Saturday, May 28, 2011

Satu puisi satu hari

Kalau orang bilang, sastra dapat membuat peka hati manusia, saya setuju. Soalnya, saya juga baru mengalaminya kemarin dulu. Seperti biasa, saya bangun di pagi hari, berdoa untuk memulai hari. Lalu tiba-tiba terpikir untuk membaca puisi karya Sapardi Djoko Damono, salah seorang penyair favorit saya. Saya baca di internet, puisi kesukaan saya yang berjudul "Aku ingin".

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada


(Sapardi Djoko Damono)

Merinding ya bo baca nih puisi! Sapardi Djoko Damono berhasil menyingkap apa yang tersembunyi di dalam hati manusia banget deh.

Entah karena pengaruh ini puisi, entah karena apa, tapi pagi itu, saya pergi ke kampus tidak dengan tergesa-gesa, tapi lebih menikmati perjalanan saya yang biasanya ingin saya tempuh dengan segera itu. Dan saya sengaja berlama-lama sedikit di tepi danau kampus, yang selama ini selalu saya lewati tapi tidak pernah saya perhatikan. Ternyata, berdiam diri sebentar di tepi danau itu memberi ketenangan luar biasa. Setidaknya, sejenak bisa keluar dari hiruk pikuk kesibukan yang kerap kali menguras tenaga jiwa raga ini.

Berangkat dari pengalaman ini, saya mencanangkan gerakan "satu puisi satu hari" untuk saya. Ini adalah kegiatan membaca puisi di pagi hari, setelah berdoa memulai hari. Puisinya terserah, apa saja, yang memang lagi ingin saya baca, dan sumbernya dicari di internet. Kenapa saya pilih puisi, bukan novel atau cerpen, karena saya butuh bacaan yang ringkas tapi dalam makna. Waktu yang dibutuhkan tidak terlalu banyak, tapi karena dalam maknanya, maka saya akan memikirkan sendiri makna puisi tersebut. Dan, merenungkan arti kata-kata adalah kegiatan yang sangat bagus untuk mengasah kepekaan hati saya. Waktu saya terbatas, karena pagi-pagi, begitu anak dan suami saya bangun, akan dimulailah hari sibuk untuk saya, yang diawali dengan menyiapkan sarapan, mengurus keperluan anak sekolah, dan sebagainya. Bagaimana mungkin saya bisa menamatkan satu novel dengan waktu terbatas itu? Tapi, kalau puisi, dari segi waktu, sangat memungkinkan untuk dibaca dalam waktu singkat, sisanya kita tinggal mengendapkan kata-katanya di dalam pikiran, sampai akhirnya turun ke hati kita.

Terus terang saja, sejak anak saya lahir tanggal 16 Juni 2007, saya sudah jarang sekali membaca untuk kesenangan pribadi. Kalaupun saya membaca, itu karena tugas perkuliahan, berhubung saya kuliah di bidang sastra. Untuk kondisi saya sekarang ini, agak sulit untuk menamatkan novel dalam waktu singkat, tidak seperti ketika saya lajang dulu, di mana 24 jam penuh adalah milik saya dan novel pun bisa saya selesaikan dalam waktu singkat. Ketika kita sudah berkeluarga, banyak interupsi akan terjadi, entah itu interupsi anak yang tiba-tiba ngompol, suami yang bertanya kertas latihan paduan suaranya di mana, kewajiban untuk memasak karena sudah jamnya makan, dan sebagainya. Ini saya nyatakan bukan dalam arti negatif, tapi hanya membeberkan kenyataan bahwa jika sudah berkeluarga, namanya saja kita membagi hidup dengan orang lain, maka hidup yang tadinya hanya milik sendiri, menjadi terbagi dua, terbagi tiga, terbagi empat...tergantung jumlah anggota keluarga kita.

Untuk kondisi saya saat ini (ibu, istri, mahasiswa sok sibuk di tanah gambaru a.k.a Jepang), membaca novel tebal, bahkan cerpen singkat sekali pun, agak sulit untuk dilakukan. Waktu yang ada sudah termanfaatkan penuh untuk urusan perkuliahan, rumah tangga, kerja sambilan, dan tentu saja, ngeblog atau nulis notes. Tetapi, kalau puisi, rasanya masih bisa dilakukan, karena waktu yang perlu disediakan pun relatif singkat, tetapi segi humanisnya tetap sedalam ketika membaca novel, bahkan lebih dalam, tergantung dari karyanya.
Saya tidak muluk-muluk, cukup satu puisi satu hari, sebagai suplemen makanan jiwa saya.

Tiap hari kita bergerak di dalam rutinitas yang tidak jarang membuat kita kalang kabut karena merasa banyak sekali yang perlu diurus. Sering kali hal ini membuat kita kehilangan esensi dari hidup itu sendiri. Kita akhirnya hanya berakhir di penghujung hari sebagai budak rutinitas, tanpa memahami mengapa kita ada dalam rutinitas tersebut.

Saya rasa, salah satu kunci supaya kita tidak menjadi edan di jaman edan ini adalah, berusaha menjaga keseimbangan hidup. Memang ini yang paling sulit untuk dilakukan. Bertekun di dalam satu hal itu jauh lebih mudah daripada menaruh perhatian secara seimbang pada semua hal. Tetapi, keseimbangan itu yang membuat kita tetap dapat berdiri tegak, bukan? Jika tidak seimbang, jika berat sebelah, tubuh kita akan doyong, terpelecok, dan akhirnya jatuh.

Membaca satu puisi untuk satu hari, rasanya adalah salah satu cara yang tepat untuk saya menyeimbangkan jiwa, selain menulis blog/notes dan berdoa (rohani  banget nihyeee?). Hari ini saya membaca puisi karya WS Rendra, berjudul "Jalan Sagan 9, Yogya". Saya pertama kali membaca puisi ini sekitar 7 tahun yang lalu, ketika kuliah di S2 Kajian Jepang UI, dalam keadaan masih lajang namun sudah memutuskan untuk hendak menikah dengan orang yang kelak akan menjadi teman hidup saya (berbelit-belit banget, James maksudnya, hahahaha). Ini bagian yang paling saya suka dari "Jalan Sagan 9, Yogya" :

Kekasihku,
ada saat-saat kita tak berdaya bukan oleh duka
tetapi kerna terharu semata.
Mengharukan dan menyenangkan
bahwa sementara kita tempuh hari-hari yang keras
sesuatu yang indah masih berada
tertinggal pada kita,
Sangat mendebarkan
menemukan satu bunga
yang dulu — telah lama
kitalah penanamnya.


(WS Rendra)

Satu puisi satu hari, demi keseimbangan jiwa raga dan menjaga diri tetap sadar, di tengah-tengah jaman yang menuntut mobilitas dan kecepatan bagi setiap penghuni yang bergerak di dalamnya.

No comments:

Post a Comment