Saturday, August 12, 2017

Minimalis yang tidak minimal

Sebelum membaca tulisan ini, mohon jangan disalahpahami, saya tidak bermaksud merendahkan Indonesia, sama sekali tidak. Lagipula jika saya merendahkan Indonesia, itu sama saja saya merendahkan diri saya sendiri sebagai bagian dari Indonesia. Tulisan ini lebih kepada mengajak kita semua untuk merenung dan memperbaiki diri.
Satu waktu, saya pernah menjadi ketua panitia sebuah acara. Karena biaya yang dibutuhkan cukup banyak, saya mencoba memangkas anggaran. Salah satu anggaran yang saya pangkas adalah kaos panitia acara. Ternyata pemangkasan ini mengundang riuh yang lumayan juga. Argumen keriuhan ini antara lain:
"Yaaaa, masa kaos aja ngga ada? Kita jadi ga semangat kerja."
"Kaos doang...kok gitu amat sih ngga ada kaos?"
Semua yang mengenal saya tentu tahu kalau saya bukan orang yang punya banyak baju. Koleksi saya terbatas, itu lagi itu lagi. Hanya, menurut saya, antara semangat kerja dan kaos baru, kurang jelas korelasinya. Seseorang bersemangat kerja karena memang dari hatinya punya etos kerja, bukan masalah ia mengenakan baju baru atau tidak.
Demikian juga misalnya saat Natal dan Lebaran. Saya sering menyaksikan betapa pertokoan mendadak menjadi berkali-kali lipat pengunjungnya karena semuanya sibuk beli baju baru untuk natal atau lebaran. Di beberapa tempat, ada yang tiap kali ibadah natal, booking salon dulu dan dandan lengkap. Baju yang dikenakan pun sudah semacam baju pesta. Iya tahu sihhh, natal adalah ulang tahun Yesus Kristus, tapi bukankah Yesus lahir dalam kesederhanaan? Sepertinya di kandang domba tempat Yesus lahir, tidak ada yang rambutnya bersasak tinggi dan berbusana pesta dengan selendang warna warni. Dengan busana wah macam ini, esensi kesederhanaan peristiwa natal menjadi agak kabur.
Saya juga beberapa kali menghadiri sidang promosi S3 di Indonesia. Karena sebelumnya belum pernah menghadiri, saya agak bingung ketika begitu mau masuk ruangan, kita harus isi buku tamu dulu. Selanjutnya kita diberi souvenir. Selesai acara, biasanya ada acara makan-makan bersama. Seperti datang ke pesta. Ada juga beberapa karangan bunga ucapan selamat.
Sekali lagi, saya bukan mengkritik atau merendahkan sidang S3 di Indonesia. Kalau memang mampu membuat acara meriah, silakan saja. Hanya saya terpikir, bagaimana dengan orang-orang yang uangnya tidak begitu banyak? Acara begini kan lumayan juga biayanya. Teman saya pernah bilang nilai nominalnya dan menurut saya lumayan juga. Nah kalau yang bersangkutan malah disibukkan juga dengan urusan pesan souvenir dan katering, sementara ia harus mempersiapkan diri juga untuk sidang, cukup melelahkan ngga sih? Lelah batin dan fisik dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Saya teringat ketika saya sidang S3 sekitar 2,5 tahun yang lalu. Rasanya tidak ada satu orang pun yang tahu saya sidang hari itu. Kecuali keluarga saya. Iya sih dibuatnya sidang terbuka dan diumumkan di papan pengumuman. Tapi tidak ada yang menghadiri selain saya dan para penguji. Keluarga saya pun tidak ada yang mengantar. Anak saya ke sekolah dan suami saya pergi kerja sambilan. Saya datang ke kampus dengan penampilan biasa saja. Celana panjang hitam dan kemeja biru tua, dan saya pakai blazer hitam. Yang paling juara adalah para penguji. Saat saya sidang, itu musim dingin. Para penguji mengenakan sweather, celana jeans, sepatu kets. Tidak ada penganan, air mineral pun tidak ada.
Sidang S3 saya berlangsung dalam suasana santai. Masing-masing penguji membawa disertasi saya yang sudah penuh dengan post it sana sini. Mereka bertanya secara detil dan memberi banyak masukan berharga. Sekitar 2 jam sidang berlangsung, setelah itu selesai. Semua cari makan sendiri-sendiri. Kalau tidak salah, sidang saya selesai tepat jam satu siang. Mulainya sekitar 10.30.
Di kampus saya dulu, disertasi penampakannya benar-benar sederhana, seperti pada foto di bawah ini. Saya ngga punya hard copy disertasi dalam bentuk hard cover. Belakangan, karena perlu menyertakan disertasi untuk penyetaraan ijazah, saya jilid sendiri, dalam bentuk soft cover. Lumayan juga ya, berasa beneran punya disertasi.
Sekalipun sidang saya "sangat sederhana", selama 6 tahun saya belajar, saya merasakan sendiri bimbingan akademik yang "tidak sederhana". Konten penelitian saya dikuliti habis-habisan, tidak jarang saya frustrasi karena kewalahan memperbaikinya. Mulai dari disertasi ini berpangkal dari sebuah embrio tema yang absurd sampai akhirnya menjadi satu bentuk utuh, perjalanannya benar-benar berliku, dalam, dan penuh tempaan.
Minimalis bukan berarti minimal. Tidak ada kaos baru, tidak ada baju baru saat natal atau lebaran, tidak ada sidang yang meriah, bukan berarti kita minimal dalam hal isi. Minimalis iya, tapi minimal tidak. Pada akhirnya, kualitas dinilai dari isinya, bukan dari tampilan luarnya.
Minimalis yang maksimal, bahkan mumpuni. Semoga kita dapat menjadi bagian dari budaya ini. Untuk kita renungkan bersama.
26 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

No comments:

Post a Comment