?
Pernah lihat orang yang gayanya sejuta, barangnya bermerek semua, tapi gampang aja buang sampah sembarangan?
Yang macam begini, mohon maaf, cuma tinggalnya aja di kota yang konon katanya simbol kemajuan, tapi kelakuannya sungguh terbelakang. Atribut mewah yang menempel sungguh bukan barometer kemajuan berpikir seseorang.
Lagipula, wacana kampung dan kota sebagai dua hal yang sepertinya bertolak belakang itu kan sebenarnya konstruksi budaya. Kota butuh "mengampungkan" kampung, agar ia dapat menonjol sebagai pihak yang unggul, yang dominan, yang "membimbing" kampung. Sementara sebenarnya, kemajuan itu bukan ditentukan dari di mana kita tinggal, tetapi lebih kepada didikan yang kita terima, lingkungan kita, apa yang kita baca, dengan siapa kita berdialog, dan pilihan kita untuk terpapar pada apa atau siapa.
Itu sebabnya, di sebuah desa di Tarutung sana, hadir kakek saya dengan pemikiran-pemikirannya yang progresif. Hidupnya diabdikan demi memajukan diri dan memajukan orang lain. Beliau banyak menerima kerabat untuk tinggal di rumahnya, biar bisa sekolah. Ini tinggal di kampung lho, tapi sadar pendidikan banget. Papa saya bilang, kalau bapaknya alias kakek saya, adalah sumber inspirasinya. Kakek saya tutup usia ketika saya masih kelas 5 SD dan saya tidak begitu mengenalnya secara pribadi, tetapi saya yakin, beliau orang hebat. Bukan karena harta yang dimilikinya (guru, di Tarutung pula, mau punya harta segimana sih?), tetapi karena pemikiran majunya yang melintasi jaman.
Mungkin di malam-malam sunyi di Tarutung, kakek saya tenggelam membaca novel Charles Dickens. Mungkin beliau mencatat kata-kata bahasa Inggris yang tidak beliau mengerti di novel itu dan mencari artinya di kamus. Mungkin beliau mengulang kosa kata bahasa Jerman yang sudah diketahuinya. Dan beliau disadarkan bahwa dunia sungguh luas, bukan hanya Batak, bukan hanya Tarutung.
Progresif itu milik semua orang. Yang mau memajukan dirinya sendiri dan memajukan orang lain. Ia cair, bisa digenggam oleh siapa saja yang mau berusaha menggenggamnya. Di mana pun kita berada, berapa pun usia kita, apapun status kita, progresif dapat menjadi milik. Jika kita mau meraihnya dan mengabadikannya dalam pikiran dan hati.
27 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

Minimalis yang tidak minimal

Sebelum membaca tulisan ini, mohon jangan disalahpahami, saya tidak bermaksud merendahkan Indonesia, sama sekali tidak. Lagipula jika saya merendahkan Indonesia, itu sama saja saya merendahkan diri saya sendiri sebagai bagian dari Indonesia. Tulisan ini lebih kepada mengajak kita semua untuk merenung dan memperbaiki diri.
Satu waktu, saya pernah menjadi ketua panitia sebuah acara. Karena biaya yang dibutuhkan cukup banyak, saya mencoba memangkas anggaran. Salah satu anggaran yang saya pangkas adalah kaos panitia acara. Ternyata pemangkasan ini mengundang riuh yang lumayan juga. Argumen keriuhan ini antara lain:
"Yaaaa, masa kaos aja ngga ada? Kita jadi ga semangat kerja."
"Kaos doang...kok gitu amat sih ngga ada kaos?"
Semua yang mengenal saya tentu tahu kalau saya bukan orang yang punya banyak baju. Koleksi saya terbatas, itu lagi itu lagi. Hanya, menurut saya, antara semangat kerja dan kaos baru, kurang jelas korelasinya. Seseorang bersemangat kerja karena memang dari hatinya punya etos kerja, bukan masalah ia mengenakan baju baru atau tidak.
Demikian juga misalnya saat Natal dan Lebaran. Saya sering menyaksikan betapa pertokoan mendadak menjadi berkali-kali lipat pengunjungnya karena semuanya sibuk beli baju baru untuk natal atau lebaran. Di beberapa tempat, ada yang tiap kali ibadah natal, booking salon dulu dan dandan lengkap. Baju yang dikenakan pun sudah semacam baju pesta. Iya tahu sihhh, natal adalah ulang tahun Yesus Kristus, tapi bukankah Yesus lahir dalam kesederhanaan? Sepertinya di kandang domba tempat Yesus lahir, tidak ada yang rambutnya bersasak tinggi dan berbusana pesta dengan selendang warna warni. Dengan busana wah macam ini, esensi kesederhanaan peristiwa natal menjadi agak kabur.
Saya juga beberapa kali menghadiri sidang promosi S3 di Indonesia. Karena sebelumnya belum pernah menghadiri, saya agak bingung ketika begitu mau masuk ruangan, kita harus isi buku tamu dulu. Selanjutnya kita diberi souvenir. Selesai acara, biasanya ada acara makan-makan bersama. Seperti datang ke pesta. Ada juga beberapa karangan bunga ucapan selamat.
Sekali lagi, saya bukan mengkritik atau merendahkan sidang S3 di Indonesia. Kalau memang mampu membuat acara meriah, silakan saja. Hanya saya terpikir, bagaimana dengan orang-orang yang uangnya tidak begitu banyak? Acara begini kan lumayan juga biayanya. Teman saya pernah bilang nilai nominalnya dan menurut saya lumayan juga. Nah kalau yang bersangkutan malah disibukkan juga dengan urusan pesan souvenir dan katering, sementara ia harus mempersiapkan diri juga untuk sidang, cukup melelahkan ngga sih? Lelah batin dan fisik dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Saya teringat ketika saya sidang S3 sekitar 2,5 tahun yang lalu. Rasanya tidak ada satu orang pun yang tahu saya sidang hari itu. Kecuali keluarga saya. Iya sih dibuatnya sidang terbuka dan diumumkan di papan pengumuman. Tapi tidak ada yang menghadiri selain saya dan para penguji. Keluarga saya pun tidak ada yang mengantar. Anak saya ke sekolah dan suami saya pergi kerja sambilan. Saya datang ke kampus dengan penampilan biasa saja. Celana panjang hitam dan kemeja biru tua, dan saya pakai blazer hitam. Yang paling juara adalah para penguji. Saat saya sidang, itu musim dingin. Para penguji mengenakan sweather, celana jeans, sepatu kets. Tidak ada penganan, air mineral pun tidak ada.
Sidang S3 saya berlangsung dalam suasana santai. Masing-masing penguji membawa disertasi saya yang sudah penuh dengan post it sana sini. Mereka bertanya secara detil dan memberi banyak masukan berharga. Sekitar 2 jam sidang berlangsung, setelah itu selesai. Semua cari makan sendiri-sendiri. Kalau tidak salah, sidang saya selesai tepat jam satu siang. Mulainya sekitar 10.30.
Di kampus saya dulu, disertasi penampakannya benar-benar sederhana, seperti pada foto di bawah ini. Saya ngga punya hard copy disertasi dalam bentuk hard cover. Belakangan, karena perlu menyertakan disertasi untuk penyetaraan ijazah, saya jilid sendiri, dalam bentuk soft cover. Lumayan juga ya, berasa beneran punya disertasi.
Sekalipun sidang saya "sangat sederhana", selama 6 tahun saya belajar, saya merasakan sendiri bimbingan akademik yang "tidak sederhana". Konten penelitian saya dikuliti habis-habisan, tidak jarang saya frustrasi karena kewalahan memperbaikinya. Mulai dari disertasi ini berpangkal dari sebuah embrio tema yang absurd sampai akhirnya menjadi satu bentuk utuh, perjalanannya benar-benar berliku, dalam, dan penuh tempaan.
Minimalis bukan berarti minimal. Tidak ada kaos baru, tidak ada baju baru saat natal atau lebaran, tidak ada sidang yang meriah, bukan berarti kita minimal dalam hal isi. Minimalis iya, tapi minimal tidak. Pada akhirnya, kualitas dinilai dari isinya, bukan dari tampilan luarnya.
Minimalis yang maksimal, bahkan mumpuni. Semoga kita dapat menjadi bagian dari budaya ini. Untuk kita renungkan bersama.
26 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

Saturday, July 22, 2017

The battle is with yourself, not with others


Tiba juga saya di penghujung akhir #nulisrandom2017. Untuk yang belum tahu, mulai 1 Juni 2017, saya mengikuti tantangan menulis 30 hari yang diadakan oleh komunitas nulisbuku. Syaratnya, kita harus menulis selama 30 hari, secara berkelanjutan. Topik tulisan bebas, yang penting menulis.
Saya menulis apa saja yang saya pikirkan, yang menggelitik nurani saya. Biasanya saya menulis di kereta, dalam perjalanan pulang atau pergi Bogor-Depok. Dalam prakteknya, saya tidak dapat menulis setiap hari, karena pada bulan Juni, saya harus mengerjakan beberapa hal yang cukup menyita waktu, seperti deadline dua makalah dan menghadiri konferensi hampir selama satu minggu. Belum lagi setelah pulang dari konferensi, badan ngga fit sampai satu mingguan, kepala pusing dan badan lemas, mungkin saking padatnya acara selama satu mingguan itu.
Program #nulisrandom2017 mengharuskan kita untuk menulis rutin setiap hari, jadi seharusnya kalau kita taat aturan, kita akan menyelesaikan program ini tanggal 30 Juni 2017. Tetapi, untuk saya, tanggal 30 Juni 2017 saya belum menyelesaikan rangkaian 30 hari menulis saya. Lalu saya ngapain? Udahan? Berkecil hati?
Ngga, dong. Saya tetap komit menulis. Sudah menetapkan 30 hari menulis ya harus diselesaikan. Saya menikmati prosesnya. Saya senang proses menulis dan menuangkan pikiran yang saya lakukan. Saya senang tulisan saya dibaca teman-teman di FB dan bahkan ada beberapa yang baru saya kenal berkat mereka membaca postingan tulisan-tulisan saya. Saya paling senang jika apa yang saya tulis ternyata dirasakan juga oleh teman-teman yang membaca dan akhirnya terjalin dialog di kolom comments. Jadi semacam menciptakan ruang untuk berbagi.
Kebanyakan tulisan saya memang tentang perempuan dan masalah-masalah yang dianggap "bukan masalah". Betty Friedan menyebutnya "a problem that has no name". Ini mengacu kepada masalah-masalah perempuan dalam norma patriarki yang dianggap remeh dan ngga penting, yang saking dianggap bukan masalah, jadi "tidak layak" untuk disuarakan dan membuat yang bersangkutan malah merasa bersalah jika ia menyuarakan masalahnya itu. Misalnya saja, masalah capek urus anak, jengah ditanya soal pernikahan atau kapan hamil, dilema antara mengejar impian dan "kewajiban" mengurus rumah tangga. Saya sebenarnya tidak meniatkan tulisan saya akan banyak bertema tentang perempuan. Tapi karena hal-hal tersebut yang menggelitik hati saya, jadi hal-hal itu yang saya tulis.
Sebenarnya, saat sudah menginjak 30 Juni, saya bisa saja memutuskan untuk udahan. Tapi saya tidak mau. Saya kan sudah komit pada diri sendiri untuk merampungkan 30 tulisan. Waktu jangan menjadi penghalang. Jika tidak bisa sama ritmenya dengan yang lain, jangan patah arang, jangan merasa ketinggalan, selesaikan pelan-pelan sampai selesai.
Seperti itulah hidup. Peperangan utama kita adalah melawan diri sendiri, bukan melawan orang lain. Papa saya bilang bahwa orang yang berhasil dalam hidupnya adalah orang yang berani melawan dirinya sendiri. Melawan kemalasan, keputusasaan, ketakutan untuk gagal. Melawan ketidakberdayaan dan keengganan. Melawan keterburu-buruan dan keinginan untuk memaksakan segala sesuatu.
Hidup itu tidak selalu berjalan sesuai kemauan kita. Ada kalanya kita harus sabar menunggu. Ada kalanya kita harus tancap gas. Ada kalanya kita harus berjalan perlahan-lahan. Ada kalanya kita harus merangkak atau melangkah hanya dengan satu kaki. Apapun itu, jangan dilawan. Tetap ikuti dan jangan memaksakan diri. Tapi di saat bersamaan, tetap teguh hati memegang harapan dan impian. Pada akhirnya kita akan mencapai tujuan. Pasti.
Pada akhirnya, 30 tulisan saya ini rampung juga. Tidak secepat ritme "normal" memang. Tertinggal 22 hari. Nyaris dua kali lipat dari waktu yang seharusnya. Tapi yang penting selesai, bukan?
Demikian juga halnya dengan aspek kehidupan kita yang lain. Keluarga, karir, spiritualitas, menurunkan berat badan, studi, mengurus anak. Apapun itu. Setiap orang punya waktunya masing-masing.
Kecenderungan masyarakat kita adalah, apa-apa dinilai dengan mitos waktu. Kalau umur segini belum punya rumah, ada yang tidak beres. Kalau baru umur segini mulai kuliah, dibilangnya aneh. Kalau umur segini belum dapat kerja, dianggap pecundang. Kalau umur segini belum menikah, berarti dia dimarjinalkan. Dan sebagainya. Dan sebagainya.
Kita sendiri, pelaku kehidupan, yang harus mematahkan mitos itu. Bahwa waktu bukan batas. Umur bukan batas.
Membandingkan diri dengan orang lain hanya akan membawa kesia-siaan. Sebaliknya, membandingkan diri kita dengan diri sendiri di masa lalu dan punya visi mau jadi apakah kita di masa depan, akan menjadi penyemangat untuk kita hidup lebih baik dari hari ke hari. Bersainglah dengan diri sendiri, bukan dengan orang lain. Karena masing-masing orang punya perjuangannya sendiri-sendiri. Sirik-sirik lihat orang lain sukses itu biasa. Wajar. Tapi jangan akhirnya kesirikan itu membuat kita jadi bermuram durja merutuki hidup.
"Aserazu, tayumazu, yukkuri shikkari gambattekudasai." (Jangan terburu-buru, jangan terpelecok, tenang dan teguh, berjuanglah sepenuh hati).
The battle is yours, with yourself! Enjoy the process! And, let us live. Breath. Relax. And be joyful!
Bogor, 22 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu
PS: Terima kasih untuk semua yang sudah baca tulisan saya. #nulisrandom2017 sudah saya rampungkan. But, I won't stop writing. Never. Meminjam perkataan Rene Descartes, "cogito ergo sum" (saya berpikir, maka saya ada). Untuk saya, "saya menulis, maka saya ada." So, see you again, guys! Dalam tulisan berikutnya dan berikutnya dan berikutnya, selamanya!

Tidak ada kata terlambat untuk memulai


Tadi saya ke kampus dan bercakap-cakap dengan rekan-rekan sekerja. Mereka usianya masih 20an dan awal 30an, tapi kesadaran ilmiahnya tinggi banget. Jujur, saya salut.
Jaman saya umur 20an, terus terang kesadaran ilmiah saya rendah. Kesadaran ilmiah di sini maksudnya, sebagai akademisi saya sadar pentingnya publikasi, pentingnya presentasi ilmiah di berbagai simposium. Bukan "hanya" mengajar.
Ketika umur saya 20an, saya memang sudah ingin menjadi dosen. Tapi, saya mau jadi dosen karena suka mengajarnya. Sama sekali tidak terpikir untuk penelitian, publikasi, presentasi ilmiah.
Beberapa kali saya pernah menghadiri simposium ilmiah saat usia saya 20an. Sebagai peserta. Saya hanya merasa, orang macam saya tidak mungkin presentasi ilmiah, tidak mungkin publikasi ilmiah di jurnal. Apalagi bikin buku. Itu sesuatu yang mustahil. Pulang dari simposium, yang tersisa adalah rasa kagum. Kagum pada orang-orang yang bisa publikasi dan presentasi ilmiah.
Yang lebih konyol lagi, dulu saat saya kuliah S2 di UI, saya pernah mengikuti kuliah yang salah satu pengajarnya adalah Profesor tersohor di bidang sastra dan feminisme. Pada akhir perkuliahan, kita harus membuat makalah. Saya lalu mengerjakan makalah dan mengumpulkannya. Ternyata makalah saya dapat nilai yang cukup tinggi dan beliau menuliskan pesan kepada saya untuk saya memasukkan makalah tersebut ke salah satu jurnal studi Jepang saat itu. Saya ingat sekali pesan beliau. "Kamu harus masukkan tulisan ini, mereka butuh tulisan seperti ini."
Tentu saja saya senang dipuji Profesor hebat. Tapi, karena saat itu kesadaran ilmiah saya kurang, saya tidak menindaklanjuti dengan memasukkan makalah saya. Saya biarkan saja. Semata-mata alasannya karena saya malas mengirimnya. Sampai sekarang saya tidak tahu makalah itu di mana, hard copy maupun soft copynya. Coba kalau saat itu saya sudah punya kesadaran ilmiah tinggi. Mungkin saya akan berusaha mengontak profesor itu. Mungkin saya akan mencoba networking dan mengemukakan passion saya dalam dunia pendidikan. Tapi saat itu saya tidak punya soft skill seperti itu.
Lalu saya studi ke Jepang. Alasan studi sangat sederhana: ilmu saya sangat kurang dan saya ingin ilmu saya bertambah. Pada umumnya, yang memang pekerjaannya dosen itu, sudah punya "feel" akademik sebelum mulai studi. Ia sudah terbiasa dengan presentasi ilmiah dan publikasi. Saya bagaimana? Saat saya studi, status saya itu Ibu rumah tangga dengan satu anak usia 1 tahun 10 bulan. Sebelumnya saya adalah dosen tidak tetap pada sebuah perguruan tinggi swasta, tapi karena status saya tidak tetap, saat saya memutuskan studi, saya harus melepas pekerjaan saya.
Jadi, bisa dibayangkan kan, seorang Ibu rumah tangga studi di Jepang dengan anak usia 1 tahun 10 bulan? Jujur ya, tahun-tahun awal, slot otak saya lebih banyak dipenuhi dengan daftar belanjaan di supermarket, urusan daycare anak, rasa galau karena suami jadi house husband "gara-gara" saya. Kalau orang lain full speed langsung research dari masa research student, saya ngga. Begitu lama saya butuh waktu untuk terbiasa dengan yang namanya research, baca buku, menulis ilmiah. Profesor dengan tajam selalu bilang pada saya, "kamu tidak mengerti apa-apa. Kamu tidak tahu apa-apa."
Tesis S2 saya adalah sampah. Bukan mengada-ada. Profesor yang bilang sendiri. Saya sampai tidak yakin mau lanjut S3. Takut memproduksi sampah yang lebih parah lagi.
Tapi Profesor saya saat itu bilang dengan tegas, "kalau kamu tidak bisa mematahkan limit kamu sekarang ini, seumur hidup kamu akan jadi pecundang, tidak akan jadi apa-apa."
Mati, mati, mati. Mau jadi looser seumur hidup? Karena takut jadi pecundang seumur hidup, akhirnya saya beranikan diri untuk lanjut studi.
Tahun pertama S3 masih galau, tahun kedua paruh pertama, baru saya mulai menemukan feel akademik itu. Setelah melewati 4,5 tahun yang panjang ngga ngerti apa-apa, untuk pertama kalinya Profesor mengapresiasi kinerja saya. Saya tahu itu benar-benar pertolongan Tuhan, kalau akhirnya ada setitik sinar terang dari rangkaian panjang studi saya.
1,5 tahun terakhir studi saya memang tidak bisa dibilang mudah, tapi setidaknya saya sudah sedikit menguasai medan. Bebannya lebih kepada mengejar deadline, bukan merasa lost, tersesat, dalam pengembaraan tidak ada ujung.
Saya hanya ingin bilang, bahwa perkataan tidak ada kata terlambat untuk belajar itu memang benar adanya. Sekalipun kita ibu-ibu punya anak bayi, sekalipun kita pengangguran, sekalipun kita sangat terlambat memulai. Kita bisa mendesain ulang hidup kita, jalan yang akan kita tempuh.
Terus terang saja, studi pascasarjana itu bukan hal mudah. Apalagi untuk orang dengan banyak keterbatasan seperti saya. Tapi justru karena saya terbatas, saya lemah, saya banyak ketidakmampuan, saya dapat dengan yakin berkata, "Dalam kelemahanlah kuasaMu menjadi sempurna."
Bogor, 22 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

"Kapan punya anak?"


Emberan ya, halak kita ini kayaknya gatel banget pengen nanya soal kita udah punya anak or ngga, sejak hari pertama nikah. Kayaknya di awal-awal nulisrandom2017 ini saya pernah juga bahas soal pertanyaan kapan punya anak, tapi saya tergelitik ingin bahas lagi khusus, only tentang pertanyaan kapan punya anak.
Teori dan prakteknya, embrio ngga akan ada di rahim, jika tidak ada pertemuan sperma dan indung telur. Ingat, janin tidak akan terjadi hanya karena ada indung telur. Kita butuh sperma, benar? Artinya apa? Embrio alias bakal anak ini terjadi atas kerjasama sama rata suami istri. Ya bukan suami istri juga bisa banget punya anak, tapi hari ini saya mau bahas tentang status perempuan yang sudah menikah dan kerap kali ditanya tak henti soal kapan punya anak. Jadi untuk kali ini kita bahasnya yang di dalam kerangka pernikahan ya.
Entah di suku lain gimana, tapi kalau di suku Batak, punya anak itu udah kayak kewajiban. Dengan garis keturunan patrilineal garis keras, dalam adat Batak, orang yang ngga mau punya anak itu dipandang aneh. Dianggap sok modern, ngga benar, dan sejenisnya. Yang ngga bisa punya anak juga dianggapnya pesakitan. Disuruh segera berobat, didesak-desak terus. Yang menunda untuk punya anak ya dianggap sinting juga. Dianggap nolak rejeki. Intinya, hari ini nikah, kalau bisa, besok langsung hamil. Lebih cepat lebih baik! Dan....lebih banyak anak lebih baik!
Yang "aneh", meski anak itu ada di rahim berkat pertemuan sel telur dan sperma, yang selalu ditanya soal kapan punya anak, kapan punya anak itu hanya perempuan. Laki-laki sangat jarang ditanya atau ditekan atau diopresi soal ini. When it comes to child, so woman it is! Laki-laki silakan makan kacang dan minum bir aja sambil ngobrol-ngobrol di teras.
Tapi hal "aneh" di atas, menjadi tidak aneh jika kita membedahnya dari perspektif gender. Konstruksi budaya sudah mengatur bahwa tempat laki-laki itu di luar rumah, di ranah publik, sedang tempat perempuan itu di dalam rumah, di ranah domestik. Dan karena perempuan punya rahim, maka urusan anak ini di bawah sadar dianggap urusan perempuan, minimal perempuan yang lebih bertanggungjawab. Ini sama seperti urusan kerjaan. Kalau perempuan nganggur, tinggal "lari" jadi ibu rumah tangga, dia tetap dapat status, tapi kalau laki-laki yang nganggur? Kalau dia "lari" jadi Bapak rumah tangga, dari pengalaman saya, laki-laki ini dianggap looser alias pecundang. Mengapa? Karena, nilai laki-laki "sejati" itu ada pada apakah dia punya power secara ekonomi atau ngga, alias dia punya pekerjaan yang stabil atau ngga. Sebaliknya, perempuan juga dianggap bukan perempuan "sejati" jika ia belum punya anak dan belum menikah. Mengapa? Karena, nilai perempuan "sejati" itu ada pada motherhood dan wifehood. Makanya kan, orang-orang di sekitar kita ribuuuuuut banget kalau kita, perempuan, belum menikah padahal sudah melewati batas umur tertentu atau belum juga dikaruniai anak setelah sekian lama menikah.
Untuk sesama perempuan yang saat ini sedang struggle dengan pertanyaan tak ada ujung soal kapan hamil, kapan punya anak, saya hanya ingin berkata: "keep your chin up, because you are more than "just a woman", you are a human! Dan sebagai manusia, kita punya kebebasan memilih dan mendesain hidup kita mau seperti apa. Termasuk di dalamnya, family planning, kapan mau punya anak, mau punya anak berapa, saat umur berapa.
Untuk yang memang sebenarnya ingin punya anak tapi memang belum diberi kesempatan hamil, saya tahu, sungguh rese mendengarkan komentar soal kapan hamil bla bla bla, tapi saya hanya ingin bilang: hamil atau ngga hamil, kita tetap manusia utuh! Patriarki memang kejam, menilai kita berarti hanya jika kita hamil dan punya anak, dan membuat segala prestasi kita di luar kehamilan seperti punya kerja yang bagus, karakter yang baik, sekolah yang tinggi, menjadi tidak ada artinya. Bahkan, pemikiran bahwa hamil itu prestasi saja, menurut saya sudah tidak benar. Hamil itu anugerah, bukan prestasi.
Saya hanya ingin bilang kepada setiap perempuan yang struggle dengan wacana kehamilan: don't let patriarchy norms define us! Karena....kita yang bertanggungjawab untuk mendefinisikan diri kita sendiri, bukan norma patriarki.
Sebagai perempuan, apalagi perempuan dalam lingkungan batak, saya pun tidak luput dari pertanyaan-pertanyaan seputar kapan hamil. Tentu saja saya tidak mengkonfrontir balik dan cari ribut ketika terus-terusan ditanya kapan hamil, tetapi semakin kuat berondongan pertanyaan itu, saya semakin intens berdialog dan menguatkan diri sendiri: tubuh ini milik saya, saya punya hak penuh menentukan kapan hamil dan saya sangat percaya, Tuhan pun tidak pernah memaksa, jadi mengapa saya harus merasa lemah dengan ucapan-ucapan orang-orang di sekitar saya?
Karena teman terbaik kita adalah diri kita sendiri. Sebelum bersosialisasi dengan orang lain, pastikan kita bersosialisasi dengan diri kita sendiri. Berdialog dengan diri sendiri. Mengenal dalam-dalam diri sendiri. Memahami diri sendiri. Mendefinisikan diri sendiri. Sehingga, ketika ada yang mencoba mendefinisikan hidup kita, kita tidak goyah dan tetap teguh hati berpegang pada apa yang kita anggap benar. Dengan segala resikonya.
Karena, dengan berani mendefinisikan diri kita, kita mengukuhkan hakekat kemanusiaan kita.
Bogor, 20 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

Memajukan orang lain


Setiap orang pasti ingin hidupnya maju. Lebih baik dari hari ke hari. Itu wajar. Siapa yang menginginkan kemunduran? Ngga ada kan?
Lalu kita melakukan segala usaha agar kita bisa semakin maju, sejahtera, makmur. Usahanya bisa halal, bisa juga tidak. Ada yang bekerja keras, berusaha mati-matian agar maju. Ada yang mengasah skill networking sana sini. Ada juga yang mungkin kurang sabar, jadi akhirnya cari cara pintas. Entah menjilat, nyogok sana sini, atau korupsi.
Mau cara yang halal atau tidak halal, intinya semua orang itu ingin agar hidupnya lebih baik dan lebih maju dari hari ke hari. Baik dalam hal keluarga, karir, materi, kepribadian.
Tapi, pernah ngga kita berpikir untuk memajukan orang lain dalam keseharian kita? Melalui pekerjaan, kegiatan sosial atau apa saja yang dapat kita lakukan.
Papa saya berkata pada saya, "Dalam bekerja, ada dua hal yang harus selalu diingat. Kita memajukan diri sendiri dan memajukan orang lain. Bekerja tidak ada gunanya jika diri sendiri yang maju, tapi kita tidak mampu memajukan orang lain."
Kata-kata itu diucapkan kepada saya di hari-hari pertama saya menjadi dosen. Saya lalu teringat hari-hari ketika Papa saya masih aktif menjadi dosen. Beliau berkembang, tapi tidak pernah lupa untuk mengembangkan orang lain. Setelah karirnya mulai stabil, beliau berupaya untuk memajukan rekan-rekannya yang lebih muda, agar lebih berkembang dan mendapat banyak pengalaman. Ada yang berterima kasih padanya, tetapi ada juga yang setelah ditolong malah pergi entah kemana. Tapi beliau tidak peduli. Sampai purna bakti pun track record Papa tetap sama: memajukan diri sendiri dan memajukan orang lain.
Sisi gelap manusia yang mungkin jarang diungkap terang-terangan adalah, kita tidak senang jika ada orang lain yang lebih baik dari kita. Kita merasa tersaingi, merasa terancam, merasa iri hati. Saya juga tidak memungkiri, sebagai manusia, saya punya perasaan-perasaan itu. Saya rasa semua manusia pasti merasa seperti itu jika melihat orang lain berhasil. "Wah dia udah naik pangkat aja, gue belum. Wah dia udah hebat, gue gini-gini aja." Timbul rasa tidak aman dalam diri kita dan ini sebenarnya normal.
Tapi sebenarnya perasaan-perasaan itu bisa diminimalisir jika kita percaya diri akan kualitas kita. Orang yang berkualitas pasti akan selalu memikirkan cara untuk memajukan orang lain, karena ia tidak takut bersaing dan percaya pada kemampuan dirinya. Dan jika orientasinya adalah untuk kemajuan, dia pasti akan berusaha agar orang lain berkembang sambil ia terus mengembangkan diri.
Saya selalu ingat etos kerja memajukan orang lain itu. Itu sebabnya, jika ada yang minta tolong pada saya dalam rangka pengembangan dirinya, saya selalu berusaha untuk membantu sebisa saya. Tentu waktu saya jadi tersita beberapa saat, tapi saya anggap ini bagian dari pekerjaan, jadi saya tidak merasakan sebagai sebuah beban. Di kelas juga saya selalu berusaha memberikan yang terbaik agar mahasiswa-mahasiswa saya dapat semakin berkembang. Kelak jika saya sudah lebih stabil karirnya, saya berharap dapat menggunakan kestabilan tersebut untuk lebih lagi memajukan orang lain, bukan hanya memajukan diri sendiri.
Beberapa hari yang lalu, saya mendapat pekerjaan tambahan yang sebenarnya saya ngga yakin dibayar atau ngga, tapi saya cukup bersemangat karena melalui pekerjaan ini saya dapat memajukan diri sendiri dan orang lain. Lalu ada teman yang menanggapi, "banyak kerjaan sih banyak kerjaan, tapi ada duitnya ngga?"
Memang susah jadi orang sok idealis, begitu dapat kerjaan, yang pertama-tama dilihat adalah hal-hal non material seperti kerjaan ini memajukan diri saya ngga, kerjaan ini mengembangkan orang lain ngga. Tidak heran, sampai hari ini saya ngga kaya-kaya. Tapi ya gimana, sejak kecil saya lihat contoh Papa saya yang selalu bilang, "kalau kerja jangan pikirin duitnya, jangan apa-apa mau duitnya dulu, tapi pikirin kerjaan itu bisa bikin kita dan orang lain berkembang atau ngga." Mama juga sama kayak gitu, kakek nenek saya juga. Bukan orang yang menilai apa-apa dengan uang.
Dalam hidup yang serba terburu-buru dan penuh dengan persaingan ini, ide memajukan orang lain mungkin terdengar usang. Ia mungkin jargon kuno yang sudah lekang dimakan waktu di dalam kehidupan yang berorientasi ambisi seperti saat ini. Dunia bergerak cepat dan penuh dengan persaingan yang membuat kita takut tertinggal. Tetapi, untuk saya, etos kerja memajukan orang lain hadir sebagai pengingat untuk saya bersikap lebih santai dan tidak terburu-buru dalam hidup ini, sebagai upaya untuk mengembalikan hakekat diri sebagai manusia yang pada dasarnya membutuhkan dan dibutuhkan orang lain.
Kita memang bertanggungjawab memajukan diri sendiri, tetapi kita juga mengemban tugas memajukan orang lain. Karena jika hidup kita tidak memberi manfaat untuk orang lain, di titik itu kita kehilangan sukacita memberi dan hidup menjadi menurun kualitasnya jika kita hanya memikirkan diri sendiri.
Bogor, 19 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

Jumat pagi, Jumat deadline.


Sekilas kerjaan saya kayaknya enak, "cuma ngomong-ngomong aja", "cuma ngajar-ngajar aja", "cuma aktualisasi diri ngomong soal gender"
di depan para pendengar atau mahasiswa".
Well, mereka ngga tahu, kalau saya sampai begadang menyiapkan ini semua. Sama juga dengan presentasi di conference. Cuma ngomong 15 menit dan jawab beberapa pertanyaan, apa susahnya? Lagi-lagi, ngga ada yang tahu kan malam-malam panjang memeras otak demi menghasilkan sebuah presentasi yang semoga cukup berbobot dalam waktu 15 menit.
Mengajar juga sama aja. Berdiri di depan mahasiswa menjelaskan berbagai macam konsep, kelihatannya gampang. Ngga tahu kan kalau bagian paling susah dari kasih kuliah itu adalah persiapannya? Baca materi, bikin catatan penting, menyiapkan power point.
Nulis jurnal paling cuma berapa halaman sih, 8-10 halaman? Nulis-nulis aja kan, di rumah juga bisa? Ngga ada yang tahu kan, agar bisa menghasilkan tulisan ilmiah itu, sambil nulis saya sambil cek data, sambil baca lagi, analisis lagi, mikir lagi, merangkai kata biar pemikiran saya jelas terwakilkan. Ruang komputer di rumah berantakan banget sekarang, buku di mana-mana. Tiap pegang buku-buku itu ngga habis-habisnya bersyukur, pas pulang ke Indonesia berkeras mau bawa semua buku itu termasuk fotokopian2 kuliah, sampai baju-baju saya tinggalkan, pokoknya prioritas utama saya buku. Ngga kebayang kalau ngga punya buku-buku ini, tahu sendiri kan di Indonesia akses informasi masih agak sulit.
Jadi kalau ada pembicara seminar yang ngomong di depan publik dan kita berpikir, "Enak ya dia ngomong-ngomong aja kerjanya", ingat, di balik "ngomong-ngomong aja" itu ada keringat peluh air mata sampai akhirnya dia bisa "ngomong-ngomong aja". Ada persiapan, ada perjuangan.
Dan biar kita punya materi untuk "ngomong-ngomong aja", ya kita mesti belajar, mesti nulis, mesti punya ide-ide baru. Makanya nih, biar saya bisa berkelanjutan ngomong-ngomong terus, ya saya belajar, saya nulis, saya membaca. Meski, karena kerjanya dari rumah dan saya ngetik-ngetik di depan komputer, anak saya menganggap saya ngga kerja dan bilang, "Mama mah main-main komputer aja."
Kerja itu bukan cuma yang pergi pagi-pagi jadi orang kantoran, di mari juga kerja, sambil ntar harus ngantar anak les, masak makan siang, nunggu anak les bawa-bawa laptop ngejar deadline makalah, kurang berjuang apalagi coba ini?
Jumat pagi, Jumat deadline, dengan pertanyaan random anak, "Mama, Hellen Keller itu seperti apa?" Dan karena besok weekend yang so called family day, alamat ini makalah harus diberesin hari ini biar tenang jalan-jalan besok. Ini resikonya jadi ibu-ibu so called researcher ya bok!
Semangat, semangaaaaat, untuk jalan hidup yang kita pilih!
14 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu