Saturday, July 22, 2017

Enakan mana? Jepang atau Indonesia?


Setelah kembali dari Jepang dua tahun yang lalu, saya sering ditanya: enakan mana, Jepang atau Indonesia? Ngapain pulang, kan enakan di sana?
Menurut saya, pertanyaan di atas sulit dijawab hanya dengan satu kata. Enakan Jepang atau enakan Indonesia. Karena, mungkin di Jepang enak di satu sisi, tapi di Indonesia enak di sisi lain.
Memang harus saya akui, kalau soal kualitas hidup, Jepang memang jauh lebih enak. Teratur, nyaman, bersih. Polusi udara tidak separah di Indonesia. Transportasi publik nyaman dan terintegrasi, ruang publik terbuka ramah anak banyak banget, pendidikan usia dini dan dasar dikelola dengan sangat serius. Asuransi kesehatan terjamin, kita dapat tunjangan anak dari pemda, urusan birokrasi sangat ringkas dan ngga ribet. Urus KTP 10 menit selesai.
Tapi soal ketenangan batin sih memang lebih bikin tenang Indonesia. Biar gimanapun, rasanya galau kalau merantau jauh sementara orang tua kita sudah makin tua. Makanan juga jelas lebih enak Indonesia. Untuk saya pribadi, di Indonesia rasanya lebih tenang membangun hidup. Meskipun dalam basis harian, persoalan printil sangat banyak dan menguras energi.
Lepas dari semua itu, yang membuat saya memutuskan untuk pulang setelah selesai studi adalah karena memang tujuan awal saya merantau ke Jepang adalah untuk memajukan negeri tercinta. Saya tahu, ini tujuan sok idealis banget. Hari gini, mau bangun bangsa, mending juga ada yang mengapresiasi. Yang ada susahnya melulu kali.
Satu hal yang sering keliru dipahami, kebanyakan halak kita ini menganggap kalau sudah dari luar negeri, balik ke Indonesia pasti sukses. Kalau kita ngga segera sukses, kayaknya nista banget. Yang paham kalau setelah dari luar negeri kemudian pulang ke Indonesia itu pasti awal-awal benar-benar carut marut dan butuh waktu untuk stabil memang hanya orang yang pernah merasakan kondisi ini. Di tengah gempuran pertanyaan kapan James dapat kerja, kenapa Rouli jadi staf marketing, hanya Papa dan Uda (adik Papa) yang bilang gini:
"Butuh waktu setidaknya satu tahun sampai stabil."
"Tiga tahun pertama pasti sulit. Dulu Papa juga gitu, jadi harus bertahan."
Coba dong dunia, tambah lagi orang "adem" macam Papa dan Uda!
Balik lagi soal sukses. Berdasarkan pengalaman, mentang-mentang udah beres studi di Jepang, bukan berarti langsung sukses. Ngga. Di mana-mana namanya sukses itu butuh waktu, butuh proses. Sama seperti mendapatkan gelar S3 ini aja butuh waktu 6 tahun, kalau mau sukses karir pun ya harus siap mental pasti butuh waktu lama. Dan dari tahapan paling bawah.
Saya pernah ditanya oleh salah seorang rekan kerja. "Kok elu mau, Mbak, jalanin dari tahapan paling bawah gini? Kan Mbak udah S3?"
Saya jawab, "Ya apa sih arti beberapa tahun di awal kalau kita mikirnya mau berkarya sampai usia 70?"
Kadang kita harus punya visi besar supaya tidak gampang patah semangat pada masalah-masalah yang sifatnya printil dan sehari-hari. Yang rese-rese pasti banyak, namanya juga hidup, tapi kalau kita terlalu fokus pada urusan kecil dan lupa big picturenya, kita ngga akan maju-maju. Lebih baik maju selangkah demi selangkah meski pelan daripada berharap langsung melakukan lompatan besar tapi kenyataannya hanya bergerak di tempat.
Pada awal minggu pertama kepulangan saya ke Indonesia, saya lari pagi keliling lingkar luar Kebun Raya Bogor. Di depan sungai Ciliwung saya berhenti sejenak. Saya tatap sungai kotor dengan airnya yang berwarna kecoklatan dan penuh sampah di sana sini sambil di benak saya terbayang sungai Senri dekat tempat tinggal saya dulu di Osaka, yang sangat bersih dan jernih airnya. Lalu suara hati saya berkata,
"Untuk itulah kamu pulang. Karena di sini masih ada sungai Ciliwung. Artinya ada banyak ruang untuk melakukan perbaikan."
Sekalipun sungguh masih dalam tahap embrio, sedikit demi sedikit saya berusaha melakukan perbaikan. Mungkin dampaknya belum terasa, tapi saya sudah memulai dan akan terus memulai.
"Enakan mana? Jepang atau Indonesia?"
Saya coba jawab: "Kalau kualitas hidup memang lebih enak Jepang, tapi satu hal yang pasti: Indonesia lebih membutuhkan saya."
8 Juli 2017
Rouli Esther Pasaribu

No comments:

Post a Comment