Saturday, July 22, 2017

Pakai ART atau ngga?


Ini nih topik yang sempat hangat beberapa waktu yang lalu, tentang debat pakai Asisten Rumah Tangga (ART) atau ngga pakai ART. Saya sendiri agak bingung, kenapa hal kayak gini harus jadi masalah. Kan sebenarnya sederhana: kalau dirasa butuh ya pakai, ngga butuh ya ngga pakai. Kan beres?
Saya sendiri termasuk kubu mana? Maaf, saya paling anti polarisasi segala macam wacana seputar "good mom-bad mom". Menurut saya, belum tentu ibu yang ngga pakai ART, yang anti susu formula, yang kasih ASI eksklusif, yang masak tiap hari itu ibu yang baik. Belum tentu juga ibu yang pakai ART, yang kasih susu formula, yang ngga masak tiap hari itu ibu yang buruk. Terlalu murah ngga sih, melabeli baik buruknya ibu hanya dengan hal-hal di atas?
Jadi kalau sudah mulai ramai pertentangan bad mom vs good mom, saya sih ngga mau ikut-ikut. Buang energi maksimal itu sih. Termasuk soal heboh pakai ART atau ngga.
Saya perhatikan, yang ngga pakai ART itu suka ngerasa bangga dan anggap dirinya ngga level dengan yang pakai ART. Di mata ibu-ibu yang ngga pakai ART, ibu-ibu yang pakai ART ini suka dianggap manja, ngga peduli anak, sosialita. Bukannya masak di rumah malah arisan kongkow kongkow. Terus, ada juga yang benchmarking ke ibu-ibu Indonesia yang tinggal di negara-negara maju. Di situ ibu-ibu ngerjain segala sesuatunya sendiri tuhhhhh...kok lu-lu pada manja amat sih di Indonesia?
Sebagai orang yang pernah merasakan hidup di negara maju, saya hanya mau bilang, kondisi Indonesia dan negara maju itu beda. Misalnya di Jepang, meski ngga pakai ART, lingkungan dan sistem mendukung untuk hidup tetap nyaman dan aman. Di Jepang, ada daycare seharian penuh untuk menitipkan anak jika kita bekerja atau sekolah. Untuk tingkat SD, ada after school program sampai kelas 4 SD, jadi selesai sekolah, anak yang orang tuanya bekerja atau sekolah, bisa ikut kegiatan di gedung yang satu area dengan sekolah, dan memang diawasi caregiver bersertifikat. Jarak sekolah dengan rumah itu relatif dekat dan lingkungan sekitar cukup aman. Kita ga perlu pusing soal antar jemput anak.
Soal makanan, di Jepang itu umumnya masakan lebih simple. Cuma goreng salmon aja beres. Sementara di Indonesia salmon itu termasuk makanan mewah, di Jepang orang makan salmon sebagai makanan sehari-hari. Harga memang lebih terjangkau daripada salmon di Indonesia.
Intinya itu, banyak hal yang mempermudah hidup sehingga keberadaan ART itu tidak terasa sangat signifikan. Tapi kalau di Indonesia bagaimana? Terutama di kota-kota besar, kita ngeri juga melepas anak pergi pulang sekolah sendiri. Kalau orang tua dua-duanya bekerja, tidak ada after school program seperti di Jepang yang mudah dijangkau. Soal masakan juga masakan Indonesia cukup ribet. Singkat cerita, jika kita tidak punya support system yang kuat, mempekerjakan ART adalah salah satu pilihan untuk mempermudah hidup.
Terus gimana, pulang ke Indonesia saya pakai ART ngga? Saya sih ngga pakai. Bukan karena ingin jadi ibu teladan yang mau ngerjain semuanya sendiri, tapi memang karena rumah saya ini kecil dan kalau ada ART, privacy di rumah jadi ngga ada. Selain itu juga, puji syukurnya itu Mama dan Papa mau dititipi Joanna selama saya bekerja, dan Joanna juga bisa urus dirinya sendiri jadi tidak terlalu merepotkan Mama Papa. Jadi saya pikir, ngga pakai ART juga kehidupan masih bisa berjalan baik.
Yang sebenarnya saya ngga suka itu bukan masalah pakai ART atau tidak. Yang menurut saya sangat menyebalkan itu adalah gimana kelompok ibu-ibu yang pakai ART dan tidak itu saling merasa diri paling benar dan cenderung menjatuhkan yang lain. Ini sama saja dengan perdebatan ibu-ibu antara yang kasih ASI eksklusif dan tidak, yang melahirkan secara alamiah atau caesar, yang bekerja dan tidak bekerja, yang pesan catering dan masak sendiri. Sudahlah, kita jalan dengan jalan masing-masing aja yang penting kita nyaman. Bagus ngganya itu bukan bagian kita untuk menilai.
Lagipula, kok pakai atau tidak pakai ART, melahirkan alamiah atau caesar, ASI atau susu formula, mengapa harus dijadikan pencapaian sih. Konon katanya ada istilah S1 ASI kalau sukses ASI eksklusif 6 bulan, S2 ASI kalau ASI terus selama satu tahun, dan S3 ASI kalau ASI sampai 2 tahun. Jujur ya saya sih daripada Joanna S3 ASI, saya akan lebih bahagia kalau Joanna S3 beneran.
Hidup sebagai ibu itu adalah bagian dari keseharian dan gaya hidup. Ia adalah kewajaran, bukan keluarbiasaan. Ia adalah keberagaman, karena tidak pernah ada satu jalan hidup sebagai ibu yang paling benar atau paling salah.
6 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

1 comment:

  1. Tulisan yang sangat luar biasa. Ibu-ibu di Indonesia perlu membaca tulisan ini. Agar kita bahagia dengan pilihan kita sendiri tanpa merendahkan pilihan orang lain

    ReplyDelete