Saturday, June 10, 2017

"Oleh-olehnya mana?"


Dulu pernah nulis juga di FB tentang perilaku orang kita yang doyan banget minta oleh-oleh, entah itu beneran minta atau hanya basa basi menyambung percakapan.
Jujur, saya ngga simpati pada geng minta oleh-oleh ini. Bahkan mendengar pernyataan ini saja sudah bikin saya jengkel, apalagi jika yang mengeluarkan pernyataan ini mengejar-ngejar minta oleh-oleh beneran, intinya kejar terus sampai sukses mendapatkan....sebuah gantungan kunci atau magnet kulkas!
Belum lagi orang yang ngga tahu diri nitip-nitip ini itu. Nitip tapi bayar sih ngga, alias yang bayar akhirnya yang beliin. Gondok ngga tuh?
Saya secara sadar menjaga agar jangan sampai dari mulut saya tercetus pernyataan: "oleh-olehnya mana", "jangan lupa oleh-olehnya " . Bahkan jika yang bepergian adalah keluarga sendiri, saya tidak akan mau minta oleh-oleh. Mengapa?
1. Minta oleh-oleh itu menyusahkan orang yang bepergian.
Yang pertama, jelas menyusahkan secara finansial. Yang kedua, menyusahkan secara fisik (yang bersangkutan harus repot keluar masuk toko cari oleh-oleh). Yang ketiga, menyusahkan secara waktu (misalnya alokasi waktu yang seharusnya dipakai untuk sight seeing jadi berkurang karena harus cari oleh-oleh). Yang keempat, menyusahkan secara tempat di bagasi (harusnya yang jalan-jalan dapat lebih leluasa menaruh barang-barangnya di bagasi, tapi karena oleh-oleh, ia harus berbagi tempat dengan space untuk oleh-oleh tersebut).
2. Minta oleh-oleh itu agak menjatuhkan harga diri.
Mungkin ini pemikiran saya saja, tapi sejujurnya saya agak gengsi memperjuangkan sebuah gantungan kunci atau sekotak cokelat. Maksudnya, kalau "hanya" gantungan kunci, saya masih bisa beli sendiri. Selain itu, dengan kita bilang, "oleh-olehnya mana?", derajat kita jadi agak dangkal karena kita hanya menginginkan benda yang bersifat materi saja, bukannya mendoakan agar yang jalan-jalan itu dapat kembali dengan selamat setelah menempuh perjalanan jauh.
3. Yang suka minta oleh-oleh itu, jujur, di dalam hidupnya pada umumnya agak standar sih.
Saya tahu ini agak norak, tapi saya perhatikan, tukang minta oleh-oleh ini pada umumnya bukan orang yang hidupnya punya prestasi mumpuni. Semacam pengikut dan yang puas dengan kehidupan standar aja. Sama halnya dengan yang suka tanya-tanya atau komen, "kamu gemukan ya", "kapan mau punya anak?", "kok ngga ASI, kenapa dikasih sufor?", "kok ngga nikah-nikah", "lahirnya cesar, takut ngelahirin normal ya"....pada umumnya tukang tanya ngga penting gini, hidupnya bukan yang wah banget karya-karya nyatanya. Standar, jujur aja.
Terus sikap saya pribadi terhadap tukang minta oleh-oleh gimana? Saya sih ngga saya ladenin. Saya hanya mau membelikan oleh-oleh untuk orang yang memang mau saya kasih oleh-oleh. Itu pun jumlahnya tidak banyak. Bukannya belagu, saya kan ngga punya dana berlebih karena memang bukan orang kaya raya secara materi, dan jika saya bepergian ke suatu tempat, saya sudah punya jadwal setiap harinya mau ngapain, tidak bisa saya seharian cari-cari oleh-oleh terus.
Daripada ya kita minta oleh-oleh kepada yang bepergian, lebih baik kita lantunkan doa agar yang bepergian itu dapat kembali dengan selamat tak kurang satu apapun. Kalau ngga tahan pengen makan coklat oleh-oleh, tuhhhh di gi**t, care**ur, hyper**rt banyak, namanya coklat rasanya sama aja kan?
Naik level yuuuuuuk, jangan minta rejeki kepada yang bepergian, tapi mohonkan rejeki, terutama rejeki keselamatan kepada yang bepergian!
Bogor, 5 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu
LikeShow more reactions
Comment

No comments:

Post a Comment