Monday, June 12, 2017

Menjadi ibu, senangkah?

Tulisan ini terinspirasi dari salah satu komentar pada tulisan saya sebelumnya. Selama mengikuti rangkaian kegiatan #nulisrandom2017 ini, saya menulis berdasarkan kata hati saja. Apa yang ingin saya tulis, itu yang saya tulis. Demikian juga halnya ketika saya membaca komentar tentang capeknya jadi ibu. Saya jadi tergelitik untuk mengupas hal ini lebih dalam.
Dalam bukunya yang menjadi salah satu dasar gerakan feminisme gelombang 2 di Amerika, yaitu "Feminine Mystique", Betty Friedan menyebut masalah depresi, kekosongan, ketidakbahagiaan yang dialami perempuan kulit putih yang tinggal di pinggiran kota, sebagai "a problem that has no name" atau "masalah yang tak mempunyai nama". Jadi, pada masa itu, perempuan dianggap pasti bahagia, pasti bersukacita, pasti batinnya puas, jika ia menjadi ibu dan istri. Perempuan-perempuan kulit putih yang diwawancarai oleh Betty Friedan ini adalah perempuan-perempuan yang secara materi berkecukupan karena suaminya punya pekerjaan bagus. Masyarakat menjadikan perempuan-perempuan ini sebagai role model kebahagiaan sejati wanita. Materi cukup, status mulia sebagai istri dan ibu, ratu dapur, dicintai anak dan suami. Kurang apalagi? Tetapi ternyata Friedan menemukan perempuan-perempuan ini tidak bahagia. Mereka merasa kosong, depresi, galau. Sering mereka diam-diam menangis dan minum anggur ketika anak-anak mereka pergi sekolah. Mereka merasa sesuatu tidak beres dengan mereka, tapi mereka tidak berani mengakui mereka punya masalah. Mereka bahkan merasa mereka salah karena mereka tidak bahagia dengan kehidupan yang konon dimitoskan sebagai kehidupan sempurna dambaan setiap perempuan Amerika saat itu. Tapi melalui wawancara demi wawancara oleh Betty Friedan, kebenaran itu terkuak. Kebenaran bahwa perempuan-perempuan ini tidak bahagia hidup dalam mitos bahagia versi masyarakat patriarki di Amerika setelah Perang Dunia 2 berakhir, yaitu mitos bahagia menjadi ibu dan istri dari seorang laki-laki yang cukup mapan. Sampai-sampai, masalah depresi mereka tidak diakui sebagai masalah, dianggap masalah konyol, cemen, tidak ada artinya, dibanding masalah-masalah seperti masalah kenegaraan, politik, ekonomi.
Lebih dari setengah abad setelah Betty Friedan menemukan istilah "A problem that has no name", tetapi hingga hari ini, fenomena "masalah tak bernama" ini masih kita temui dalam hidup sehari-hari perempuan, spesifiknya kali ini yang mau saya bahas adalah perempuan yang adalah ibu.
Sebelum benar-benar menjadi ibu, kita, perempuan, terus menerus mendengar kisah demi kisah bahwa menjadi ibu itu adalah kebahagiaan sejati dan terbesar seorang perempuan. Bukan hanya mendengar cerita-cerita dari orang-orang di sekitar kita, tetapi juga kita melihat melalui role model di dunia iklan, majalah, film, drama TV mengenai sosok seorang ibu yang wajahnya selalu penuh sukacita dalam mengasuh anak. Masa-masa hamil cantik, melahirkan cantik, dan mengasuh anak secara cantik. Membuat kita yang belum mengalami hal tersebut menjadi tidak sabar ingin mengalami kebahagiaan sejati bersama buah hati.
Mengingat saya memang orang yang sejak dulu selalu mempertanyakan segala sesuatu, saya diam-diam sudah curiga dengan iklan-iklan cantik tentang ibu yang hamil atau mengasuh batita. Saya pikir, masa iya calon ibu bisa tetap cantik di saat sedang kepayahan muntah-muntah morning sickness. Saya pikir, masa iya ibu tetap bisa senyum bahagia jika ia tidak tidur semalaman karena anaknya segar bugar di malam hari.
"Kecurigaan" saya ternyata benar. Selama hamil, saya sangat jauh dari kata cantik. Mana nih kulit bersinar? Yang ada kulit saya makin kusam. Dan entah karena pengaruh hormon atau apa, badan saya menjadi lebih bau daripada biasanya. Setiap malam saya mengeluarkan banyak keringat padahal sudah tidur di ruang ber-AC. Benar-benar aneh.
Semakin hari beban di perut semakin berat, saya semakin lelah, tetapi saya tidak diberi ruang untuk boleh mengeluh. Kalau tampang saya tidak bersukacita, saya biasanya dibilang ngga boleh bete, ntar anaknya bisa ngerasa, jangan stress, nanti anaknya ikutan stress. Mengerti sih yang mereka semua bilang, tapi kok ya ngga ada yang mengerti isi hati saya? Bahkan menyebut diri ini lelah pun seperti tidak diperkenankan.
Lalu anak saya lahir. Saya harus mengakui bahwa bertemu dengan anak saya untuk pertama kalinya adalah pertemuan terindah untuk saya. Saya langsung menangis bahagia begitu Joanna lahir. Bayi besar ini (bukan bayi kecil karena anak ini emang beneran besar dari lahir) betul-betul anak saya. Jadi, gambaran dasarnya atau bottom line-nya memang benar: menjadi ibu itu memang membuat hati sukacita.
Tetapi, dalam kesehariannya, bahagia itu tidak selalu menyertai. Dalam malam-malam kelam saat payudara saya sakit dan bengkak plus saya demam karena ASI macet pada tiga hari pertama, kejengkelan melingkupi hati saya. Di malam-malam panjang saat saya harus menyusui Joanna dan dilanjutkan dengan dia rewel jika saya mencoba tidur, saya meradang melihat suami saya tidur nyenyak dan saya sungguh ingin memindahkan payudara saya ke dadanya agar dia gantian menyusui dan saya tidur. Tidak jarang saya membangunkan suami saya agar dia ikut begadang, intinya harus senasib dia ngga tidur juga. Pada masa-masa newborn saat Joanna sakit dan semalaman dia harus tidur dengan menyusu pada saya, dan jika saya tinggalkan sebentar ia akan menangis kencang, sementara saya juga terserang diare dan lima menit sekali saya ke kamar mandi, saya menyusui sambil menangis jengkel dan kesal dan berteriak dalam hati, "Tuhan, impian saya ini mau sekolah di Jepang, bukannya terperangkap dalam diare dan menyusui dalam saat bersamaan dan satu malaman!"
Namun, di hari-hari sengsara itu, saya seolah-olah "dipaksa" untuk tetap merasa oke, baik-baik saja, bahagia, tidak ada masalah, dengan berbagai macam ungkapan dari sekitar seperti:
"Ntar anaknya cepat gede, ngga kerasa lho, jadi begadangnya harus dinikmati."
"Dinikmatin aja masa-masa sekarang."
"Senang ya punya mainan baru, tiap hari ada aja ya kebisaan barunya."
"Ibunya harus happy terus dong ya biar anaknya happy juga."
Jika saya nekat bilang, "Saya capek, saya ngga merasa senang menyusui tengah malam, saya ingin tidur", pasti yang ada saya dipandang aneh dan sebelum saya mengeluh lebih lanjut, saya sudah dibungkam. "Eh jangan ngomong gitu! Harus bersyukur punya anak!" Ya, karena persoalan yang saya hadapi adalah persoalan tanpa nama, maka begitu saya mencoba memberinya nama, langsung ada usaha untuk mematahkannya, karena suara saya bukan representasi norma patriarki yang berterima di dalam masyarakat.
Saya hanya ingin kita semua lebih bersimpati dan memahami para ibu, terutama ibu baru. Saya ngga hiperbola jika saya bilang, menjadi ibu itu "life changing experience." Beautiful yet stressful, happy but sad in the same time. Semua perasaan campur aduk, dan keadaan jadi makin runyam karena di satu sisi kita dikondisikan harus bahagia terus, tapi di sisi lain, kita tidak dapat menampik bahwa kita lelah, stress, capek, dan rindu kebebasan masa lajang.
Ibu itu bukan sosok malaikat yang sempurna, yang selalu siap mengalah, yang bahagia dapat berkorban setiap saat. Bukan. Ibu itu manusia biasa, seorang perempuan dengan segala emosinya. Kadang dia senang, kadang dia sedih. Kadang dia marah, kadang dia lembut hati. Membungkam suara-suara kemarahan seorang ibu berarti tidak mengakui ibu sebagai manusia utuh dengan emosi lengkapnya.
Sekarang bayangkan, seorang perempuan, mulai dari dia hamil, sudah mengalami perubahan pada tubuhnya. Emangnya saya ngga serem, 9 bulan bawa-bawa makhluk hidup di dalam perut? Setelah melahirkan, ritme hidup pun berubah. Harus ngikutin jadwal anak. Iya memang pada akhirnya kita bisa menyesuaikan diri, tapi itu semua butuh waktu. Butuh proses, tidak bisa instant. Herannya, tidak sedikit dari antara kita yang menganggap ibu itu manusia sakti. Stress free, anger free,dan selalu penuh sukacita karena sumber bahagianya sudah nyata: anak. Just give us time to breath, just give us a break!
Kita, perempuan, harus bersuara, harus memberi nama pada "a problem that has no name". Jangan bungkam dan jangan mau dibungkam. Menjadi ibu itu adalah bahagia dan sedih di saat bersamaan, senang dan susah di dalam satu sejarah kehidupan. Bukan hanya bahagia, bukan hanya sedih. Menjadi ibu adalah merasakan sukacita dan rasa marah secara bersamaan, di dalam satu dasar yang kuat, yang kita namai: cinta tak bersyarat.
12 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu

"Anak sumber kebahagiaan?"

Di dalam masyarakat kita yang masih bergerak, berjalan menurut norma patriarki, anak dianggap sebagai pemenuhan kebutuhan batin sejati dari seorang perempuan. Setelah menikah, saya juga sangat sering menerima komentar dari kanan kiri, berupa :
"Kapan punya anak? Jangan ditunda-tunda ya."
"Udah hamil? Cepetan tuh, papa mamanya udah pengen gendong cucu." (Padahal Papa Mama saya satu kalipun tidak pernah mendesak saya untuk buru-buru punya anak, karena mereka emang orang-orang level tinggi yang sangat menghormati kebebasan individu dan paham betul, namanya punya anak, pertama-tama harus timbul niat mulia dari yang bersangkutan).
Herannya, suami saya jarang dapat pertanyaan seputar anak. Hanya saya saja yang dibombardir pertanyaan seputar kehamilan dan punya anak.
Setelah menikah, saya dan suami memang sengaja menunda dulu untuk punya anak. Alasan pribadi dari saya, saya merasa belum siap dengan perubahan mendadak, dari lajang menjadi istri, terus tahu-tahu harus langsung jadi ibu. Apalagi karakter saya yang jauh dari sifat-sifat legowo, nrimo, pasrah, penurut, pengalah ini, membuat saya banyak mengalami konflik batin, karena menurut saya, kebebasan masa lajang itu memang sesuatu yang tidak akan mungkin lagi kita dapatkan setelah menikah dan saya ini kan pada dasarnya memang menyukai kesendirian dan selalu butuh ruang untuk diri sendiri.
Kurang lebih hampir satu tahun menunda punya anak, akhirnya suatu hari, wangsit ingin punya anak itu muncul di hati saya. Bulan September 2006 saya hamil, tepat satu tahun setela.h saya menikah, dan bulan Juni 2007, anak saya lahir.
Selama satu tahun pertama pernikahan dari September 2005-September 2006, banyak komentar seputar hamil dan punya anak yang ditujukan untuk saya, dan sekalipun saat itu saya sebenarnya bukan orang yang hancur-hancur amat dalam hidup ini, artinya saya punya pekerjaan, sedang kuliah S2, sudah pernah merasakah studi di Jepang selama satu tahun, punya kemampuan....tapi tetap saja, dunia menganggap hidup saya ini tidak lengkap, kurang bahagia, kurang ada prestasi, karena......status saya sebagai perempuan yang sudah berkeluarga ini tidak segera diikuti dengan kehamilan demi melahirkan seorang manusia. Seolah-olah segala macam pencapaian pernah studi di Jepang, lulus ujian kemampuan bahasa Jepang, punya pekerjaan, sedang studi S2 itu asli tidak ada artinya, karena saya belum hamil. Seolah-olah hamil itu sebuah pencapaian, sebuah prestasi, sesuatu yang harus ada untuk setiap perempuan yang telah menikah (di Indonesia ini).
Lalu anak saya lahir dan tentu saja, saya sangat mencintainya. Tetapi, mohon jangan salah dulu mengartikan cinta pada anak ini. Cinta pada anak tidak serta merta diikuti dengan siap mengalah dan siap nrimo segala hal demi anak. Cinta pada anak untuk saya, tidak serta merta diikuti dengan siap mengorbankan cita-cita pribadi dan melupakan diri saya sebagai Rouli dan cukup puas hanya dengan satu gelar "Mama Joanna".
Mungkin ada ibu yang begitu anaknya lahir, langsung tenggelam dalam kasih bersama buah hati dan merasa amat sangat bahagia karenanya. Untuk saya, tidak seperti itu. Jujur, masa-masa anak saya newborn, itu sangat melelahkan untuk saya, dan dibanding bahagianya, menurut saya pribadi, lebih banyak melelahkan dan capek hatinya. Di masa-masa wajah saya muram karena enam bulan pertama saya tidak pernah tidur beneran (karena anak saya ini jadwal ngajak mainnya ngga kenal kompromi, biasanya dia mulai on itu jam 2 sampai 6 pagi), lagi-lagi banyak yang berkomentar,
"Gini nikmatnya punya anak. Dinikmati aja, nanti anak cepat besar lho."
"Namanya jadi ibu, ya mesti sabar dong. Dinikmati begadang-begadangnya."
"Pulang kerja begitu lihat anak, capeknya pasti hilang kan? Itulah anak ya, kita jadi semangat terus tiap hari."
Sambil mendengarkan komentar-komentar tersebut, saya sambil berujar dalam hati, "Kok yang orang-orang ini bilang ke saya ngga saya rasakan ya?"
Sejujurnya, kalau pulang kerja lihat anak, saya bukannya capeknya hilang, malah makin capek, membayangkan nanti malam hingga pagi harus begadang. Sejujurnya juga, saya tidak dapat menemukan kenikmatan dari setengah tahun tidak tidur beneran. Sejujurnya juga, saya tidak mengerti bagaimana caranya menemukan kenikmatan dalam begadang.
Tapi, seolah-olah suara hati saya dibungkam sebelum bahkan sempat saya lontarkan. Saya lama-lama jadi berpikir bahwa saya yang salah karena saya tidak bahagia benar-benar dalam menjadi ibu dan banyak kesal-kesalnya.
Seiring dengan anak saya bertambah besar, memang kelelahan fisik dalam mengurusnya juga jadi semakin berkurang. Saya pun hari demi hari mulai menemukan satu demi satu kebahagiaan bersama anak. Hari ini, anak saya hampir berusia 10 tahun, dan saya dapat mengatakan dalam hati, bahwa diberi anugerah untuk mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak saya, adalah salah satu hal terbaik dalam hidup ini.
Tetapi, apakah kemudian kita dapat berkata bahwa anak adalah satu-satunya sumber kebahagiaan untuk perempuan?
Menurut saya, tidak demikian. Ada perempuan yang memang ingin dan dilahirkan untuk menjadi ibu, tetapi ada juga perempuan-perempuan, yang karena berbagai alasan, tidak menjadi ibu. Untuk perempuan-perempuan ini, kita tidak berhak dan tidak boleh menghakimi bahwa mereka tidak bahagia, mereka tidak sempurna, mereka aneh, atau merasa "kasihan" karena mereka tidak punya anak.
Saya sendiri mengakui dengan jujur, bahwa saya memang bahagia dapat bersama-sama dengan anak saya dan menghabiskan waktu dengannya, tetapi jika hidup saya satu hari penuh "hanya" dengan anak saya dan saya tidak punya kegiatan lain, saya tidak dapat merasa bahagia dan puas batin. Itu sebabnya, secara sadar saya mengambil keputusan untuk sekolah lagi, untuk mendalami ilmu yang saya cintai, lalu memutuskan untuk menjadi akademisi, untuk mengajar, bertemu orang lain, membagi ilmu, menulis paper, melakukan presentasi akademik. Mungkin ada yang melihat saya sebagai orang yang "aneh", ngapain sih saya sampai sebegitunya niat memperjuangkan hal-hal ini, kayaknya nyari repot dan susah saja, tapi itulah saya. Dalam mencari repot dan susah itu, justru saya merasa diri saya lengkap, satu sisi lain dari diri saya, yang tidak dapat dipenuhi oleh aspek berkeluarga. Dan menurut saya, kebahagiaan versi saya itu adalah jika saya dapat berada di tengah-tengah keluarga sebagai ibu dan istri, sekaligus juga dapat aktualisasi diri sebagai pribadi dengan menjadi seorang pengajar dan peneliti. Dua hal itu menurut saya sama pentingnya, dan saya adalah diri saya seutuhnya jika kedua hal itu sudah terpenuhi.
Jadi, apakah anak itu sumber kebahagiaan bagi perempuan? Jawabannya, tergantung pada masing-masing orang. Karena, kebahagiaan itu multi tafsir dan multi definisi, dan membaca kebahagiaan hanya melalui kerangka memiliki anak, saya rasa terlalu sempit dan berpotensi membungkam kebahagiaan versi lain dari berbagai macam perempuan di muka bumi ini dengan sejarah kisah hidupnya masing-masing.
11 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu

Saturday, June 10, 2017

Perempuan, jangan matikan diri!


Menyelesaikan pendidikan tinggi sampai jenjang pascasarjana memang salah satu cita-cita saya. Alasannya lebih ke arah praktis: saya memutuskan untuk menjadi dosen, berarti wajar jika saya harus menempuh pendidikan pascasarjana. Kalau saya tidak mengisi diri dengan ilmu semaksimal mungkin, kasihan mahasiswa-mahasiswa saya kelak, tidak ada yang dapat saya bagikan atau kalaupun ada, yang saya bagikan itu dangkal dan sempit, sehingga tujuan pendidikan tinggi (menurut saya) yaitu membentuk manusia yang mampu berpikir kritis, kreatif, reflektif dan punya kepribadian kuat tidak dapat tercapai.
Saya amati, lebih sulit untuk perempuan menempuh pendidikan tinggi dibanding laki-laki, terutama perempuan yang sudah menikah. Kendala adalah fokus yang sudah bergeser, yaitu mengurus anak dan rumah tangga, hal yang menurut saya sangat baik, tetapi juga berpotensi tinggi memadamkan harapan untuk menggapai impian di luar ranah domestik.
Hidup memang harus dijalani dengan strategi-strategi kreatif dan kompromi sana sini tanpa mengorbankan hal-hal yang bersifat prinsip. Dengan melalui berbagai pertimbangan, akhirnya saya memutuskan untuk studi ke Jepang, saat anak saya masih belum genap berusia 2 tahun. Keluarga saya ikut hijrah ke Jepang dan dimulailah 6 tahun petualangan di negeri sakura.
Di permukaan terlihat sangat indah, keluarga mendukung studi saya. Tapi pada realitanya, hari demi hari itu sangat merepotkan. Waktu 24 jam itu tetap saja harus dibagi dengan mengurus anak dan rumah tangga, tidak bisa sepenuhnya sebagai mahasiswa "saja". Pahit menghadapi kenyataan, tapi di sisi lain tidak dapat protes, karena....siapa suruh kuliah lagi (di luar negeri pula) pada saat sudah berkeluarga?
Setidaknya, dari pengamatan saya, dunia memang belum bersahabat pada perempuan-perempuan berkeluarga yang punya niat mulia untuk sekolah di jenjang pascasarjana. Boleh sekolah, asal ingat kewajiban urus rumah. Boleh sekolah, asal jangan melupakan urusan urus anak. Boleh sekolah, asal tiap pagi masak dulu untuk seluruh keluarga. Boleh, tapi ada syaratnya. Berbeda dengan laki-laki, mereka sepertinya lebih mudah untuk menggapai impian sekolah lagi. Jika kasusnya seperti saya, yang sama-sama bawa keluarga, untuk mahasiswa laki-laki yang sudah berkeluarga, kelihatannya jauh lebih sederhana. Istri yang ikut langsung mengerjakan pekerjaan rumah dan urus anak. Suami tenang belajar di kampus. Berbeda dengan jika istri yang kuliah. Kuliah sih kuliah, tapi tetap multitasking dengan mengerjakan urusan domestik. Sering terbersit dalam benak saya ketika saya kuliah di Jepang tapi sedang berada di dapur, bukan di kampus: sebenarnya saya ke sini untuk kuliah atau pindah tempat masak, sih? (Padahal masaknya cuma manasin frozen food aja).
Awalnya kesal sih pasti, tapi saya mengingatkan diri sendiri: jangan mau kalah dengan sistem patriarki! Sekalipun bertukar peran itu logikanya sangat mungkin untuk dilakukan, tapi internalisasi nilai-nilai patriarki di mana laki-laki berperan utama di ranah publik dan perempuan di ranah privat, sudah sangat kuat tertanam di dalam diri kita. Makanya, perempuan yang sudah menikah studi pascasarjana bawa keluarga itu lebih condong menuai komentar negatif daripada positif. Setidaknya itu yang saya alami. Tapi saya berprinsip: jangan kalah dengan sistem! Jangan menyerah dengan berbagai macam komentar. Jika kelak saya tua dan akhirnya pahit hati karena harapan saya tidak tercapai, apakah orang-orang yang berkomentar negatif, yang menganggap saya aneh, mau berperan dalam menyembuhkan luka hati saya? Ngga, kan?
Akhirnya, saya menyelesaikan studi saya. Keluarga saya juga baik-baik saja. Malah saya merasa, pilar-pilar utama keluarga seperti saling membantu, kompromi, kerjasama, toleransi, diskusi dalam memecahkan persoalan, semuanya terbangun maksimal pada saat saya, suami, dan anak saya tinggal di Osaka selama 6 tahun.
Masing-masing dari diri kita harus mendefinisikan apa sebenarnya yang kita inginkan. Jika memang sepenuhnya ingin menjadi Ibu dan istri, silakan lanjutkan. Tapi jika ada harapan atau keinginan lain selain menjadi ibu dan istri, jangan padamkan suara hati itu. Jangan matikan diri sendiri. Karena, kita, perempuan, pertama-tama adalah diri sendiri, sebelum menjadi istri dan ibu. Jiwa yang kosong hanya akan berujung pada kepahitan hati, dan jika hati sudah pahit, hidup pun akan menjadi pahit, tidak peduli sebanyak apa materi yang kita miliki.
Ini pesan saya untuk sesama perempuan: jangan matikan diri!
Bogor, 9 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu

Mengapa jengah pada perbedaan?


Tadi ada buka puasa bersama rekan-rekan kerja. Sambil buka puasa sambil bercakap-cakap. Salah satu topik pembicaraan adalah tentang dibully karena berbeda dari yang lain.
Ternyata saya dan satu dosen lagi, punya pengalaman dibully karena dulunya tinggal lumayan lama di Jepang. Saya dibully ketika masuk TK di Indonesia, beliau dibully saat masuk SD di Indonesia. Persoalannya sama: dibully karena tidak mengerti bahasa Indonesia.
Saya lahir di Kobe, Jepang, lalu tinggal di Shizuoka karena bapak saya studi di sana, selama 4 tahun pertama hidup saya. Saya pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia pada saat usia saya 4 tahun lebih sedikit dan langsung masuk salah satu TK.
Kalau banyak anak punya kenangan indah ketika TK, tidak demikian dengan saya. Sebaliknya, saya punya banyak kenangan buruk. Mengapa? Karena saya dibully, saya dianggap aneh, saya ngga punya teman. Semuanya karena saya tidak bisa bahasa Indonesia.
Saya menangis sengsara dan sangat kesepian saat saya masih TK. Hingga hari ini saya ingat wajah anak-anak yang mengejek saya. Sayangnya, guru-guru TK saya juga tidak berbuat apa-apa, mereka diam saja. Akhirnya supaya dapat bertahan, saya mati-matian menggunakan bahasa Indonesia dan secara sadar berusaha melupakan bahasa Jepang saya. Saya anggap bahasa Jepang ini musuh saya, penyebab saya mendapat banyak kesulitan.
Masuk SD, bully pun mereda karena saya sudah bisa Bahasa Indonesia. Tapi, peristiwa di TK meninggalkan luka untuk saya: saya benci identitas Jepang saya. Saya berangan-angan seandainya kedua orang tua saya asli Indonesia, jadi saya tidak perlu mengalami hal seperti ini.
Sekalipun masa SD saya cukup menyenangkan, tetap saya tidak menyukai identitas Jepang saya. Mengapa? Karena, setiap kali pelajaran Sejarah bagian masa kependudukan Jepang, saya pasti habis diejek. Saya diejek penjajah bangsa Indonesia oleh teman-teman saya. Memang bukan seluruh anak yang mengejek, tapi tetap saja, dibilang penjajah itu sangat tidak enak. Saya juga malu jika Mama ambil raport ke sekolah karena Mama saya tidak lancar berbahasa Indonesia dan saya pasti jadi ledekan karena punya Mama yang "berbeda" dengan mama yang lain.
Saya baru mulai dapat berdamai dengan identitas kejepangan saya setelah saya masuk SMP. Dan betul-betul sepenuhnya berdamai setelah lulus SMA dan kuliah di jurusan Sastra Jepang. Ironis, satu hal yang paling saya benci dahulu, yaitu bahasa Jepang, sekarang malah jadi sumber utama saya dalam mencari uang. Tanpa kemampuan bahasa Jepang, asli saya ini tidak mungkin menghasilkan uang.
Saking membekasnya peristiwa saya dibully ketika TK, saya sangat takut ketika Joanna harus masuk SD Indonesia setelah 6 tahun tinggal di Jepang. Kondisinya persis seperti saya: dia sama sekali tidak lancar berbahasa Indonesia. Itulah sebabnya saya menerima tawaran bekerja di sekolah anak saya sekalipun tidak ada hubungannya dengan latar belakang pendidikan saya. Motif saya terutama adalah: saya harus jadi "orang dalam" di sekolah anak saya agar kalau terjadi kasus bully, saya gampang minta tolong dan komunikasi dengan pihak sekolah. Selain itu, saya ingin anak saya bisa merasa aman karena ada saya di gedung yang sama.
Syukurnya anak saya tidak mengalami bully. Memang kesulitan bahasa ada, tapi dia tidak dibully teman-teman sekelasnya. Dia juga hingga hari ini tidak anti bahasa Jepang dan saya usahakan dia terpapar bahasa Jepang setiap hari, melalui komik, anime, youtube. Sejauh ini anak saya tetap bisa berbicara bahasa Jepang, malah bangga bisa dua bahasa.
Saya harap tidak ada anak yang dibully karena dia berbeda. Mengapa sih kita sulit menerima sesuatu yang berbeda dengan kita? Mengapa kita jengah dengan perbedaan? Sepertinya dari kecil, kita harus dibiasakan dengan perbedaan, dan ditanamkan paham bahwa tidak sama dengan diri bukan berarti aneh, berbeda-beda itu wajar dan indah. Dan sekalipun di dalam sebuah kelompok masyarakat hanya ada satu orang yang tidak sama, entah itu tidak sama dalam hal SARA atau gender atau bahasa yang digunakan atau orientasi seksual atau yang bersangkutan mengalami disabilitas, tetap ia tidak layak dan tidak berhak dan tidak pantas untuk dibully, karena setiap orang tanpa terkecuali adalah manusia seutuhnya.
Bogor, 8 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu

"Gemuk ya, sekarang? Kamu gemuk banget, ya?"


Ini seri terakhir dari topik pertanyaan-pertanyaan ngga penting, setelah pertama-tama bahas pertanyaan tentang oleh-oleh, lalu pertanyaan tentang menikah, punya anak, tambah anak....nah bagian terakhir dari topik ini akan saya tutup dengan membahas pertanyaan soal bentuk tubuh.
Siapa yang pernah dikomentari soal bentuk tubuhnya? Terutama, bentuk tubuh yang gemuk atau jauh dari ideal ya.
Saya tentu saja pernah, malah sering. Lagi-lagi kesamaan yang saya temukan dari yang komentar: mereka ini ngga akrab-akrab amat dengan saya, dan ya....jika saya amati, kehidupannya bukan yang luar biasa dengan segudang prestasi. Malah, besar kemungkinan kelangsingannya itu adalah satu-satunya modal utama atau aset dirinya yang paling berharga.
Mengapa saya memasukkan pertanyaan soal bentuk badan ini sebagai pertanyaan yang sangat tidak bermutu, karena:
1. Orang yang bertanya ini kemungkinan besar hanya melihat hal lahiriah, dalam hal ini bentuk badan. Untuk orang kayak gini, kualitas batiniah seperti karakter, prestasi, pendidikan, mungkin ngga begitu penting. Nilai seseorang hanya ditentukan berdasarkan gemuk atau tidaknya tubuh yang bersangkutan.
2. Orang seperti ini agaknya perlu mengkonfirmasi diri bahwa dirinya punya tubuh yang lebih bagus bentuknya daripada yang dia komentari. "Gemuk ya sekarang?" ujarnya. Lalu, dalam hati mungkin ia berucap: "gue dong, langsing."
3. Lagi-lagi, tubuh itu ranah pribadi yang empunya tubuh. Orang lain ngga boleh ikut campur soal tubuh yang bukan miliknya. Kita semua tahu, overweight itu ngga sehat, makan kebanyakan itu tidak memberi manfaat untuk kesehatan. Tapi, segala dampak negatif tubuh yang kegemukan, tetap tidak dapat menjadi legitimasi untuk mengomentari bentuk tubuh seseorang, karena ya itu tadi, tubuh itu ranah privat, hal yang bersifat pribadi milik si empunya tubuh itu sendiri. Di sini kata kuncinya: respect atau hormati atau hargai tubuh orang lain!
4. Ada kalanya yang komentar soal bentuk tubuh ini, sebenarnya juga bukan orang yang badannya keren-keren amat. Malah beberapa yang melayangkan komentar kepada saya, malah lebih besar badannya dari saya. Makanya saya juga agak bingung ketika dibilang, "Kamu gemuk banget ya sekarang" oleh orang-orang ini. Membuat saya ingin balik bertanya, "Apakah badan Anda juga seperti super model?" Tapi karena saya secara sadar melatih diri untuk tidak komentar soal tubuh orang lain, maka saya hanya tersenyum basi saja.
Lalu, apa yang harus kita lakukan agar fenomena komentar soal bentuk tubuh ini tidak semakin mewabah?
Sederhana. Jangan menjadi salah satunya! Latih diri untuk selalu sadar tidak mengomentari soal bentuk tubuh. Selain itu, kalau untuk saya, langkah praktis lain yang saya lakukan adalah, saya selalu menyelipkan sesi perkuliahan mengenai gender dan bentuk tubuh dalam perkuliahan saya, dan terakhirnya, saya mengajak para mahasiswa saya untuk mengajukan pertanyaan reflektif: "Apakah saya sudah menghargai tubuh orang lain, salah satunya dengan tidak berkomentar sembarangan tentang tubuh orang lain tersebut?"
Semakin banyak manusia yang tidak usil komentar soal bentuk tubuh orang lain, semakin dekat kita menuju masyarakat yang bebas dari pencelaan bentuk tubuh! Siap naik level? Siaaaaaap kannnnn!
Bogor, 7 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu

"Kapan nikah? Kapan punya anak? Kapan tambah anak?"


Setelah kemarin kita membahas pertanyaan tidak bermutu berupa "mana oleh-olehnya?", hari ini saya mau membahas three in one pertanyaan yang ngga kalah rendah levelnya, yaitu pertanyaan seputar menikah dan punya anak.
Mengapa saya bilang ketiga pertanyaan ini sungguh menyebalkan, karena persoalan menikah, punya anak, dan tambah anak itu persoalan pribadi. Yang akan menentukan seseorang akan menikah atau tidak itu urusan orang itu sendiri, yang menentukan mau punya anak atau tambah anak juga kembali pada yang bersangkutan. Yang bertanya ngga punya andil yang signifikan, kan, misalnya menyumbang sejumlah uang untuk biaya pernikahan atau ikut serta dalam pengasuhan anak atau mempersiapkan tabungan pendidikan untuk anak.
Karena urusan nikah, punya anak dan tambah anak ini urusan pribadi, jadi yang paling bijak adalah jangan tanya-tanya ketiga hal tersebut. Saya perhatikan, pada umumnya, dibanding rasa bahagia ditanya hal-hal tersebut, reaksi yang terjadi adalah yang ditanya malah jengah, malas, jengkel.
Coba deh bayangkan....
"Kapan nikah? Jangan lama-lama ya..."
(Yang ditanya itu baru banget putus sama pacarnya. Bikin pengen nangis di tempat ga sih pertanyaan kayak gini?)
"Kapan punya anak?"
(Yang ditanya baru ditawari posisi pekerjaan yang bagus di kantor, baik dari segi gaji dan fasilitas, dan pekerjaan ini adalah pekerjaan yang diperjuangkan dari dulu. Tapi syaratnya ngga boleh punya anak dulu selama dua tahun. Ehhh terus ditanya pertanyaan seperti ini oleh tante-tante bersasak tinggi yang meyakini kebahagiaan perempuan hanya dapat terpenuhi dengan satu cara: punya anak. Jengkel ngga, sih?)
"Kapan tambah anak?"
(Yang ditanya bulan lalu baru aja menjalani operasi pengangkatan rahim dan masih dalam proses pemulihan. Sebenarnya ingin tambah anak, tapi kondisi tidak memungkinkan. Di saat sedang galau, datang pertanyaan ini, bagaikan palu godam menghujam pedalaman hati).
Itu hanya beberapa skenario yang mungkin dapat terjadi jika kita menanyakan pertanyaan-pertanyaan di atas. Mungkin ada yang biasa aja ditanya begitu, tapi ada juga, dan saya rasa justru ini adalah mayoritas...orang jengah kalau ditanya pertanyaan-pertanyaan kepo seputar pernikahan dan prokreasi.
Bagaimana dengan saya? Pernah ditanya pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas? Tentu saja pernah. Adik saya menikah duluan. Saya pribadi ngga masalah, malah sebenarnya ini yang saya harapkan: saya ingin mematahkan mitos pernikahan itu harus anak tertua (perempuan) duluan baru adik-adiknya. Kok ya ini ngga adil ya menurut saya. Kan namanya dapat jodoh itu bukan berarti yang lahir lebih dulu yang harus dapat jodoh duluan. Kalau memang jalannya yang dapat jodoh duluan itu si adik gimana? Masa kita mau melawan skenario Yang Maha Kuasa?
Di pesta pernikahan adik saya, habislah diri saya ditanya-tanya: Kapan nikah, kapan nikah, kapan nikah? Saya perhatikan para penanya ini. Pada umumnya manusia-manusia standar yang kehidupannya juga bukan yang keren-keren amat. Okelah, senyum aja dan tinggalkan.
Bagaimana dengan pertanyaan kapan punya anak? Tentu saya tidak luput dari pertanyaan ini. Saya perhatikan profil para penanyanya. Satu benang merah yang saya dapatkan, orang-orang ini adalah orang-orang yang punya paham bahwa kebahagiaan perempuan, terutama dan sejatinya hanya akan tercapai jika ia punya anak. Lain dari itu, seperti karir bagus, pendidikan tinggi, prestasi banyak, hmmm menurut mereka, semua itu hanya kebahagiaan semu atau sok bahagia. Mau bahagia? Punya anak! Segera!
Lanjut ke pertanyaan ketiga. "Kapan tambah anak?" Variasi dari pertanyaan ini, "Ngga mau dikasih adik nih? Kasian lho, ntar ngga punya teman." atau, "Masa cuma satu sih?" Nahhhh pertanyaan soal tambah anak ini masih sering saya terima hingga saat ini. Saya memang seorang ibu, tapi ibu dari "hanya" satu orang anak. Apalagi anak saya tahun ini akan berusia 10 tahun, makin getol orang-orang bertanya kapan tambah anak.
Untuk hal ini, saya bilang saja terus terang, "saya sudah sangat bahagia dengan satu anak." Biasanya saya masih dicecar, "Tapi kan kasihan anaknya ngga punya teman main." Lalu yang bertanya itu biasanya akan konfirmasi pada anak saya, "Kamu mau punya adik, kan?" Yang dijawab tegas oleh anak saya, "Ngga!". Case closed, yang bertanya hanya dapat tersenyum kecut.
Setiap orang itu sudah punya pandangan, jalan hidup, pertimbangan masing-masing. Ngga usah kita tanya persoalan paling pribadi dalam hidup mereka, kecuali mereka yang mulai lebih dulu untuk curhat, nah baru kita kasih pandangan.
Lalu mungkin ada yang bilang, "ini kan bentuk perhatian..." Beneeeer nih perhatian? Perhatian atau kepo atau nyinyir atau pengen ikut campur? Perhatian sejati tidak akan membuat kesal orang yang diberi perhatian.
"Nanya gini kan cuma basa basi...." Banyaaaaak pertanyaan lain yang dapat ditanyakan kalau mau basa basi.
"Eh udah nonton film ini ga?"
"Udah nyobain restoran ini ga?"
"Udah makan di sini ga? Enak dan murah lho..."
Pertanyaan-pertanyaan itu sungguh lebih asyik daripada yang jleb! rese nyebelin seperti pertanyaan seputar pernikahan dan prokreasi.
Satu lagi, biasanya yang suka ditanya soal nikah dan punya anak ini adalah perempuan. Internalization of patriarchy at its best! Sukses membuat orang berpikir secara tak sadar bahwa kebahagiaan sejati perempuan hanya dapat dipenuhi dalam pernikahan dan punya anak.
Setiap orang itu beda-beda, jangan kita paksakan paham kita pada yang lain. Kebahagiaan itu multi tafsir, multi definisi, tidak hanya satu. Siap naik level dengan tidak kepo tanya-tanya seputar pernikahan dan punya anak? Siap kan yaaaaaa!
Bogor, 6 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu

"Oleh-olehnya mana?"


Dulu pernah nulis juga di FB tentang perilaku orang kita yang doyan banget minta oleh-oleh, entah itu beneran minta atau hanya basa basi menyambung percakapan.
Jujur, saya ngga simpati pada geng minta oleh-oleh ini. Bahkan mendengar pernyataan ini saja sudah bikin saya jengkel, apalagi jika yang mengeluarkan pernyataan ini mengejar-ngejar minta oleh-oleh beneran, intinya kejar terus sampai sukses mendapatkan....sebuah gantungan kunci atau magnet kulkas!
Belum lagi orang yang ngga tahu diri nitip-nitip ini itu. Nitip tapi bayar sih ngga, alias yang bayar akhirnya yang beliin. Gondok ngga tuh?
Saya secara sadar menjaga agar jangan sampai dari mulut saya tercetus pernyataan: "oleh-olehnya mana", "jangan lupa oleh-olehnya " . Bahkan jika yang bepergian adalah keluarga sendiri, saya tidak akan mau minta oleh-oleh. Mengapa?
1. Minta oleh-oleh itu menyusahkan orang yang bepergian.
Yang pertama, jelas menyusahkan secara finansial. Yang kedua, menyusahkan secara fisik (yang bersangkutan harus repot keluar masuk toko cari oleh-oleh). Yang ketiga, menyusahkan secara waktu (misalnya alokasi waktu yang seharusnya dipakai untuk sight seeing jadi berkurang karena harus cari oleh-oleh). Yang keempat, menyusahkan secara tempat di bagasi (harusnya yang jalan-jalan dapat lebih leluasa menaruh barang-barangnya di bagasi, tapi karena oleh-oleh, ia harus berbagi tempat dengan space untuk oleh-oleh tersebut).
2. Minta oleh-oleh itu agak menjatuhkan harga diri.
Mungkin ini pemikiran saya saja, tapi sejujurnya saya agak gengsi memperjuangkan sebuah gantungan kunci atau sekotak cokelat. Maksudnya, kalau "hanya" gantungan kunci, saya masih bisa beli sendiri. Selain itu, dengan kita bilang, "oleh-olehnya mana?", derajat kita jadi agak dangkal karena kita hanya menginginkan benda yang bersifat materi saja, bukannya mendoakan agar yang jalan-jalan itu dapat kembali dengan selamat setelah menempuh perjalanan jauh.
3. Yang suka minta oleh-oleh itu, jujur, di dalam hidupnya pada umumnya agak standar sih.
Saya tahu ini agak norak, tapi saya perhatikan, tukang minta oleh-oleh ini pada umumnya bukan orang yang hidupnya punya prestasi mumpuni. Semacam pengikut dan yang puas dengan kehidupan standar aja. Sama halnya dengan yang suka tanya-tanya atau komen, "kamu gemukan ya", "kapan mau punya anak?", "kok ngga ASI, kenapa dikasih sufor?", "kok ngga nikah-nikah", "lahirnya cesar, takut ngelahirin normal ya"....pada umumnya tukang tanya ngga penting gini, hidupnya bukan yang wah banget karya-karya nyatanya. Standar, jujur aja.
Terus sikap saya pribadi terhadap tukang minta oleh-oleh gimana? Saya sih ngga saya ladenin. Saya hanya mau membelikan oleh-oleh untuk orang yang memang mau saya kasih oleh-oleh. Itu pun jumlahnya tidak banyak. Bukannya belagu, saya kan ngga punya dana berlebih karena memang bukan orang kaya raya secara materi, dan jika saya bepergian ke suatu tempat, saya sudah punya jadwal setiap harinya mau ngapain, tidak bisa saya seharian cari-cari oleh-oleh terus.
Daripada ya kita minta oleh-oleh kepada yang bepergian, lebih baik kita lantunkan doa agar yang bepergian itu dapat kembali dengan selamat tak kurang satu apapun. Kalau ngga tahan pengen makan coklat oleh-oleh, tuhhhh di gi**t, care**ur, hyper**rt banyak, namanya coklat rasanya sama aja kan?
Naik level yuuuuuuk, jangan minta rejeki kepada yang bepergian, tapi mohonkan rejeki, terutama rejeki keselamatan kepada yang bepergian!
Bogor, 5 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu
LikeShow more reactions
Comment

Manusia Berkualitas


Barometer seseorang itu berkualitas atau tidak adalah dari dua hal: karakter dan karyanya.
Ada orang yang otaknya pandai, tapi perilakunya suka nyinyir, sulit bekerja sama, tidak jujur, suka menipu, gila kekuasaan. Pada akhirnya, kepandaian orang-orang seperti ini bukannya memberi manfaat bagi orang banyak, malah meresahkan orang banyak.
Ada orang yang karakternya baik, tapi sayangnya tidak punya satu kemampuan tertentu yang dapat mendefinisikan keberadaan dirinya. Orang-orang seperti ini memang tidak meresahkan orang lain, tapi keberadaannya kurang greget, begitu-begitu saja, dan karya yang dihasilkannya tidak berdampak maksimal.
Manusia berkualitas itu harus memenuhi dua unsur ini: karakter dan karya. Salah satu contoh manusia berkualitas menurut saya adalah Papa saya sendiri.
Mengapa saya berani bilang kalau beliau itu berkualitas? Usia beliau tahun ini akan menginjak 74 tahun. Bukan usia yang muda. Apa yang terbayang dalam benak kita jika mendengar kata "tua"? Mungkin yang pertama terbayang di benak: lemah, lamban, penggerutu, tidak produktif. Tapi Papa saya mematahkan seluruh mitos itu. Setelah purnabakti dari universitas tempat beliau mengabdi selama lebih dari 30 tahun, beliau tetap aktif bekerja hingga hari ini. Orang mencari beliau karena kualitasnya, baik dalam hal karakter maupun karya. Hingga hari ini, beliau tetap dipercaya, tetap diminta untuk bekerja, tetap dihargai pemikirannya.
Tetapi, yang namanya kualitas itu tidak dapat dibangun hanya dalam satu hari. Ia adalah tumpukan demi tumpukan pembelajaran, pengalaman, kebijaksanaan dalam menghadapi hidup. Ia adalah hasil dari latihan diri selama bertahun-tahun. Ia diusahakan ada dalam diri seseorang dengan sedemikian rupa melalui usaha dan kerja keras orang itu sendiri.
Materi dapat diperoleh secara instant, kedudukan, jabatan atau gelar akademik dapat dibeli dengan uang di tengah dunia yang serba carut marut ini, tetapi kualitas dalam diri seseorang tidak akan bisa dibeli. Ia harus diusahakan sendiri oleh orang yang bersangkutan melalui tahun-tahun penuh kesulitan dan latihan yang cukup berat.
Seorang atlet tidak akan berjaya di medan olimpiade jika tidak didahului oleh latihan keras berkepanjangan yang penuh keringat dan air mata.
Seorang tukang kue tidak akan dapat menghasilkan kue yang lezat tiada tara jika tidak mengalami kegagalan berulang kali sampai akhirnya ia menemukan resep yang pas.
Seorang ibu tidak akan begitu saja dapat bersikap sabar menghadapi anaknya, jika ia tidak melatih dirinya setiap hari untuk dapat memiliki sikap sabar.
Dunia ini tidak melulu berisi orang baik. Mungkin ada masanya di mana kita menerima perlakuan tidak adil, dikucilkan, atau dijahati justru karena kita berkualitas. Sudah menjadi natur manusia untuk mudah iri dan merasa terancam pada orang yang punya kualitas mumpuni. Sangat mungkin kita malah tidak disukai karena kualitas diri kita, mengingat di dunia ini kita tidak selalu berhadapan dengan orang-orang yang menghargai karya dan karakter, tapi malah sebaliknya, orang-orang yang "ketakutan" dengan kualitas diri seseoranglah yang kita temui.
Jangan takut untuk menjadi orang yang berkualitas! Sungguh dunia butuh orang-orang yang memiliki kualitas karya dan karakter yang mumpuni, yang dapat menyebarkan semangat dan karya nyata perubahan sebuah masyarakat menjadi lebih baik.
Pada akhirnya, tidak ada satu orang pun yang dapat merebut kualitas diri kita. Selamanya ia akan menjadi harta yang sungguh berharga: bagi diri sendiri dan bagi orang lain.
Bogor, 4 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu

Menulis dan Sebuah Keabadian


Pramoedya Ananta Toer berkata, "Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi, selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Pertama kali baca kata-kata ini, saya kurang paham apa maksudnya. Pertama kali mengenal karya-karya beliau, usia saya masih awal 20an. Sekarang usia saya ada di penghujung 30an, dan sedikit lebih paham makna kata-kata beliau, berkat tahun-tahun penuh pengalaman yang sedikit mendewasakan diri ini.
Dalam sebuah essay yang ditulisnya, Oba Minako, seorang pengarang perempuan Jepang menyatakan bahwa dirinya terinspirasi menulis dan mengadakan refleksi diri karena membaca karya-karya pengarang perempuan Jepang yang hidup hampir 1000 tahun silam dari masa kini. Oba Minako terinspirasi atas karya-karya Murasaki Shikibu, Seishonagon, Michitsuna no Haha, para pengarang perempuan Jepang di jaman Heian (794-1192). Mereka menulis tentang opresi patriarki di dalam kehidupan bangsawan istana Jepang di masa itu. Hampir 1000 tahun kemudian, Oba Minako juga menulis, dan meski beliau meninggal pada tahun 2006, karyanya tetap berbicara hingga hari ini dan menginspirasi para perempuan setelah generasinya, salah satunya menginspirasi saya.
Seandainya beliau dan para pendahulunya tidak menulis, maka beliau akan hilang dari sejarah. Ide-ide dan pemikirannya menjadi dibatasi waktu-yaitu waktu semasa ia hidup. Begitu ia tidak ada lagi di dunia ini, maka pemikirannya pun tenggelam. Kecuali, ada orang lain yang berusaha mengabadikan pemikiran-pemikirannya. Tetapi, berapa banyak orang yang mau secara sukarela mengabadikan pemikiran kita, kecuali kita adalah orang yang benar-benar berpengaruh di dalam masyarakat dalam lingkup yang cukup luas.
Maka, menulis menjadi sebuah pilihan untuk mengabadikan diri. Menulis adalah inisiatif untuk mencatatkan diri dalam sejarah peradaban manusia.
Menulis tulisan singkat ini, membuat diri saya tersentil karena sampai hari ini, saya belum menghasilkan sebuah buku hasil karya saya. Tiap tahun, resolusi tahun barunya adalah menulis buku, tapi sampai hari ini, belum saya wujudkan secara serius. Kiranya tulisan ini menjadi pengingat untuk saya mulai bergerak.
Agar tulisan kita mumpuni, kita memang mesti banyak membaca dan banyak memiliki pengalaman hidup. Kedalaman hidup seseorang akan terlihat dari kualitas tulisan yang dihasilkannya. Sebuah pengingat lagi untuk saya agar rutin menargetkan diri untuk menyelesaikan buku demi buku agar dapat menghasilkan tulisan yang baik dan menginspirasi.
Karena, "Yang fana adalah waktu. Kita abadi" (Sapardi Djoko Damono). Jika kita menulis!
Bogor, 3 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu

Sudahkah Anda Membaca Buku Hari Ini?


Di jaman medsos merajalela begini, kita jadi lebih sulit ambil waktu untuk baca buku, karena baca berita-berita di portal news online jauh lebih "gampang", baca komentar orang-orang atau lihat-lihat foto-foto yang diupload di akun medsos itu lebih menarik, nonton YouTube atau video lebih asyik, singkatnya banyak kegiatan yang dapat menggantikan kegiatan baca buku yang dulu sebelum internet mudah diakses, termasuk salah satu kegiatan untuk mengisi waktu luang sekaligus memperkaya batin.
Saya pribadi berpendapat, sekalipun banyak aktivitas pengisi waktu luang yang dapat kita lakukan, tetap saja membaca buku Itu tidak boleh dilupakan. Atau lebih tepatnya, membaca buku itu sebuah kebutuhan, bukan sekedar pengisi waktu senggang.
Saya sedang mencoba proyek pribadi, membaca buku di pagi hari setelah bangun tidur selama 30 menit dan membaca buku di kereta 60 menit. Dengan demikian, dalam satu hari, ada 90 menit waktu yang saya alokasikan untuk baca buku. Mengenai jenis bukunya, saya pilih novel, karena saya mau membaca refleksi kehidupan melalui naratif-naratif yang ditawarkan dan menjadikannya sebagai sarana untuk berdialog dengan diri sendiri.
Dengan membaca, kita merenung, berpikir, berdialog. Dengan membaca kita memperkaya batin dan mendapat inspirasi dan semangat baru.
Dalam tahun-tahun kelamnya di penjara, Nelson Mandela mendapatkan inspirasi dan semangat dari puisi "Invictus" (arti: penakluk, pemenang) karya William Ernest Henley. Salah satu bagiannya berbunyi :
"It matters not how strait the gate,
how charged with punishments the scroll,
I am the master of my fate;
I am the captain of my soul"
Dari balik dinding penjara yang dingin, angkuh, dan sepi, Nelson Mandela mendapat kekuatan untuk bertahan, salah satunya melalui karya sastra berupa puisi yang dibacanya.
Sudahkah Anda membaca buku hari ini? Kalau belum, mari penuhi undangan memperkaya batin, membijakkan diri, berdialog secara mendalam dengan diri sendiri dan tokoh-tokoh dalam karya sastra, melalui berbagai buku yang telah ditulis oleh para pengarang, para pekerja kemanusiaan itu.
Selamat tenggelam dalam bacaan!
Bogor, 2 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu

Pancasila Bukan Utopia!

Selamat hari lahir Pancasila! Pertama kali kenal Pancasila, ketika duduk di bangku SD. Tahu sila pertama sampai kelima karena diajarkan pada pelajaran PMP alias Pendidikan Moral Pancasila. Tiap hari Senin upacara bendera, dengan kusyuk pasti menyebutkan lima sila itu.
Memang seperti indoktrinasi sih, tapi mungkin kita memang perlu diingatkan berulang-ulang soal Pancasila sebagai dasar negara ini (dasar lho dasar....artinya apapun yang kita lakukan sebagai warga negara, mestinya didasari nilai-nilai luhur ini). Biar ngga pada amnesia bahwa kita punya Pancasila dan ngga coba-coba ganti dasar negara dengan falsafah yang lain.
Jaman saya SD, harus banget menghafalkan 36 butir P4. Sekarang di SD, kayaknya sih tidak sampai harus menghafalkan 36 butir P4, ya, tapi kalau saya lihat materi pelajaran anak saya, tetap kok diajarkan tentang Pancasila dan nilai-nilai pengamalannya.
Saya suka tanya pada mahasiswa-mahasiswa saya, setelah selesai baca karya sastra: paling suka bagian yang mana? Nahhh...kalau saya ditanya, sila Pancasila mana yang paling powerful untuk kamu? Jawaban saya: sila ke-3, Persatuan Indonesia. Karena, kalau kita benar-benar menghayati sila ini, harusnya perpecahan bangsa itu ngga akan terjadi.
Saya mungkin sok idealis banget ya, tapi menurut saya, di jaman serba ngga pasti dan penuh kecurigaan sana sini dan goncang ganjing politik gini, saya merasa, yang paling kita butuhkan itu adalah harapan. Harapan bahwa kita bisa menjadi lebih baik, maju, damai, lebih menghormati satu dengan yang lain. Kalau belum-belum sudah pesimis, ya akhirnya, terjadilah sesuai dengan pikiran pesimismu.
Apapun itu, menyebarkan aura negatif yang bikin ngga damai itu sungguh meresahkan. Mungkin ada yang berpikir, ini wall gue, ini socmed gue, terserah gue mau nulis apa. Menurut saya, tetap ngga bisa "terserah" sih, karena meskipun wall gue, socmed gue, yang baca kan bukan hanya yang nulis! Dan socmed itu sudah merupakan sebuah masyarakat, di mana para penggunanya saling berinteraksi, jadi tetap kalau bicara atau mengeluarkan pendapat atau share sesuatu, harus pakai etika. Kalau dibilang apa yang diposting di socmed itu ngga ada hubungan dengan kepribadian yang bikin postingan tersebut, menurut saya sih tidak demikian. Sedikit banyak, postingan seseorang, berbicara mengenai kepribadian, pola pikir, cara pandang orang tersebut, meski memang tidak sepenuhnya terlihat dalam setiap postingan tersebut.
Jadi, di hari peringatan lahirnya Pancasila ini, mari kita jaga esensi keberagaman bangsa tercinta ini, yang konon katanya "Bhinneka Tunggal Ika". Kita sudah diajarkan semboyan negeri ini kan, jadi untuk apa kita masih cari semboyan lain, atau masih ngaku berbhinneka tunggal ika dan cinta Pancasila, tapi kenyataannya malah membela sekelompok SARA tertentu dan tidak menghormati yang berbeda dengan diri kita sendiri, baik dalam hal kesukuan, agama, ras, dan golongan?
Selamat memaknai kebhinnekaan dalam hidup, keragaman dalam berbangsa, dan lima sila sebagai dasar bertutur dan bertindak! Mari jadikan apa yang orang-orang sebut sebagai utopia dan hanya sekedar angan yang mustahil menjelma nyata menjadi berproses semakin hari semakin mendekati kenyataan!

Bogor, 1 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu