Tuesday, March 22, 2011

Pulang atau ngga?

Di tengah maraknya persoalan gempa bumi, tsunami dan nuklir yang menimpa Jepang, sangatlah wajar jika sanak keluarga dan teman-teman mengkhawatirkan keberadaan saya dan keluarga yang sedang merantau di negeri sakura ini. Selain memang kurangnya informasi akurat terhadap kondisi sesungguhnya di Jepang, mungkin banyak juga yang ngga ada bayangan, segimana sih jarak antara Osaka (tempat saya tinggal) dengan daerah yang terkena bencana (daerah Tohoku, terutama perfektur Miyagi, Iwate dan Fukushima). Sangat wajar, saya juga ngga ada bayangan kalau ditanya jarak antara New York dan California, misalnya....hanya tau jika kedua kota itu letaknya di Amerika Serikat. Dan seandainya pun sanak keluarga  lalu membuka peta dan memastikan jarak antara Osaka dan Fukushima itu cukup jauh, tetap saja ada rasa khawatir dari sanak keluarga, karena biar bagaimanapun juga, Osaka adalah salah satu wilayah yang ada di Jepang. Sekarang ini, jika orang mendengar kata 'Jepang', pasti yang pertama terlintas di benaknya, bukanlah negeri penghasil barang-barang elektronik ternama, negeri yang terkenal keindahan bunga sakuranya, negeri yang terkenal anime-nya, tetapi : negeri dengan 3 bencana besar : gempa bumi, tsunami dan reaktor nuklir. Dan meski takut untuk membuka pertanyaan ini, tetapi saya yakin, di dalam hati sebagian besar orang, timbul satu pertanyaan : Apakah Jepang aman untuk ditinggali?

Jujur, ketika semakin banyak penduduk asing yang berduyung-duyung meninggalkan Jepang, entah itu permanen atau sementara, saya mulai merasa galau. Di Tokyo, untuk mendapatkan re-entry permit, konon, harus mengantri seharian. Antrian meluas hingga keluar kantor imigrasi. Bandara Narita sudah menjadi lautan manusia. Banyak yang menginap di bandara, demi mengejar tiket pesawat. Hotel-hotel sekitar bandara sudah fully booked semua. Semua panik, semua galau, semua takut.

Mungkin kondisi sebenarnya, terutama yang terkait dengan nuklir,  tidak semenyeramkan dugaan kita. Mungkin sebenarnya, tidak perlu eksodus dari Jepang secara masal seperti ini. Mungkin sebenarnya, masih sangat memungkinkan untuk beraktivitas sebagaimana mestinya. Itu adalah kemungkinan. Tetapi, kenyataan yang ada, semua orang panik, galau, takut. Dan demam panik ini emang cepat sekali penyebarannya. Satu orang panik, semua orang ikutan panik. Saya juga jujur aja, cukup galau dan panik dengan situasi tak menentu di jepang saat ini.  Orang Jepang mungkin masih beraktivitas seperti biasa. Tetap bekerja dengan tenang, tetap pergi ke kantor atau ke sekolah atau ke kampus, tetap memasak dan berbelanja kebutuhan sehari-hari. Terlihat sangat tenang, seolah-olah tidak terjadi apa-apa, tetapi hati orang siapa yang tahu? Hari Minggu kemarin, ketika saya berjalan di Umeda (salah satu pusat kota Osaka) dengan James dan Joanna (J dan J, suami dan anak saya), saya melihat begitu banyak orang lalu lalang melintasi stasiun, naik eskalator, antri menunggu kereta. Semuanya diam. Kelihatannya sangat tenang, tapi siapa yang tahu keadaan di dalam hati masing-masing? Mungkin semuanya bergolak, semuanya galau, semuanya resah. Lalu saya bilang sama James,

"Ini kelihatannya aja nih  tenang, padahal dalam hati sih semuanya ngeri dan pada waspada."

James cuma bilang, "Embeeeer......"

Jujur saya katakan, menurut saya pribadi, Jepang pasca bencana berbeda dengan Jepang sebelum bencana. Sebelum bencana tuh semua orang hidup tenang-tenang saja. Sekarang, semua orang serba waspada. Di supermarket, batre dan senter banyak yang udah abis stoknya, mungkin semuanya bersiap menyiapkan ransel pengungsian, jaga-jaga jika ada bencana lagi. Saya aja nih belum beli batre, belum nyiapin ransel...kalau senter sih udah ada, gede banget, lagi, lumayanlah kalau mau nimpuk orang, hehehe....

Di Tokyo, bahan makanan makin sulit didapat. Kalau di Osaka, supermarket masih banyak barang-barangnya, ngga habis secara ekstrim seperti di Tokyo. Tapi sekarang, di Osaka, rasanya manusianya bertambah dua kali lipat. Di pusat-pusat keramaian seperti di Umeda, ada pemandangan baru yang terulang berkali-kali : orang-orang yang menggeret koper atau travelling bag dengan muka celingak celinguk kayak kebingungan mau kemana. Saya duga sih, itu mungkin orang-orang yang mengungsi sementara dari Tokyo. Makanya mereka bawa koper dan rada bingung di tengah-tengah stasiun. Mungkin lhooooo...mungkin aja ngga, ini kan hanya dugaan saya.

Pertanyaannya adalah : sampai kapan suasana seperti ini akan terus berlanjut? Saya ngga tau. Dan karena ngga tau inilah, karena ngga ada kepastian kapan selesainya segala persoalan ini, kita semua jadi khawatir. Ngga ada pernyataan yang menyatakan bahwa pada tanggal sekian bulan sekian tahun sekian, masalah reaktor nuklir di Fukushima, selesai secara tuntas. Ngga ada juga pernyataan yang menyatakan, gempa bumi susulan akan selesai tanggal sekian bulan sekian tahun sekian. Setidaknya, jika ada tanggal yang pasti itu, kita mungkin akan lebih tenang dan bisa menghibur diri, tinggal beberapa waktu lagi, setelah itu keadaan aman, jadi bertahanlah sebentar lagi.

Selain gambaru, ada satu konsep lagi yang juga terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat jepang, yaitu konsep 'gaman'. Gaman itu artinya bertahan, menahan diri, endure. Di dalam gaman terdapat unsur kesabaran, ketenangan, pengendalian diri. Untuk saya pribadi, jauh lebih susah ber-gaman ria daripada gambaru. Kalau gambaru sih, sekali tersulut emosinya, kita bisa berjuang penuh semangat, tapi kalau gaman? Ini membutuhkan kesabaran tingkat tinggi untuk terus bertahan dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Perlu keuletan dan terus menerus berusaha menyemangati diri sendiri, sekalipun hati lagi ngga semangat. Siapa yang senang berada dalam kondisi kayak gini? Saya rasa ngga ada seorang pun yang senang nahan-nahan diri kayak gini.

Saya ngga munafik, jika saya tinggal di Tokyo, sangat besar kemungkinan saya memutuskan untuk pulang, minimal pulang sementara. Saya tidak yakin, dapat bertahan di tengah-tengah kondisi yang serba tidak pasti seperti sekarang ini. Keimanan saya masih jauuuuuuuuh bangeeet untuk bisa dengan tenang tanpa khawatir sedikit pun menyatakan, "saya ngga takut karena hidup mati saya ada di tangan Tuhan". Saya ngga bisa bilang begitu, karena.....saya takut! Jujur aja.

Tapi saya sekarang di Osaka. Yang hingga saat ini, merupakan tempat di mana kehidupan masih bisa berjalan seperti biasa. Emang sih, kalau latah ikut-ikutan pulang sekarang, rasanya lebay banget ya. Dan kayak ngga ngehargain perjuangan orang-orang di daerah bencana dan sekitarnya. Tentu saya ngga menghakimi setiap orang asing yang memutuskan untuk keluar dari Jepang. Pasti ada alasan. Misalnya, ada travel warning dari negaranya, himbauan dari pemerintah negaranya untuk segera angkat kaki dari jepang, sanak keluarga yang sangat mengkhawatirkan keberadaan mereka, atau suasana sekitar yang udah ngga kondusif untuk beraktivitas dengan tenang. Banyak alasan dan kalau mau pulang pun, itu bukan hal yang buruk, itu sangat wajar.

Nah kalau saya ditanya, pulang atau ngga? Saya akan menjawab : Sekarang sih tetap berdiam  di Osaka, toh di sini kegiatan masih berjalan seperti biasa. Lebay emang kalo pulang, padahal tinggalnya di Osaka. Dan sambil berdiam di sini, saya akan berusaha supaya bisa lebih gaman akan segala kondisi ini. Berusaha sabar dan tenang, meski itu sangat menyebalkan sekali ya.....sekaligus (ini yang paling penting) : belajar berserah total pada Sang Pemilik Hidup, karena pada awalnya dan pada akhirnya....dari Dia semuanya berasal, pada Dia semuanya akan kembali...

Saya tidak akan berani berkata bahwa saya akan tetap di Jepang, saya tidak akan pulang, saya akan berjuang terus di Jepang....karena, saya sadar banget bahwa saya nih masih cemen abis mentalnya, belum punya semangat jberjuang dan bertahan seperti itu, dan saya juga ngga yakin dapat mempertanggungjawabkan kata-kata saya. Jika keadaan makin memburuk, bukan ngga mungkin saya akan pulang sementara, tapi untuk saat ini : saya akan bertahan di sini, di Osaka, kota termanis kedua bagi saya setelah Bogor.

(dapat juga dibaca di www.rouliesther.blogspot.com)

1 comment:

  1. berkunjung hanya untuk baca dan baca. moga tetap sehat bu ya.

    ReplyDelete