Saturday, June 10, 2017

"Kapan nikah? Kapan punya anak? Kapan tambah anak?"


Setelah kemarin kita membahas pertanyaan tidak bermutu berupa "mana oleh-olehnya?", hari ini saya mau membahas three in one pertanyaan yang ngga kalah rendah levelnya, yaitu pertanyaan seputar menikah dan punya anak.
Mengapa saya bilang ketiga pertanyaan ini sungguh menyebalkan, karena persoalan menikah, punya anak, dan tambah anak itu persoalan pribadi. Yang akan menentukan seseorang akan menikah atau tidak itu urusan orang itu sendiri, yang menentukan mau punya anak atau tambah anak juga kembali pada yang bersangkutan. Yang bertanya ngga punya andil yang signifikan, kan, misalnya menyumbang sejumlah uang untuk biaya pernikahan atau ikut serta dalam pengasuhan anak atau mempersiapkan tabungan pendidikan untuk anak.
Karena urusan nikah, punya anak dan tambah anak ini urusan pribadi, jadi yang paling bijak adalah jangan tanya-tanya ketiga hal tersebut. Saya perhatikan, pada umumnya, dibanding rasa bahagia ditanya hal-hal tersebut, reaksi yang terjadi adalah yang ditanya malah jengah, malas, jengkel.
Coba deh bayangkan....
"Kapan nikah? Jangan lama-lama ya..."
(Yang ditanya itu baru banget putus sama pacarnya. Bikin pengen nangis di tempat ga sih pertanyaan kayak gini?)
"Kapan punya anak?"
(Yang ditanya baru ditawari posisi pekerjaan yang bagus di kantor, baik dari segi gaji dan fasilitas, dan pekerjaan ini adalah pekerjaan yang diperjuangkan dari dulu. Tapi syaratnya ngga boleh punya anak dulu selama dua tahun. Ehhh terus ditanya pertanyaan seperti ini oleh tante-tante bersasak tinggi yang meyakini kebahagiaan perempuan hanya dapat terpenuhi dengan satu cara: punya anak. Jengkel ngga, sih?)
"Kapan tambah anak?"
(Yang ditanya bulan lalu baru aja menjalani operasi pengangkatan rahim dan masih dalam proses pemulihan. Sebenarnya ingin tambah anak, tapi kondisi tidak memungkinkan. Di saat sedang galau, datang pertanyaan ini, bagaikan palu godam menghujam pedalaman hati).
Itu hanya beberapa skenario yang mungkin dapat terjadi jika kita menanyakan pertanyaan-pertanyaan di atas. Mungkin ada yang biasa aja ditanya begitu, tapi ada juga, dan saya rasa justru ini adalah mayoritas...orang jengah kalau ditanya pertanyaan-pertanyaan kepo seputar pernikahan dan prokreasi.
Bagaimana dengan saya? Pernah ditanya pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas? Tentu saja pernah. Adik saya menikah duluan. Saya pribadi ngga masalah, malah sebenarnya ini yang saya harapkan: saya ingin mematahkan mitos pernikahan itu harus anak tertua (perempuan) duluan baru adik-adiknya. Kok ya ini ngga adil ya menurut saya. Kan namanya dapat jodoh itu bukan berarti yang lahir lebih dulu yang harus dapat jodoh duluan. Kalau memang jalannya yang dapat jodoh duluan itu si adik gimana? Masa kita mau melawan skenario Yang Maha Kuasa?
Di pesta pernikahan adik saya, habislah diri saya ditanya-tanya: Kapan nikah, kapan nikah, kapan nikah? Saya perhatikan para penanya ini. Pada umumnya manusia-manusia standar yang kehidupannya juga bukan yang keren-keren amat. Okelah, senyum aja dan tinggalkan.
Bagaimana dengan pertanyaan kapan punya anak? Tentu saya tidak luput dari pertanyaan ini. Saya perhatikan profil para penanyanya. Satu benang merah yang saya dapatkan, orang-orang ini adalah orang-orang yang punya paham bahwa kebahagiaan perempuan, terutama dan sejatinya hanya akan tercapai jika ia punya anak. Lain dari itu, seperti karir bagus, pendidikan tinggi, prestasi banyak, hmmm menurut mereka, semua itu hanya kebahagiaan semu atau sok bahagia. Mau bahagia? Punya anak! Segera!
Lanjut ke pertanyaan ketiga. "Kapan tambah anak?" Variasi dari pertanyaan ini, "Ngga mau dikasih adik nih? Kasian lho, ntar ngga punya teman." atau, "Masa cuma satu sih?" Nahhhh pertanyaan soal tambah anak ini masih sering saya terima hingga saat ini. Saya memang seorang ibu, tapi ibu dari "hanya" satu orang anak. Apalagi anak saya tahun ini akan berusia 10 tahun, makin getol orang-orang bertanya kapan tambah anak.
Untuk hal ini, saya bilang saja terus terang, "saya sudah sangat bahagia dengan satu anak." Biasanya saya masih dicecar, "Tapi kan kasihan anaknya ngga punya teman main." Lalu yang bertanya itu biasanya akan konfirmasi pada anak saya, "Kamu mau punya adik, kan?" Yang dijawab tegas oleh anak saya, "Ngga!". Case closed, yang bertanya hanya dapat tersenyum kecut.
Setiap orang itu sudah punya pandangan, jalan hidup, pertimbangan masing-masing. Ngga usah kita tanya persoalan paling pribadi dalam hidup mereka, kecuali mereka yang mulai lebih dulu untuk curhat, nah baru kita kasih pandangan.
Lalu mungkin ada yang bilang, "ini kan bentuk perhatian..." Beneeeer nih perhatian? Perhatian atau kepo atau nyinyir atau pengen ikut campur? Perhatian sejati tidak akan membuat kesal orang yang diberi perhatian.
"Nanya gini kan cuma basa basi...." Banyaaaaak pertanyaan lain yang dapat ditanyakan kalau mau basa basi.
"Eh udah nonton film ini ga?"
"Udah nyobain restoran ini ga?"
"Udah makan di sini ga? Enak dan murah lho..."
Pertanyaan-pertanyaan itu sungguh lebih asyik daripada yang jleb! rese nyebelin seperti pertanyaan seputar pernikahan dan prokreasi.
Satu lagi, biasanya yang suka ditanya soal nikah dan punya anak ini adalah perempuan. Internalization of patriarchy at its best! Sukses membuat orang berpikir secara tak sadar bahwa kebahagiaan sejati perempuan hanya dapat dipenuhi dalam pernikahan dan punya anak.
Setiap orang itu beda-beda, jangan kita paksakan paham kita pada yang lain. Kebahagiaan itu multi tafsir, multi definisi, tidak hanya satu. Siap naik level dengan tidak kepo tanya-tanya seputar pernikahan dan punya anak? Siap kan yaaaaaa!
Bogor, 6 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu

No comments:

Post a Comment