by Rouli Esther Pasaribu on Saturday, March 19, 2011 at 12:47am
Pertama-tama, terima kasih untuk setiap teman-teman dan handai taulan (hahahaha, bahasanya jadul banget ya) yang mengapresiasi notes saya yang berjudul "say Yes to gambaru!". Terus terang aja, ketika menulis notes tersebut, sama sekali tidak terpikir bahwa notes itu akan dibaca banyak orang. Seperti biasa, saya menulis untuk konsumsi keluarga dan teman-teman dekat saja, karena ingin berbagi cerita dengan mereka. Maklumlah, saya tinggal jauh dari sanak saudara, keluarga dan teman-teman dekat, sehingga rasanya ingin selalu menjaga komunikasi dari mereka seintens mungkin. Bukankah makin jauh kita dengan seseorang, makin terasa sungguh betapa berharganya orang tersebut? Kalau tiap hari bisa ketemu,kerasanya biasa aja kan? Betul ngga? Betul pastiiii.....
Setelah notes "Say Yes to Gambaru" beredar, banyak yang lalu menulis message di FB sa ya, meng-add saya jadi temannya, dan berkunjung ke blog saya. Banyak yang mengatakan pada saya melalui message, postingan di wall, comment di blog, untuk saya terus berjuang di jepang, jangan menyerah, tetap semangat. Terima kasih untuk dukungan teman-teman semua, tapi kemudian saya berpikir, layak tidak saya menerima semua dukungan itu?
Siapa sebenarnya yang paling berjuang? Saya? Sejauh ini, keadaan di Osaka (kota tempat saya tinggal), masih baik-baik saja. Kegiatan berjalan biasa, bahan makanan pun cukup, kami tidak terkena pemadaman lampu. Saat ini sedang libur musim semi, dan saya tidak ke kampus, jadi saya menghabiskan waktu di rumah, beres-beres rumah, masak, layaknya seorang ibu rumah tangga, dan sekaligus bekerja sambilan untuk menambah-nambah uang bulanan.Memang untuk bulan ini, saya tidak mau buka buku-buku kuliah, baru mau mulai belajar lagi bulan April, begitu masuk tahun ajaran baru. Ya maleslah, gambaru pun butuh rehat dong, biar balance jiwa raga, hahahahaha.....
Bagaimana keadaan di Tohoku, daerah yang terkena gempa parah? Dari berita televisi yang saya lihat, masih begitu banyak pengungsi yang belum mengetahui kabar keluarganya berada di mana. Hari ini banyak dilakukan upacara kelulusan di sekolah-sekolah. Saya tadi melihat, SMP yang muridnya hanya tinggal sedikit, bangunannya pun tidak lagi utuh, tapi tetap menjalankan upacara kelulusan. Setiap murid diberi ijazah kelulusan. Kepala sekolah memberikan ijazah dengan mata berkaca-kaca, murid-murid pun banyak yang menitikkan air mata. Namun, mereka berusaha tersenyum dan meski berat hidup mereka saat ini, mereka menyatakan bersyukur bisa lulus.
Saya juga melihat di televisi, bahwa mulai hari ini, di daerah yang terkena gempa dan tsunami, mulai dilakukan pembangunan ulang. Padahal kondisi fisik dan mental benar-benar belum pulih, tapi pembanguan ulang mulai dilakukan. Saya bergidik. Terus terang, saya belum punya mental sebaja itu. Saya akui sungguh.
Namun yang paling membuat bulu kuduk saya merinding dan batin menahan haru (mulai deh melow), adalah betapa ksatrianya sikap para pekerja di reaktor nuklir. Mereka mati-matian berusaha untuk menjaga agar ledakan atau kebocoran tidak bertambah parah dan membahayakan warga. Istilahnya, mereka sudah berani mati terkena radiasi. Saya tidak tahu bagaimana sbenarnya kondisi reaktor nuklir itu. Selain buta sama sekali masalah nuklir, bahasa jepang yang digunakan di televisi pun sangat ilmiah dan saya tidak mampu menangkapnya. Jadi jika ada yang bertanya bagaimana kondsi reaktor nuklir itu, jujur, saya tidak tahu jawaban yang pasti. Mungkin bisa dicari di situs KBRI di Tokyo, Jepang, mereka pun memuat informasi terkini soal bencana. Terlalu banyak berita yang beredar memang membuat galau ya, kita tidak tahu lagi mana yang benar, mana yang salah. Sudahlah ya, sambil tetap waspada, berserah saja pada Tuhan, karena memang banyak hal yang tidak kita mengerti, bukan? Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun tempat di dunia ini yang aman, karena memang ciri khas dunia adalah menjual ketidakpastian.
Lalu saya teringat tanah air saya, Indonesia. Tentu di Indonesia begitu banyak orang yang berjuang dengan caranya sendiri-sendiri. Mungkin secara bangsa, mental kita memang belum mental berjuang sekeras baja seperti Jepang, tapi secara individu, tentu banyak yang berjuang mati-matian. Hanya tidak dilliput, tidak ada yang tahu. Kita tidak tahu kan, bagaimana para buruh berjuang menghidupi keluarganya, bagaimana para pekerja rumah tangga rela untuk tinggal terpisah dengan anaknya demi mencari sesuap nasi, bagaimana para tukang sayur berpeluh keringat menawarkan dagangannya yang belum tentu laku? Dalam diam mereka berjuang, tidak banyak yang tahu, karena memang pejuang sejati tidak akan menggembar gemborkan perjuangannya. Mengapa? Karena perjuangan itu sudah menjadi bagian dari gaya hidup, sehingga dianggap sebagai sebuah kewajaran dalam hidup.
Jadi siapa sebenarnya yang paling berjuang? Saya rasa tidak ada yang paling berjuang, yang ada adalah masing-masing berjuang di ranahnya sendiri-sendiri dengan caranya sendiri. Mulai dari korban tsunami dan gempa di Tohoku, Jepang, para pekerja di reaktor nuklir, kita semua yang ada di Indonesia dan Jepang. Memang perjuangan kita mungkin belum "sekelas" para pekerja di reaktor nuklir, tapi tidak perlu berkecil hati, mulai saja lakukan hal-hal kecil yang dapat mengasah mental berjuang kita. Berjuang itu bukan slogan, tapi kata kerja, maka untuk menjadikannya terinternalisasi dalam diri kita, harus dilatih setiap hari, hingga akhirnya menjadi sebuah gaya hidup. Yang menilai kita berjuang atau tidak, itu adalah diri kita sendiri. Kalaupun orang lain menganggap kita berjuang tapi ternyata sebenarnya tidak, kan yang rugi diri kita sendiri. Jadi, tidak perlu ngotot harus berada di garda depan perjuangan, tapi mari kita kerjakan apa yang ada di depan kita sebaik mungkin, dengan hati tenang dan penuh ucapan syukur. Entah itu menuntut ilmu, urus anak dan suami, jadi ibu rumah tangga, pekerja kantoran, pengajar, pekerja sosial dan sebagainya.
"Just do your best in your own space and let God work in it". Mari berjuang!
(dapat juga dilihat di http://rouliesther.blogspot.com/)
Setelah notes "Say Yes to Gambaru" beredar, banyak yang lalu menulis message di FB sa ya, meng-add saya jadi temannya, dan berkunjung ke blog saya. Banyak yang mengatakan pada saya melalui message, postingan di wall, comment di blog, untuk saya terus berjuang di jepang, jangan menyerah, tetap semangat. Terima kasih untuk dukungan teman-teman semua, tapi kemudian saya berpikir, layak tidak saya menerima semua dukungan itu?
Siapa sebenarnya yang paling berjuang? Saya? Sejauh ini, keadaan di Osaka (kota tempat saya tinggal), masih baik-baik saja. Kegiatan berjalan biasa, bahan makanan pun cukup, kami tidak terkena pemadaman lampu. Saat ini sedang libur musim semi, dan saya tidak ke kampus, jadi saya menghabiskan waktu di rumah, beres-beres rumah, masak, layaknya seorang ibu rumah tangga, dan sekaligus bekerja sambilan untuk menambah-nambah uang bulanan.Memang untuk bulan ini, saya tidak mau buka buku-buku kuliah, baru mau mulai belajar lagi bulan April, begitu masuk tahun ajaran baru. Ya maleslah, gambaru pun butuh rehat dong, biar balance jiwa raga, hahahahaha.....
Bagaimana keadaan di Tohoku, daerah yang terkena gempa parah? Dari berita televisi yang saya lihat, masih begitu banyak pengungsi yang belum mengetahui kabar keluarganya berada di mana. Hari ini banyak dilakukan upacara kelulusan di sekolah-sekolah. Saya tadi melihat, SMP yang muridnya hanya tinggal sedikit, bangunannya pun tidak lagi utuh, tapi tetap menjalankan upacara kelulusan. Setiap murid diberi ijazah kelulusan. Kepala sekolah memberikan ijazah dengan mata berkaca-kaca, murid-murid pun banyak yang menitikkan air mata. Namun, mereka berusaha tersenyum dan meski berat hidup mereka saat ini, mereka menyatakan bersyukur bisa lulus.
Saya juga melihat di televisi, bahwa mulai hari ini, di daerah yang terkena gempa dan tsunami, mulai dilakukan pembangunan ulang. Padahal kondisi fisik dan mental benar-benar belum pulih, tapi pembanguan ulang mulai dilakukan. Saya bergidik. Terus terang, saya belum punya mental sebaja itu. Saya akui sungguh.
Namun yang paling membuat bulu kuduk saya merinding dan batin menahan haru (mulai deh melow), adalah betapa ksatrianya sikap para pekerja di reaktor nuklir. Mereka mati-matian berusaha untuk menjaga agar ledakan atau kebocoran tidak bertambah parah dan membahayakan warga. Istilahnya, mereka sudah berani mati terkena radiasi. Saya tidak tahu bagaimana sbenarnya kondisi reaktor nuklir itu. Selain buta sama sekali masalah nuklir, bahasa jepang yang digunakan di televisi pun sangat ilmiah dan saya tidak mampu menangkapnya. Jadi jika ada yang bertanya bagaimana kondsi reaktor nuklir itu, jujur, saya tidak tahu jawaban yang pasti. Mungkin bisa dicari di situs KBRI di Tokyo, Jepang, mereka pun memuat informasi terkini soal bencana. Terlalu banyak berita yang beredar memang membuat galau ya, kita tidak tahu lagi mana yang benar, mana yang salah. Sudahlah ya, sambil tetap waspada, berserah saja pada Tuhan, karena memang banyak hal yang tidak kita mengerti, bukan? Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun tempat di dunia ini yang aman, karena memang ciri khas dunia adalah menjual ketidakpastian.
Lalu saya teringat tanah air saya, Indonesia. Tentu di Indonesia begitu banyak orang yang berjuang dengan caranya sendiri-sendiri. Mungkin secara bangsa, mental kita memang belum mental berjuang sekeras baja seperti Jepang, tapi secara individu, tentu banyak yang berjuang mati-matian. Hanya tidak dilliput, tidak ada yang tahu. Kita tidak tahu kan, bagaimana para buruh berjuang menghidupi keluarganya, bagaimana para pekerja rumah tangga rela untuk tinggal terpisah dengan anaknya demi mencari sesuap nasi, bagaimana para tukang sayur berpeluh keringat menawarkan dagangannya yang belum tentu laku? Dalam diam mereka berjuang, tidak banyak yang tahu, karena memang pejuang sejati tidak akan menggembar gemborkan perjuangannya. Mengapa? Karena perjuangan itu sudah menjadi bagian dari gaya hidup, sehingga dianggap sebagai sebuah kewajaran dalam hidup.
Jadi siapa sebenarnya yang paling berjuang? Saya rasa tidak ada yang paling berjuang, yang ada adalah masing-masing berjuang di ranahnya sendiri-sendiri dengan caranya sendiri. Mulai dari korban tsunami dan gempa di Tohoku, Jepang, para pekerja di reaktor nuklir, kita semua yang ada di Indonesia dan Jepang. Memang perjuangan kita mungkin belum "sekelas" para pekerja di reaktor nuklir, tapi tidak perlu berkecil hati, mulai saja lakukan hal-hal kecil yang dapat mengasah mental berjuang kita. Berjuang itu bukan slogan, tapi kata kerja, maka untuk menjadikannya terinternalisasi dalam diri kita, harus dilatih setiap hari, hingga akhirnya menjadi sebuah gaya hidup. Yang menilai kita berjuang atau tidak, itu adalah diri kita sendiri. Kalaupun orang lain menganggap kita berjuang tapi ternyata sebenarnya tidak, kan yang rugi diri kita sendiri. Jadi, tidak perlu ngotot harus berada di garda depan perjuangan, tapi mari kita kerjakan apa yang ada di depan kita sebaik mungkin, dengan hati tenang dan penuh ucapan syukur. Entah itu menuntut ilmu, urus anak dan suami, jadi ibu rumah tangga, pekerja kantoran, pengajar, pekerja sosial dan sebagainya.
"Just do your best in your own space and let God work in it". Mari berjuang!
(dapat juga dilihat di http://rouliesther.blogspot.com/)
Halo Mbak Rouli Esther, tulisan menarik dan pastinya bermanfaat, mohon ijin ya aku publis kembali di situs www.beritalingkungan.com yang aku kelola bersama teman-2 jurnalis yang care dengan isu lingkungan. Tulisan tersebut memberikan pembelajaran menarik bagi kita semua, mengingat Indonesia merupakan daerah rawan gempa dan tsunami. Thanks.
ReplyDeletembak rouli.. bagus bgt ceritanya.. sangat menginspirasi.. kebetulan aku kerja di perusahaan jepang.. kena bgt deh ceritanya..
ReplyDeletesalam kenal mb, sejak blog "Say Yes to GAMBARU" saya suka baca blognya mbak, ngalir banget cara ceritanya. terima kasih untuk share pengalamannya.
ReplyDelete