Saturday, July 22, 2017

Patriarki hanya merugikan perempuan?


Kalau ada perempuan yang menyerukan kesetaraan perempuan, minta supaya perempuan tidak terbatasi ruang lingkupnya hanya pada ranah domestik, mungkin tidak sedikit dari antara kita yang menganggap perempuan-perempuan ini agak nyentrik, aneh, banyak maunya. Kok ngga terima "kodrat"? Kok ngga legowo dengan "peran perempuan"?
Pada umumnya, kita berpikir gerakan feminisme atau gerakan kesetaraan perempuan yang mencoba mendobrak norma-norma patriarki, "hanya" menguntungkan perempuan saja. Benar demikian?
Awalnya saya juga mengira demikian. Bahwa feminisme adalah perlawanan antara perempuan vs laki-laki. Ternyata bukan. Feminisme bukan persoalan antara laki-laki melawan perempuan. Feminisme sesungguhnya adalah pertentangan antara manusia yang melestarikan nilai-nilai patriarki dan manusia yang berusaha mendobrak nilai-nilai patriarki.
Tidak bisa dipungkiri, nilai-nilai patriarki masih kuat mengakar dalam hidup kita sehari-hari. Secara sederhana, patriarki adalah sebuah sistem di dalam masyarakat atau pemerintahan di mana laki-laki yang memiliki otoritas kuasa dan perempuan dipinggirkan dari otoritas kuasa tersebut. Secara kongkrit, pengejawantahan norma patriarki, misalnya:
Perempuan tugas utamanya adalah pada ranah domestik, sedang laki-laki menguasai ranah publik.
Mitos maskulin dan feminin,contoh: laki-laki adalah "benar-benar laki-laki" jika ia tegas, kuat, berjiwa pemimpin, ambisius, semangat mengukir prestasi, sedangkan perempuan adalah "benar-benar perempuan" jika ia lembut, pendiam, penurut, tidak ambisi, senang jadi homemaker.
Laki-laki adalah pihak yang menolong, melindungi, menafkahi, memberi kebahagiaan, dan perempuan adalah pihak yang ditolong, dilindungi, dinafkahi, diberi kebahagiaan. Contoh paling klasik dapat dilihat pada cerita dongeng Cinderella dan Snow White. Cinderella yang miskin berubah nasib menjadi kaya setelah menikah dengan pangeran, Snow White yang sudah mati karena makan apel beracun, hidup kembali setelah dicium pangeran (semoga ini pangerannya beda ya, kasihan kan kalau sama, Cinderella dan Snow White jadi korban poligami).
Laki-laki yang ikut membantu urus anak, beres-beres rumah dianggap heroik, dipuja-puja, sedang kalau perempuan ikut-ikutan kerja, cenderung mendapat penilaian kurang baik, dan sering dibarengi pertanyaan "Itu anaknya ngga apa-apa ga tuh?"
Laki-laki kalau hijrah ke luar negeri untuk kerja atau sekolah dan bawa anak istri, dianggap wajar, sebaliknya kalau perempuan yang bawa anak suami, dianggap aneh dan ngga jarang dianggap ga tahu diri dan merepotkan orang lain, sok ambisius dan tengil sejuta. Kok saya bisa ngomong gitu? Kan saya udah ngalamin sendiri! "Dosa" saya pada norma patriarki sudah sangat besar!
Dari contoh-contoh di atas, kelihatannya norma patriarki ini menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan ya. Tapi, laki-laki yang mana dulu, perempuan yang mana dulu?
Bagaimana dengan laki-laki yang diPHK dan sulit dapat kerja?
Bagaimana dengan laki-laki yang ikut istrinya ke luar negeri? (Itu suami saya!)
Bagaimana dengan laki-laki yang jiwanya lembut dan gampang nangis?
Bagaimana dengan laki-laki yang tidak ambisius mencetak prestasi?
Jelas untuk laki-laki seperti ini, norma patriarki merugikan. Membuat dirinya merasa tidak berguna, berada di posisi pinggiran dalam hidup bermasyarakat, dan terasingkan karena ia tidak mencapai standar laki-laki ideal berdasarkan norma patriarki.
Saya sudah merasakan punya suami yang berada dalam kondisi tidak punya pekerjaan dalam waktu yang cukup lama, karena ia dan anak saya mengikuti saya hijrah ke Jepang. Dalam tahun-tahun itu, saya menyadari bahwa untuk laki-laki, tidak punya kerja itu bebannya seperti perempuan yang tidak bisa punya anak. Merasa diri kurang lengkap dan pecundang. Saya juga mengamati, untuk mahasiswa laki-laki yang bawa istri, sepertinya tidak ada masalah besar, malah kayaknya istri senang tinggal di Jepang. Tapi kebalikannya, kalau mahasiswa perempuan yang bawa suami, benar-benar butuh waktu lama untuk suami dan istri tersebut merasa nyaman dengan kehidupan baru di Jepang.
Mengapa hal tersebut terjadi? Internalisasi norma patriarki yang sudah kuat mengakar dalam keseharian dan pedalaman batin kita! Di bawah sadar, kita merasa bahwa "yang benar", "yang wajar " itu adalah jika laki-laki dan perempuan berperan sesuai dengan pembagian tugas yang kaku antara ranah domestik dan publik. Negosiasi diperbolehkan, tapi hanya dalam batas-batas "yang wajar".
Maka, tidak heran jika saya dianggap perempuan aneh karena angkut anak suami ke Jepang demi "so called post graduate study" ini. Suami saya dianggap aneh karena kok jadi laki-laki mau aja ikut istri, di sana ngga punya kerja tetap pula. Anak saya dikasihani banyak orang karena punya ibu yang tega meninggalkan dia dengan berangkat duluan ke Jepang. Coba sebaliknya: suami yang studi, saya yang ikut. Pasti ngga menuai perdebatan, semuanya dianggap wajar, wajar, wajar.
Kita hidup dalam masyarakat yang dibangun dalam konstruksi dominan patriarki. Persoalannya, manusia itu tidak bisa dikotak-kotakkan perannya dalam sebuah sistem yang kaku. Apalagi di jaman yang semakin sulit ini, kita harus lebih fleksibel dalam menyikapi nilai dan menerima keberagaman gaya hidup.
Mungkin kita harus mulai secara sadar melatih diri: untuk mendefinisikan hidup sesuai dengan pemikiran kritis kita, bukan hanya terima jadi warisan norma patriarki. Karena pada akhirnya, yang berbahagia adalah yang membebaskan pikirannya dari norma-norma yang mengikat yang menghambat kemajuan diri. Karena pada akhirnya, takut pada perubahan hanya akan membawa kesempitan pada pola pikir dan kita kehilangan banyak hal baik yang sebenarnya ada di luar tempurung patriarki.
7 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

No comments:

Post a Comment