Saturday, July 22, 2017

Late bloomer


Sudah ketinggalan berhari-hari untuk rangkaian kegiatan #nulisrandom2017 ini, yang seharusnya satu hari satu tulisan, tapi saya pasti selesaikan sampai target 30 hari meski pace-nya ngga sama dengan yang lain.
Pernah dengar istilah late bloomer? Ini istilah untuk orang yang mekar atau berhasil atau suksesnya "terlambat" dari ukuran rata-rata yang ditetapkan masyarakat.
Contohnya, Laura Ingals Wilder yang mengarang seri "Little House on the Prairie". Sampai hari ini buku-buku beliau terkenal dan dibaca, filmnya juga jadi legenda. Pasti kita ingat dong sosok keluarga Ingals yang terdiri dari Ma, Pa, Mary, Laura, Carrie. Usia berapa beliau menulis dan menerbitkan novelnya? 61 tahun!
Ada lagi contoh dua pengarang lain. Jean Rhys, pengarang "Wide Sargasso Sea". Tidak "seterkenal" Laura Ingals Wilder karena beliau pengarang dalam ranah sastra post kolonial dan sastra perempuan, tapi beliau menerbitkan buku pertamanya pada usia 76 tahun. Enchi Fumiko, pengarang yang saya teliti, sudah mengarang sejak usia 21 tahun, tapi baru sukses sebagai pengarang pada usia 49 tahun.
Para pengarang di atas berusia nyaris 50an, 60an, 70an ketika mereka pertama kali sukses di dunia sastra. Usia yang sudah dianggap tidak produktif lagi. Usia di mana apa yang dianggap wajar adalah diam duduk-duduk manis di rumah dan bukannya berkarya. Tapi faktanya bagaimana? Mereka bukan duduk-duduk manis, tapi malah semakin aktif berkarya menghasilkan buah. Mereka yang dianggap sudah terlambat untuk mekar, malah mengalami mekar sempurna di usia tuanya.
Betapa kita terbiasa mengkotak-kotakkan sukses tidaknya hidup seseorang dari apakah ia berhasil mencapai kesuksesan itu di usia "produktif". Betapa kita sering membatasi jalan hidup orang hanya karena hidupnya belum stabil pada usia tertentu.
Saya mengakui, saya termasuk orang yang "dianugerahi" hak istimewa untuk menjadi late bloomer. Saya kuliah S1 tidak dalam waktu 4 tahun, tapi sudah kayak anak kedokteran aja, saya selesai kuliah S1 dalam waktu 7 tahun. 3 tahun pertama saya kuliah di program diploma, lalu lanjut ke program S1, transfer kredit, dan harus tambah 2,5 tahun lagi. Ketika saya sudah siap sidang skripsi, saya mendapatkan kesempatan untuk studi di Jepang selama satu tahun. Karena persyaratannya adalah masih harus terdaftar sebagai mahasiswa di perguruan tinggi asal, maka saya menunda kelulusan saya, dan akhirnya saya menjalani sidang skripsi setelah saya kembali dari Jepang. Saya lulus kuliah S1 di usia 25 tahun.
Sementara orang lain pada umumnya sudah mulai stabil karirnya, saya tidak demikian. Saya lalu kuliah S2 di usia 26 tahun, sambil saya bekerja sebagai pengajar tidak tetap di sebuah perguruan tinggi swasta. Karir saya di bidang akademik dimulai di usia 26 tahun. Lalu saya menikah di usia 27 tahun, hamil dan lulus S2 di usia 28 tahun, dan melahirkan J di usia 29 tahun. Karir saya masih sebagai pengajar tidak tetap. Lalu di usia 30 tahun, saat anak saya masih berusia 1 tahun, saya mencoba mengikuti ujian beasiswa mombusho untuk studi di Jepang. Lulus. Lalu saya berangkat ke Jepang pada usia 31 tahun.
Batas pelamar beasiswa mombusho adalah 35 tahun pada saat keberangkatan. Saya yang saat berangkat berusia 31 tahun, termasuk yang tua. Ada yang usianya 30an tahun juga, tapi mereka kebanyakan sudah punya posisi yang stabil di tempat kerja. Mau tahu status saya saat berangkat ke Jepang? Pengangguran!
Lalu saya menghabiskan 6 tahun di Jepang untuk studi. Dalam tahun-tahun itu, tidak jarang saya mendapatkan komentar dari orang-orang terdekat, sehubungan dengan status pengangguran saya.
"Nanti gimana, udah lulus S3 tapi ngga punya kerja?"
"Orang kan biasanya sudah punya posisi jadi dosen tetap dulu, ngga kayak kamu yang sekolah dulu padahal belum punya posisi. Gimana tuh ntar?"
Saya sendiri juga tidak tahu akan bagaimana nanti. Tapi daripada ketakutan saat itu dan langsung pulang untuk cari posisi, lebih baik saya selesaikan studi saya dulu, dan akhirnya setelah 6 tahun, di usia 37 tahun, saya menyelesaikan studi saya.
Bayangkan, usia 37 tahun dan tidak punya pekerjaan. Gimana galaunya itu...tapi the show must go on. Memang saya yang memilih jadi akademisi, jadi kuliah sampai S3 adalah mutlak. Setelah saya pulang, karena tidak punya posisi, saya bukannya langsung berkarya tapi malah kerja di sekolah anak saya yang tidak ada hubungannya dengan studi Jepang. Dalam tahun itu, Prof selalu menyemangati saya untuk tidak menyerah dan terus melakukan shifuku.
Apa itu shifuku? Ini salah satu kosa kata dalam bahasa Jepang yang sangat indah menurut saya. Shifuku artinya terus berusaha dan mempersiapkan diri sambil menanti waktu untuk mekar sempurna tiba.
Lalu setelah saya bekerja satu tahun di sekolah anak saya, saya mulai merintis karir sebagai akademisi. Saat ini usia saya 39 tahun, seharusnya dalam "ukuran normal", saya ini sudah masuk ke level mid career, tapi hingga hari ini saya masih embrio. Tapi sekalipun posisi saya adalah embrio, saya punya prinsip: kualitas kerja tidak boleh menurun sekalipun karir masih belum stabil. Dan saya meyakini, setiap orang memang ada waktunya masing-masing untuk mekar sempurna.
Bayangkan jika Laura Ingals Wilder, Jean Rhys, Enchi Fumiko menyerah menjadi pengarang "hanya karena" usianya sudah lewat 40 tahun dan mereka belum berhasil. Selamanya mereka akan menjadi orang-orang biasa yang tenggelam dalam arus jaman. Kita tidak akan pernah membaca karya-karyanya yang sangat menginspirasi.
Karena setiap orang sudah punya waktunya masing-masing. Tinggal kita mau atau tidak mengikuti jalan hidup ini, atau menyerah karena merasa terlalu berat? Jika saya diberi hak istimewa sebagai late bloomer, maka jadilah! Jangan melawan garis hidup dan jangan melawan kata hati.
26 Juni 2017
Rouli Esther Pasaribu

No comments:

Post a Comment