Saturday, July 22, 2017

Tidak ada kata terlambat untuk memulai


Tadi saya ke kampus dan bercakap-cakap dengan rekan-rekan sekerja. Mereka usianya masih 20an dan awal 30an, tapi kesadaran ilmiahnya tinggi banget. Jujur, saya salut.
Jaman saya umur 20an, terus terang kesadaran ilmiah saya rendah. Kesadaran ilmiah di sini maksudnya, sebagai akademisi saya sadar pentingnya publikasi, pentingnya presentasi ilmiah di berbagai simposium. Bukan "hanya" mengajar.
Ketika umur saya 20an, saya memang sudah ingin menjadi dosen. Tapi, saya mau jadi dosen karena suka mengajarnya. Sama sekali tidak terpikir untuk penelitian, publikasi, presentasi ilmiah.
Beberapa kali saya pernah menghadiri simposium ilmiah saat usia saya 20an. Sebagai peserta. Saya hanya merasa, orang macam saya tidak mungkin presentasi ilmiah, tidak mungkin publikasi ilmiah di jurnal. Apalagi bikin buku. Itu sesuatu yang mustahil. Pulang dari simposium, yang tersisa adalah rasa kagum. Kagum pada orang-orang yang bisa publikasi dan presentasi ilmiah.
Yang lebih konyol lagi, dulu saat saya kuliah S2 di UI, saya pernah mengikuti kuliah yang salah satu pengajarnya adalah Profesor tersohor di bidang sastra dan feminisme. Pada akhir perkuliahan, kita harus membuat makalah. Saya lalu mengerjakan makalah dan mengumpulkannya. Ternyata makalah saya dapat nilai yang cukup tinggi dan beliau menuliskan pesan kepada saya untuk saya memasukkan makalah tersebut ke salah satu jurnal studi Jepang saat itu. Saya ingat sekali pesan beliau. "Kamu harus masukkan tulisan ini, mereka butuh tulisan seperti ini."
Tentu saja saya senang dipuji Profesor hebat. Tapi, karena saat itu kesadaran ilmiah saya kurang, saya tidak menindaklanjuti dengan memasukkan makalah saya. Saya biarkan saja. Semata-mata alasannya karena saya malas mengirimnya. Sampai sekarang saya tidak tahu makalah itu di mana, hard copy maupun soft copynya. Coba kalau saat itu saya sudah punya kesadaran ilmiah tinggi. Mungkin saya akan berusaha mengontak profesor itu. Mungkin saya akan mencoba networking dan mengemukakan passion saya dalam dunia pendidikan. Tapi saat itu saya tidak punya soft skill seperti itu.
Lalu saya studi ke Jepang. Alasan studi sangat sederhana: ilmu saya sangat kurang dan saya ingin ilmu saya bertambah. Pada umumnya, yang memang pekerjaannya dosen itu, sudah punya "feel" akademik sebelum mulai studi. Ia sudah terbiasa dengan presentasi ilmiah dan publikasi. Saya bagaimana? Saat saya studi, status saya itu Ibu rumah tangga dengan satu anak usia 1 tahun 10 bulan. Sebelumnya saya adalah dosen tidak tetap pada sebuah perguruan tinggi swasta, tapi karena status saya tidak tetap, saat saya memutuskan studi, saya harus melepas pekerjaan saya.
Jadi, bisa dibayangkan kan, seorang Ibu rumah tangga studi di Jepang dengan anak usia 1 tahun 10 bulan? Jujur ya, tahun-tahun awal, slot otak saya lebih banyak dipenuhi dengan daftar belanjaan di supermarket, urusan daycare anak, rasa galau karena suami jadi house husband "gara-gara" saya. Kalau orang lain full speed langsung research dari masa research student, saya ngga. Begitu lama saya butuh waktu untuk terbiasa dengan yang namanya research, baca buku, menulis ilmiah. Profesor dengan tajam selalu bilang pada saya, "kamu tidak mengerti apa-apa. Kamu tidak tahu apa-apa."
Tesis S2 saya adalah sampah. Bukan mengada-ada. Profesor yang bilang sendiri. Saya sampai tidak yakin mau lanjut S3. Takut memproduksi sampah yang lebih parah lagi.
Tapi Profesor saya saat itu bilang dengan tegas, "kalau kamu tidak bisa mematahkan limit kamu sekarang ini, seumur hidup kamu akan jadi pecundang, tidak akan jadi apa-apa."
Mati, mati, mati. Mau jadi looser seumur hidup? Karena takut jadi pecundang seumur hidup, akhirnya saya beranikan diri untuk lanjut studi.
Tahun pertama S3 masih galau, tahun kedua paruh pertama, baru saya mulai menemukan feel akademik itu. Setelah melewati 4,5 tahun yang panjang ngga ngerti apa-apa, untuk pertama kalinya Profesor mengapresiasi kinerja saya. Saya tahu itu benar-benar pertolongan Tuhan, kalau akhirnya ada setitik sinar terang dari rangkaian panjang studi saya.
1,5 tahun terakhir studi saya memang tidak bisa dibilang mudah, tapi setidaknya saya sudah sedikit menguasai medan. Bebannya lebih kepada mengejar deadline, bukan merasa lost, tersesat, dalam pengembaraan tidak ada ujung.
Saya hanya ingin bilang, bahwa perkataan tidak ada kata terlambat untuk belajar itu memang benar adanya. Sekalipun kita ibu-ibu punya anak bayi, sekalipun kita pengangguran, sekalipun kita sangat terlambat memulai. Kita bisa mendesain ulang hidup kita, jalan yang akan kita tempuh.
Terus terang saja, studi pascasarjana itu bukan hal mudah. Apalagi untuk orang dengan banyak keterbatasan seperti saya. Tapi justru karena saya terbatas, saya lemah, saya banyak ketidakmampuan, saya dapat dengan yakin berkata, "Dalam kelemahanlah kuasaMu menjadi sempurna."
Bogor, 22 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

1 comment: