Saturday, July 22, 2017

"Kapan punya anak?"


Emberan ya, halak kita ini kayaknya gatel banget pengen nanya soal kita udah punya anak or ngga, sejak hari pertama nikah. Kayaknya di awal-awal nulisrandom2017 ini saya pernah juga bahas soal pertanyaan kapan punya anak, tapi saya tergelitik ingin bahas lagi khusus, only tentang pertanyaan kapan punya anak.
Teori dan prakteknya, embrio ngga akan ada di rahim, jika tidak ada pertemuan sperma dan indung telur. Ingat, janin tidak akan terjadi hanya karena ada indung telur. Kita butuh sperma, benar? Artinya apa? Embrio alias bakal anak ini terjadi atas kerjasama sama rata suami istri. Ya bukan suami istri juga bisa banget punya anak, tapi hari ini saya mau bahas tentang status perempuan yang sudah menikah dan kerap kali ditanya tak henti soal kapan punya anak. Jadi untuk kali ini kita bahasnya yang di dalam kerangka pernikahan ya.
Entah di suku lain gimana, tapi kalau di suku Batak, punya anak itu udah kayak kewajiban. Dengan garis keturunan patrilineal garis keras, dalam adat Batak, orang yang ngga mau punya anak itu dipandang aneh. Dianggap sok modern, ngga benar, dan sejenisnya. Yang ngga bisa punya anak juga dianggapnya pesakitan. Disuruh segera berobat, didesak-desak terus. Yang menunda untuk punya anak ya dianggap sinting juga. Dianggap nolak rejeki. Intinya, hari ini nikah, kalau bisa, besok langsung hamil. Lebih cepat lebih baik! Dan....lebih banyak anak lebih baik!
Yang "aneh", meski anak itu ada di rahim berkat pertemuan sel telur dan sperma, yang selalu ditanya soal kapan punya anak, kapan punya anak itu hanya perempuan. Laki-laki sangat jarang ditanya atau ditekan atau diopresi soal ini. When it comes to child, so woman it is! Laki-laki silakan makan kacang dan minum bir aja sambil ngobrol-ngobrol di teras.
Tapi hal "aneh" di atas, menjadi tidak aneh jika kita membedahnya dari perspektif gender. Konstruksi budaya sudah mengatur bahwa tempat laki-laki itu di luar rumah, di ranah publik, sedang tempat perempuan itu di dalam rumah, di ranah domestik. Dan karena perempuan punya rahim, maka urusan anak ini di bawah sadar dianggap urusan perempuan, minimal perempuan yang lebih bertanggungjawab. Ini sama seperti urusan kerjaan. Kalau perempuan nganggur, tinggal "lari" jadi ibu rumah tangga, dia tetap dapat status, tapi kalau laki-laki yang nganggur? Kalau dia "lari" jadi Bapak rumah tangga, dari pengalaman saya, laki-laki ini dianggap looser alias pecundang. Mengapa? Karena, nilai laki-laki "sejati" itu ada pada apakah dia punya power secara ekonomi atau ngga, alias dia punya pekerjaan yang stabil atau ngga. Sebaliknya, perempuan juga dianggap bukan perempuan "sejati" jika ia belum punya anak dan belum menikah. Mengapa? Karena, nilai perempuan "sejati" itu ada pada motherhood dan wifehood. Makanya kan, orang-orang di sekitar kita ribuuuuuut banget kalau kita, perempuan, belum menikah padahal sudah melewati batas umur tertentu atau belum juga dikaruniai anak setelah sekian lama menikah.
Untuk sesama perempuan yang saat ini sedang struggle dengan pertanyaan tak ada ujung soal kapan hamil, kapan punya anak, saya hanya ingin berkata: "keep your chin up, because you are more than "just a woman", you are a human! Dan sebagai manusia, kita punya kebebasan memilih dan mendesain hidup kita mau seperti apa. Termasuk di dalamnya, family planning, kapan mau punya anak, mau punya anak berapa, saat umur berapa.
Untuk yang memang sebenarnya ingin punya anak tapi memang belum diberi kesempatan hamil, saya tahu, sungguh rese mendengarkan komentar soal kapan hamil bla bla bla, tapi saya hanya ingin bilang: hamil atau ngga hamil, kita tetap manusia utuh! Patriarki memang kejam, menilai kita berarti hanya jika kita hamil dan punya anak, dan membuat segala prestasi kita di luar kehamilan seperti punya kerja yang bagus, karakter yang baik, sekolah yang tinggi, menjadi tidak ada artinya. Bahkan, pemikiran bahwa hamil itu prestasi saja, menurut saya sudah tidak benar. Hamil itu anugerah, bukan prestasi.
Saya hanya ingin bilang kepada setiap perempuan yang struggle dengan wacana kehamilan: don't let patriarchy norms define us! Karena....kita yang bertanggungjawab untuk mendefinisikan diri kita sendiri, bukan norma patriarki.
Sebagai perempuan, apalagi perempuan dalam lingkungan batak, saya pun tidak luput dari pertanyaan-pertanyaan seputar kapan hamil. Tentu saja saya tidak mengkonfrontir balik dan cari ribut ketika terus-terusan ditanya kapan hamil, tetapi semakin kuat berondongan pertanyaan itu, saya semakin intens berdialog dan menguatkan diri sendiri: tubuh ini milik saya, saya punya hak penuh menentukan kapan hamil dan saya sangat percaya, Tuhan pun tidak pernah memaksa, jadi mengapa saya harus merasa lemah dengan ucapan-ucapan orang-orang di sekitar saya?
Karena teman terbaik kita adalah diri kita sendiri. Sebelum bersosialisasi dengan orang lain, pastikan kita bersosialisasi dengan diri kita sendiri. Berdialog dengan diri sendiri. Mengenal dalam-dalam diri sendiri. Memahami diri sendiri. Mendefinisikan diri sendiri. Sehingga, ketika ada yang mencoba mendefinisikan hidup kita, kita tidak goyah dan tetap teguh hati berpegang pada apa yang kita anggap benar. Dengan segala resikonya.
Karena, dengan berani mendefinisikan diri kita, kita mengukuhkan hakekat kemanusiaan kita.
Bogor, 20 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

No comments:

Post a Comment