Saturday, November 27, 2010

Janji pernikahan

Saya, James Edison Panjaitan, mengambilmu, Rouli Esther Pasaribu sebagai istri yang sah dan saya berjanji untuk setia mulai dari hari ini dan seterusnya, baik dalam keadaan susah maupun senang, kaya maupun miskin, sehat maupun sakit. Saya akan mencintai dan menjagamu sampai kematian memisahkan kita. Inilah janji setiaku bagimu.

Saya, Rouli Esther Pasaribu, mengambilmu, James Edison Panjaitan sebagai suami yang sah dan saya berjanji untuk setia mulai dari hari ini dan seterusnya, baik dalam keadaan susah maupun senang, kaya maupun miskin, sehat maupun sakit. Saya akan mencintai dan menjagamu sampai kematian memisahkan kita. Inilah janji setiaku bagimu.

(diucapkan hari Sabtu, 3 September 2005 di GKI Pengadilan Bogor, di hadapan Tuhan, sanak keluarga, pendeta dan jemaatNya)

November 2010. 5 tahun sudah berlalu sejak gw menikah dengan James. Orang bilang, 5 tahun ga ada apa-apanya dibanding pasangan yang udah puluhan tahun bersama. Tapi, kalo diliat dari kacamata artis2 ibu kota yang setahun aja udah pada doyan kawin cerai....mungkin 5 tahun termasuk waktu yang lumayan lama. Ya tergantung juga dari siapa yang melihatnya sih.

Hari itu, 3 September 2005. James dalam keadaan punya kerja yang bagus, gw juga lagi kuliah S2 di UI dan jadi dosen tidak tetap di STBA LIA Jakarta. Biaya pernikahan, meski dibantuin juga sama Papa, tapi James nyumbang lumayan banyak. Untuk biaya renovasi rumah, juga itu dari tabungan James dan gw.

Hari itu, 3 September 2005. Baik James maupun gw, saat mengucapkan janji pernikahan itu, sama sekali ga terpikir, bahwa 5 tahun kemudian, kita akan berada dalam keadaan : James ga punya kerja, gw kuliah pake uang beasiswa, dan kita terdampar di Jepang dalam keadaan punya anak perempuan 3,5 tahun bernama Joanna Panjaitan.

Hari itu, 3 September 2005. Saat mengucapkan janji itu, meski ngerti secara teori, tapi ngga paham prakteknya bagaimana. Mencintai dalam keadaan susah dan senang, saat kaya dan miskin, saat sehat dan sakit, sampai kematian memisahkan kita. 5 tahun kemudian, kita dikasih kesempatan untuk mencintai bukan hanya saat senang, tapi saat susah, bukan hanya saat kaya, tapi saat miskin juga (alhamdulilah, kita berdua masih sehat hingga hari ini. Terus2an sehat ya Tuhan, biar bisa ngegedein Joanna sama-sama, aminnnnn).

5 tahun pernikahan. Tidak selalu menyenangkan. Itu adalah fakta. Bahwa menjadi suami istri, juga menjadi orangtua, bukanlah hal yang gampang. Dibutuhkan tidak hanya cinta, tetapi juga komitmen untuk tetap menjaga cinta dan melangsungkan hidup berkeluarga. Karena, perasaan itu labil sifatnya, bisa berubah-ubah setiap waktu, tetapi komitmen itu masalahnya adalah ketetapan hati, bukan?

Elu seneng ga punya suami belum punya kerja karena nemanin istri kuliah?
Elu seneng ga tinggal di apartmen sempit 3 kamar, terdiri dari satu kamar tidur, satu ruang keluarga, dan satu ruangan untuk dapur, kamar makan, WC dan kamar mandi?
Elu seneng ga belum bebas dari financial insecure?
Elu seneng ga mesti kerja sambilan selain kuliah dan ngurus anak?
Elu seneng ga mesti belajar terus-terusan padahal belum tentu juga ada masa depan gilang gemilang untuk elu dan keluarga?
Elu seneng ga mesti mikir dua kali kalo mau beli sesuatu, dan bingung mau jawab apa kalo anak nanya : Mama, kenapa sih kita ngga punya mobil?
Elu seneng ga, umur udah kepala tiga, tapi tetap aja mesti hemat ini itu, karir ga jelas gimana, impian jadi profesor ga tau bisa tercapai atau ga, sementara banyak teman yang udah sukses lahir batin, ngebangun keluarga iya, punya materi berlimpah juga iya, karir juga mantap?

Seandainya pertanyaan itu ditanyakan pada saya, tentu saya akan menjawab : udah pasti ga senanglah! Siapa yang senang susah? semua orang juga mau hidup senang, aman, tenteram kan?

Tapi kenyataannya, semua yang ditanyakan itulah yang menggambarkan kondisi saya saat ini.

Ya udah. Ya udah. Ya udah. Diterima dengan pasrah, tapi bukan berarti menyerah. Tetap bersukacita, tetap bersyukur, tetap menjaga pikiran meski kadang mengumpat.

Bersukacita dan bersyukur itu masalah ketetapan hati. Bukan masalah perasaan. Sama seperti berkeluarga. Kalo ngandalin perasaan doang, saya jamin, setahun juga udah pada cerai semua pasangan suami istri di dunia ini.

Saya tidak senang berada dalam kondisi susah. Tapi, satu hal yang pasti, saya akan tetap mencintai suami saya, dalam keadaan senang dan susah, kaya dan miskin, sehat dan sakit. Semoga saya bisa melakukannya.

Trus kalo orang nanya : Rouli, ngapain elu berjuang, ga jelas juga ntar elu gimana masa depannya?

Iya, bener sih. Tapi kalau ditanya, kenapa saya berjuang, sekarang saya tahu dan yakin jawabnya : Saya berjuang karena saya mencintai suami dan anak saya, dan hanya itulah yang bisa saya lakukan untuk menunjukkan cinta dan penghargaan saya terhadap mereka. Mereka udah berkorban jiwa raga nemanin saya kuliah, jadi ya saya harus kasih yang terbaik. Ini bukan masalah take and give, ini masalah gimana saya menghargai orang-orang yang saya cintai.

Jadi ngapain gw berjuang susah payah? Ya karena I love J and J to the fullest, apapun keadaannya. As simple as that. Titik.


No comments:

Post a Comment