Saturday, June 10, 2017

Mengapa jengah pada perbedaan?


Tadi ada buka puasa bersama rekan-rekan kerja. Sambil buka puasa sambil bercakap-cakap. Salah satu topik pembicaraan adalah tentang dibully karena berbeda dari yang lain.
Ternyata saya dan satu dosen lagi, punya pengalaman dibully karena dulunya tinggal lumayan lama di Jepang. Saya dibully ketika masuk TK di Indonesia, beliau dibully saat masuk SD di Indonesia. Persoalannya sama: dibully karena tidak mengerti bahasa Indonesia.
Saya lahir di Kobe, Jepang, lalu tinggal di Shizuoka karena bapak saya studi di sana, selama 4 tahun pertama hidup saya. Saya pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia pada saat usia saya 4 tahun lebih sedikit dan langsung masuk salah satu TK.
Kalau banyak anak punya kenangan indah ketika TK, tidak demikian dengan saya. Sebaliknya, saya punya banyak kenangan buruk. Mengapa? Karena saya dibully, saya dianggap aneh, saya ngga punya teman. Semuanya karena saya tidak bisa bahasa Indonesia.
Saya menangis sengsara dan sangat kesepian saat saya masih TK. Hingga hari ini saya ingat wajah anak-anak yang mengejek saya. Sayangnya, guru-guru TK saya juga tidak berbuat apa-apa, mereka diam saja. Akhirnya supaya dapat bertahan, saya mati-matian menggunakan bahasa Indonesia dan secara sadar berusaha melupakan bahasa Jepang saya. Saya anggap bahasa Jepang ini musuh saya, penyebab saya mendapat banyak kesulitan.
Masuk SD, bully pun mereda karena saya sudah bisa Bahasa Indonesia. Tapi, peristiwa di TK meninggalkan luka untuk saya: saya benci identitas Jepang saya. Saya berangan-angan seandainya kedua orang tua saya asli Indonesia, jadi saya tidak perlu mengalami hal seperti ini.
Sekalipun masa SD saya cukup menyenangkan, tetap saya tidak menyukai identitas Jepang saya. Mengapa? Karena, setiap kali pelajaran Sejarah bagian masa kependudukan Jepang, saya pasti habis diejek. Saya diejek penjajah bangsa Indonesia oleh teman-teman saya. Memang bukan seluruh anak yang mengejek, tapi tetap saja, dibilang penjajah itu sangat tidak enak. Saya juga malu jika Mama ambil raport ke sekolah karena Mama saya tidak lancar berbahasa Indonesia dan saya pasti jadi ledekan karena punya Mama yang "berbeda" dengan mama yang lain.
Saya baru mulai dapat berdamai dengan identitas kejepangan saya setelah saya masuk SMP. Dan betul-betul sepenuhnya berdamai setelah lulus SMA dan kuliah di jurusan Sastra Jepang. Ironis, satu hal yang paling saya benci dahulu, yaitu bahasa Jepang, sekarang malah jadi sumber utama saya dalam mencari uang. Tanpa kemampuan bahasa Jepang, asli saya ini tidak mungkin menghasilkan uang.
Saking membekasnya peristiwa saya dibully ketika TK, saya sangat takut ketika Joanna harus masuk SD Indonesia setelah 6 tahun tinggal di Jepang. Kondisinya persis seperti saya: dia sama sekali tidak lancar berbahasa Indonesia. Itulah sebabnya saya menerima tawaran bekerja di sekolah anak saya sekalipun tidak ada hubungannya dengan latar belakang pendidikan saya. Motif saya terutama adalah: saya harus jadi "orang dalam" di sekolah anak saya agar kalau terjadi kasus bully, saya gampang minta tolong dan komunikasi dengan pihak sekolah. Selain itu, saya ingin anak saya bisa merasa aman karena ada saya di gedung yang sama.
Syukurnya anak saya tidak mengalami bully. Memang kesulitan bahasa ada, tapi dia tidak dibully teman-teman sekelasnya. Dia juga hingga hari ini tidak anti bahasa Jepang dan saya usahakan dia terpapar bahasa Jepang setiap hari, melalui komik, anime, youtube. Sejauh ini anak saya tetap bisa berbicara bahasa Jepang, malah bangga bisa dua bahasa.
Saya harap tidak ada anak yang dibully karena dia berbeda. Mengapa sih kita sulit menerima sesuatu yang berbeda dengan kita? Mengapa kita jengah dengan perbedaan? Sepertinya dari kecil, kita harus dibiasakan dengan perbedaan, dan ditanamkan paham bahwa tidak sama dengan diri bukan berarti aneh, berbeda-beda itu wajar dan indah. Dan sekalipun di dalam sebuah kelompok masyarakat hanya ada satu orang yang tidak sama, entah itu tidak sama dalam hal SARA atau gender atau bahasa yang digunakan atau orientasi seksual atau yang bersangkutan mengalami disabilitas, tetap ia tidak layak dan tidak berhak dan tidak pantas untuk dibully, karena setiap orang tanpa terkecuali adalah manusia seutuhnya.
Bogor, 8 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu

No comments:

Post a Comment