Saturday, July 22, 2017

Bogor Permai atau restoran gaul?


Kemarin malam saya makan di food court Botani Square Bogor. Saya ngga makan makanan yang lagi kekinian, saya makan kwetiaw siramnya Rumah Makan Bakmi Gaya Tunggal. Mereka memang buka satu stand di food court Botani Square.
Sambil makan, saya sambil mikir. Kwetiaw siram ini rasanya sederhana, ngga berlebihan, pas. Bukan rasa yang kayaknya usaha banget biar jadi enak. Penampakannya pun sederhana. Tidak pakai dihias-hias, piringnya juga hanya piring putih biasa dengan cap "gaya tunggal" yang tidak keren sama sekali.
Rumah makan bakmi Gaya Tunggal itu pertama-tama dibuka di daerah Pasar Bogor, tepatnya sih di depan museum Zoologi. Restorannya jadul sangat. Saya sendiri ngga pernah makan di restoran pertamanya ini. Saya lebih sering makan di cabangnya yang di Jl Bangbarung, karena dekat dengan rumah saya. Atau mentok-mentok ya di food court Botani Square.
Ada lagi restoran Bogor Permai. Semua orang yang tinggal di Bogor pasti tahu restoran ini. Mulai beroperasi sejak tahun 1963, sampai sekarang, restoran dan toko roti ini tetap banyak penggemar setianya. Letaknya di Jl Jend Sudirman. Jaman saya masih kecil dan belum banyak restoran, Bogor Permai ini termasuk tempat andalan kalau mau makan "mewah". Sate ponorogonya enak banget, sup asparagusnya juga. Kalau untuk sarapan, lontong cap gomehnya itu super juara. Bubur ayamnya rasanya lembut, pas di lidah. Belum lagi roti-roti dan kue-kuenya. Rasanya klasik.
Di dekat restoran Bogor Permai, masih satu jalan juga, ada Rumah Makan Sahabat alias Yungsin. Mie ayam basonya adalah salah satu yang terenak menurut saya. Sewaktu saya studi di Jepang, kalau udah stress mau menghadapi mid defense atau progress report, saya langsung ingin makan mie yungsin. Sushi atau sashimi sih ngga bisa dibandingkan dengan mie yungsin deh. Kelasnya beda. Enakan mie yungsin maksudnya!
Satu lagi restoran yang menurut saya makanannya enak itu rumah makan Dunia Baru. Letaknya di Pasar Gembrong. Ini juga ya, sudah ada sejak tahun 1960an, sama seperti Bogor Permai, Bakmi Gaya Tunggal, Mie Yungsin. Sampai sekarang tetap kokoh berdiri. Tempatnya ngga keren sama sekali, malah cenderung gerah karena tidak ber-AC. Meja dan kursinya sederhana, interiornya sama sekali ngga instagramable. Kepiting saos padangnya, sampai hari ini saya belum menemukan tempat lain yang rasanya seotentik Dunia Baru. Semua makanan di Dunia Baru itu ngga ada yang ngga enak. Harganya juga cukup terjangkau.
Sekarang di Bogor banyak restoran-restoran cantik. Interiornya keren sangat, kalau mau foto-foto untuk upload di sosial media, pas banget. Saya pernah mencoba beberapa di antaranya, tapi terus terang aja, saya cukup satu kali aja ke resto-resto cantik kayak gitu. Rasanya ngga kepengen-pengen amat untuk balik lagi. Beda dengan RM Bogor Permai, RM Dunia Baru, RM Sahabat alias Yungsin dan RM Bakmi Gaya Tunggal. Makanan-makanan di restoran-restoran ini seolah-olah memanggil saya untuk mampir lagi, lagi, dan lagi. Dan herannya mau makan berapa kali juga, kalau makan di restoran-restoran tersebut, saya ngga pernah bosan. 
Padahal kan banyak restoran yang kekinian di Bogor, tapi mengapa saya ngga semangat untuk datang lagi? Jawabannya sederhana sih : masakan mereka kurang berkualitas. Minimal, kualitasnya kalah dibandingkan dengan Bogor Permai, Dunia Baru, Bakmi Gaya Tunggal, Mie Yungsin. Kebanyakan restoran kekinian itu tidak punya ciri khas. Satu bikin pizza, yang lain ikutan. Satu bikin chinese food, yang lain ikut bikin juga. Atau, terlalu banyak pilihan makanan yang mereka tawarkan, mulai dari makanan barat, Asia, Indonesia, sampai pusing lihat menunya. Akhirnya kurang fokus. Rasa juga standar, bukan yang istimewa banget. Pernah nih saya diajak makan di restoran yang minta ampun ngantrinya gila banget, sampai diberlakukan sistem buka tutup demi menjaga ketertiban tamu. Restoran ini banyak sekali pengunjungnya dan kalau saya perhatikan, rata-rata platnya B. Mungkin anak Jakarta yang kemakan iklan ingin makan di tempat yang kekinian. Karena yang mau makan di restoran ini banyak banget, saya pikir, makanannya mungkin enak banget. Ternyata? Minta ampun, ngga enak sama sekali. Semua yang kenal saya tahu kan ya kalau saya ini ngga bisa masak. Tapi makan di restoran itu, saya mikir, yaelaaaaah kalau cuma segini doang mah gue juga bisa bikin di rumah! Bayangin deh kalau orang yang ngga bisa masak macam saya sudah berpikir begitu, berarti kan rasa masakannya standar banget. Sampai hari ini, saya tidak pernah mau balik ke restoran itu, karena pengalaman pertama, rasa makanannya benar-benar standar, malah agak kurang ya kalau untuk ukuran restoran.
Kalau saya perhatikan, RM Bogor Permai, RM Dunia Baru, RM Bakmi Gaya Tungga; dan RM Mie Yungsin itu sampai hari ini tetap bertahan di tengah-tengah restoran-restoran gaul di Bogor, karena mereka itu punya kualitas, konsisten, dan emang passion mereka itu beneran di usaha kuliner. Istilahnya, sudah panggilan hidup para owner restoran-restoran di atas untuk membuka restoran dan menyediakan makanan enak untuk warga Bogor. Mereka buka restoran dan bertahan sampai hari ini karena memang mereka mampu, mereka punya ciri khas, mereka fokus banget. Coba deh perhatikan, misalnya Bakmi Gaya Tunggal dan Mie Yungsin. Mereka fokus di mie. Mereka ngga centil ikut-ikutan jualan pizza misalnya. Kalau mie ya mie aja. Dan meskipun sama-sama mie, dua-duanya tetap bertahan sampai hari ini, karena punya ciri khas. Mie yungsin rasanya lebih oily, lebih kuat, lebih jreng! Sedang Bakmi Gaya Tunggal, rasanya lebih ringan, sederhana. Demikian juga Bogor Permai dan Dunia Baru. Bogor Permai fokus di kue-kue dan roti. Dari dulu sampai sekarang, varian roti yang dijual di Bogor Permai ya itu-itu aja. Tapi tetap enak dan rasanya konsisten, ngga berubah. Sate Ponorogonya Bogor Permai juga rasanya tetap sama, dari saat pertama kali saya makan ketika saya masih SD kelas 1 sampai hari ini, saat usia saya menuju 40 tahun. Ngga ada perubahan sama sekali. Konsisten. Dunia Baru juga pastinya begitu. Restoran ini fokus khusus di masakan Cina. Mereka ngga ikut-ikutan jualan zuppa soup atau cheese fondue atau laksa Malaysia-lah segala macam. Dari jaman saya SD makan di sini sampai sekarang saya yang punya anak SD, Dunia Baru ngga pernah berubah, baik rasa maupun suasana. Menu makannya aja masih "jelek", hanya terdiri dari beberapa lembar kertas yang diluminating, yang tidak bercita rasa seni sama sekali. Terus kita nulis sendiri pesanan kita di atas kertas buram yang sangat jadul. Tapi soal rasa? Juara satu terus dehhhhh, ngga pernah turun peringkat!
Kemarin, sambil makan kwetiaw siramnya bakmi gaya tunggal, saya berpikir, bahwa memang terakhir-terakhirnya, yang akan bertahan dan menjadi pemenang itu ya orang-orang yang emang punya kualitas. Soal ngegaya atau tengil sana sini, semua juga bisa, tapi cepat atau lambat, yang ngga berkualitas ya pada akhirnya tidak akan bertahan. Dan kalau kita hidup bagaikan resto-resto wanna be, yang buka bisnis kuliner hanya karena latah ikut-ikutan saja, ya sebenarnya kita tinggal tunggu waktu aja, lama-lama kita tumbang sendiri. Memang sudah paling benar, jangan pernah ikut-ikutan kalau memang ngga mau. Hasilnya ngga akan bagus, jika sesuatu itu tidak benar-benar keluar dari hati.
Pilih mana? Jadi resto yang penampakannya ngga gaul macam Dunia Baru tapi tetap konsisten dengan rasa makanannya yang otentik, atau mau kayak restoran-restoran kekinian yang tampilannya bagus tapi tidak meninggalkan kesan mendalam? Saya sih berharap saya bisa kayak restoran Dunia Baru ya. Yang meskipun sudah puluhan tahun bergerak di bidang yang sama, tapi tetap punya semangat dan passion, dan selalu menyuguhkan yang terbaik. Yang meskipun dari luar terlihat biasa-biasa saja, tapi kedalaman dapurnya itu sungguh menunjukkan kualitas mumpuni.
Berita baiknya, seperti yang dulu pernah saya posting juga, kualitas itu bisa diasah. Asal memang kita hidup sesuai dengan panggilan hidup kita. Jangan sampai kita memakai sepatu yang salah, yang sempit atau yang kegedean. Kita akan sulit berjalan karena faktor ketidakcocokan antara kaki dan sepatu itu sendiri. Tetapi, jika kita mengenakan sepatu yang pas, kita akan dapat berjalan terus, sekalipun dalam pelaksanaannya, kita pasti menemukan kerikil-kerikil tajam, batu-batu besar, tebing-tebing yang terjal. Tetapi, sepanjang kita mengenakan sepatu yang pas, yang memang benar-benar cocok untuk kita, kita pasti akan dapat terus bergerak maju. Walaupun pelan-pelan. Walaupun selangkah demi selangkah.
11 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

No comments:

Post a Comment